December 7, 2025
#WaveForEquality Gender & Sexuality Issues

Laki-Laki Tidak Bercerita: Ketika Maskulinitas Berujung Beban Mental  

Ada yang bahaya dari tren laki-laki tidak bercerita di media sosial. Salah satunya, internalisasi pandangan bahwa kesehatan mental lelaki cuma mitos belaka.

  • March 7, 2025
  • 7 min read
  • 14965 Views
Laki-Laki Tidak Bercerita: Ketika Maskulinitas Berujung Beban Mental  

*Peringatan Pemicu: Kasus bunuh diri. 

Pada 23 Juli 2022, petinju Ultimate Fighting Championship (UFC) Paddy Pimblett menyampaikan pidato kemenangan usai mengalahkan Jordan Leavitt. Dalam momen emosional tersebut, ia menyampaikan pesan mendalam tentang kesehatan mental laki-laki:  

“Aku terbangun Jumat pukul empat pagi, mendapati pesan salah satu temanku bunuh diri. Jadi, Ricky kawanku, kemenangan ini untukmu. Namun, ada stigma di dunia bahwa laki-laki tidak boleh bercerita. Jika kamu laki-laki dan beban yang dipikul terasa begitu berat hingga berpikir satu-satunya jalan keluar adalah bunuh diri, aku mohon, bicara kepada seseorang. Aku lebih baik mendapati teman menangis di pundakku daripada harus menghadiri pemakamannya minggu depan. Jadi aku mohon, mari kita buang stigma ini, dan kawan-kawan lelaki, mulailah bercerita.” 

Senada dengan Pimblett, keresahan soal sulitnya lelaki bicara terbuka soal kesehatan mental, juga sempat aku rasakan. Apalagi sejak kecil, aku diajarkan keluarga dan lingkungan sekitar untuk tidak menangis. Aku harus kuat, tegar, dan pantang mengeluh. Hingga usia 20-an, aku menyadari tidak benar-benar bisa memahami kesedihanku sendiri. Aku terbiasa menekan emosi sedemikian rupa. Aku sempat percaya bahwa inilah norma yang semestinya. 

Baca juga : Pria Saleh Sebagai Fantasi Kolektif 

Celakanya, belakangan muncul tren baru di media sosial yang ikut mengafirmasi norma bahwa lelaki memang tak seharusnya bercerita. Di TikTok, akun @mr.biimm mengunggah video laki-laki duduk melamun. Video yang disukai lebih dari dua juta pengguna dengan ribuan komentar itu mengamini, kesedihan laki-laki enggak benar-benar nyata, melainkan tetap harus dipendam. Tren serupa muncul di Instagram, seperti postingan akun @diocr7 yang mendapatkan jutaan penonton dengan pesan serupa: Laki-laki tidak bercerita. 

Di TikTok, tren ini mencapai hampir 500 video per (6/3), yang menormalisasikan laki-laki tidak bercerita. Di Instagram, akun selebgram @radenrauf mengunggah konten serupa empat bulan lalu dan ditonton lebih dari 600 ribu kali. Isi komentarnya pun rata-rata menyepakati pesan soal laki-laki tidak bercerita. Jika ditelusuri lebih lanjut, ada hampir 300 konten di Instagram yang memuat pesan serupa: Laki-laki lebih banyak memendam perasaan dan emosi. Fenomena ini semakin memperkuat stigma, laki-laki tidak boleh menunjukkan kelemahan. 

Masalahnya, kasus laki-laki tidak bercerita berpotensi pada meningkatnya angka bunuh diri. Dalam satu bulan terakhir saja, sejumlah kasus bunuh diri laki-laki mencuat, seperti laki-laki yang ditemukan tewas di pinggir sungai di Kabupaten Bogor dengan luka bakar dan surat perpisahan kepada istrinya (03/03). Ada juga pengendara motor lelaki di Purbalingga yang mengakhiri hidup dengan menabrakkan diri ke kereta api, (25/02). Lalu, laki-laki di BSD, Tangerang Selatan, yang melompat dari lantai 18 apartemen karena terlilit pinjaman online, (13/02). 

Kasus di atas menambah panjang daftar lelaki yang memilih jalan pintas mengakhiri hidupnya. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019, rata-rata 9 orang per 100.000 penduduk meninggal akibat bunuh diri. Ranking pertama negara yang berkembang di dunia dengan angka bunuh diri laki-laki tertinggi adalah Lesotho, sebanyak 147 orang. Di Amerika Serikat pada 2022, lelaki menyumbang hampir 80 persen dari semua kematian akibat bunuh diri.  

Sementara di Indonesia, data Into The Light Indonesia menyebutkan, sepanjang 2024 terdapat 826 kasus bunuh diri yang dilaporkan. Angka ini, kata Konselor Satgas Pencegahan Primer Into The Light Rizky Iskandar Sopian, kemungkinan adalah fenomena gunung es. Ini mengingat stigma negatif yang masih melekat pada keluarga korban bunuh diri. 

Kasus bunuh diri lelaki tentu bukan sekadar statistik. Apa yang sebenarnya melatarbelakangi maraknya fenomena ini? 

Baca juga : Cowok Tsundere vs Cowok Soft Spoken

Laki-laki yang Terkekang Maskulinitasnya 

Koordinator Aliansi Laki-Laki Baru (ALB) Wawan Suwandi, mengkritisi tren “laki-laki tidak bercerita” yang justru menormalisasi sikap menutup diri terhadap masalah.  

“Sepintas tagline ini terlihat keren, seakan menunjukkan kekuatan dan kemandirian laki-laki. Namun, di baliknya ada bahaya besar. Laki-laki semakin enggan mencari pertolongan saat menghadapi kesulitan, terutama terkait kesehatan mental,” ungkapnya kepada Magdalene. 

ALB mencatat, banyak lelaki menempatkan harga diri di atas segalanya. Mereka takut dianggap lemah jika mengungkapkan masalah. Sejak kecil, mereka tidak diperkenalkan dengan berbagai jenis emosi. Anak laki-laki yang menangis kerap dimarahi, dicap cengeng, dan dipaksa untuk diam.  

Pernyataan lelaki yang biasa disapa Jundi itu, ada benarnya. American Psychological Association (APA) menyebutkan, laki-laki yang menghayati nilai maskulinitas tradisional lebih rentan mengalami gangguan mental. Dana Darurat Anak Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) pun mencatat, 53 persen remaja laki-laki di dunia mengalami gangguan kesehatan mental. 

Jika dibandingkan dengan perempuan, lelaki memang cenderung punya pemahaman dan kesadaran akan kesehatan mental yang minim. Ini dijelaskan Adrian Furnham, Profesor dari University College London (UCL) dalam risetnya Gender Differences in Mental Health Literacy and Attitudes Toward Mental Health Treatment (2018). Penyebabnya tak lain adalah norma maskulinitas yang menganggap lelaki harus kuat dan mandiri. Situasi ini diperburuk lagi dengan stigma terhadap lelaki yang mengungkapkan kelemahan emosional. Selain itu, lelaki cenderung memiliki literasi kesehatan mental yang lebih rendah dan skeptis terhadap terapi psikologis dibandingkan perempuan. 

Sosiolog Australia Raewyn Connell bahkan punya istilah khusus atas fenomena ini. Adalah Hegemonic Masculinity atau maskulinitas hegemonik, yakni citra ideal laki-laki yang dikonstruksikan masyarakat, sehingga mengharuskan laki-laki untuk selalu tampil kuat dan gagah. 

Bicara maskulinitas, peneliti Janita Hapsari dan Tri Krianto dalam Maskulinitas dan Perilaku Mencari Bantuan Kesehatan Mental pada Laki-Laki di Negara Berkembang punya penjelasan lebih lanjut. Kata keduanya, maskulinitas dibagi menjadi beberapa kategori: Tradisional, toksik, dan positif. 

Hasil riset mereka menunjukkan, laki-laki di Indonesia umumnya masih terstigma oleh maskulinitas tradisional. Ini menuntut mereka untuk tidak menunjukkan emosi dan atau mencari bantuan kesehatan mental meskipun sebenarnya butuh. Maskulinitas tradisional ini menginternalisasi norma bahwa laki-laki harus tegar, kuat secara fisik dan mental, serta tidak menunjukkan kelemahan seperti menangis. 

Masih dari sumber sama, stigma ini membuat laki-laki dengan masalah kesehatan mental menjadi tidak terlihat. Stigma ini akhirnya menjadi penghalang bagi mereka untuk mencari informasi tentang kesehatan mental dan mendapatkan bantuan profesional. 

Baca juga : Stereotipe Manning The Grill : Alasan Barbecue Lekat sama Laki-laki 

Mengubah Stigma, Membangun Maskulinitas Positif 

“Vicky” adalah satu dari sedikit lelaki yang memilih mendobrak stigma itu. Ia memutuskan untuk menemui psikolog setelah gelombang masalah menerjang dan ia merasa tak mampu menahan gejolak emosional yang dihadapinya. Setelah konsultasi, psikolog mendiagnosisnya dengan depresi, Borderline Personality Disorder (BPD), dan kecemasan. 

“Penyebab aku memutuskan untuk pergi ke psikolog sebenarnya ada beberapa. Namun, hal yang paling memengaruhi itu di saat keluarga aku hancur. Di situ aku juga ngerasa dunia aku ikut hancur. Sebenarnya aku dari kecil memang sudah terbiasa tanpa adanya kehadiran kedua orang tuaku, tapi saat mereka memutuskan untuk berpisah dan aku ikut papa, aku mulai runtuh,” ceritanya pada Magdalene. 

Kondisi Vicky sendiri lebih baik setelah mulai rutin terapi. Selama proses terapi, imbuhnya, psikolog menyarankan untuk berkonsultasi dengan psikiater guna mendapatkan resep yang bisa menyokongnya. Tak cuma itu, Vicky juga terdorong untuk mulai berbagi cerita dengan sahabat-sahabat terdekat. 

“Jadi aku cerita ke sahabat-sahabat terdekat aku dan di situ aku baru ngerasa bener-bener lega, akhirnya bisa nerima,” tuturnya.  

Mendapatkan dukungan orang-orang sekitar adalah saran yang sering digarisbawahi untuk mendobrak kesehatan mental lelaki. Riset bertajuk Challenging Traditional Masculinity: Mental Health and Emotional Expression Among Men oleh Mahalik, Burns, dan Syzdek (2007) menyoroti, mengubah stigma terkait itu butuh pendekatan berbasis komunitas dan edukasi jangka panjang. Dalam hal ini, perubahan pola pikir harus dimulai dari keluarga, lingkungan kerja, dan media sosial. 

Karena itu, membangun maskulinitas positif jadi langkah yang relatif penting. Maskulinitas tidak harus selalu berarti dominasi dan ketegaran. Maskulinitas juga bisa berarti keberanian untuk menunjukkan perasaan, solidaritas dengan sesama, dan keterbukaan dalam menghadapi masalah. 

Jundi bahkan menekankan, masyarakat tanpa terkecuali harus mau mendefinisikan ulang soal maskulinitas. Sehingga, lelaki yang kini masih terjebak dalam maskulinitas toksik, bisa beralih mempraktikkan maskulinitas positif. 

Aku sendiri percaya menjadi laki-laki bukan berarti harus selalu kuat sendirian. Menerima emosi, berbicara tentang kesedihan, dan mencari bantuan bukan tanda kelemahan, tetapi keberanian. Jika merasa sedang tidak baik-baik saja, aku akan mencari bantuan. Aku ingin laki-laki lain juga tahu bahwa mereka tidak sendirian. Bahwa bercerita adalah langkah awal menuju pemulihan. 

Jika kamu atau orang sekitar punya kecenderungan bunuh diri, segera hubungi psikolog, psikiater, atau dokter kesehatan jiwa di Puskesmas atau rumah sakit terdekat. Kamu juga bisa mengakses situs Emotional Health For All jika membutuhkan bantuan. 

Layanan dari Kementerian Kesehatan dapat kamu hubungi melalui nomor 119 ext 8. Pun, kamu bisa menghubungi layanan 24 jam BISA Helpline melalui nomor WhatsApp 08113855472. 

Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia.  

Series artikel lain bisa dibaca di sini.

About Author

Ahmad Khudori

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.

Leave a Reply