Yang Tak Terlihat dari Pertemuan Prabowo dengan Pemimpin Redaksi Media
Adakah agenda lebih besar di balik jamuan makan Prabowo untuk para pemimpin redaksi media beberapa waktu lalu?

Habibah kecewa setelah tahu salah satu media yang selama ini dipercaya, hadir dalam pertemuan Presiden Prabowo dan pimpinan redaksi media.
“Saya tidak tahu media mana lagi yang harus dipercaya. Apakah media yang selama ini saya percayai sudah melempem suaranya?”
Pertanyaan Habibah juga bikin saya trust issue. Sebagai mantan pegiat pers mahasiswa, saya selalu memandang media sebagai penjaga gerbang demokrasi. Media seharusnya menjaga jarak dengan kekuasaan, berperan sebagai penjaga objektivitas, bahkan berfungsi sebagai mercusuar suara publik.
Dalam pandangan saya, media adalah salah satu instrumen terpenting untuk menjaga agar kekuasaan tidak melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh sistem demokrasi. Karena itu, pertemuan enam jam antara Prabowo dan pimpinan redaksi media ini tidak bisa dianggap enteng.
Baca juga : Di Balik ucapan Ndasmu Prabowo yang Kontroversi
Banyak kalangan yang melihatnya sebagai langkah meresahkan. Bahkan sebagian publik menanggapi dengan kemarahan yang mengarah pada ancaman untuk memboikot media yang terlibat dalam pertemuan tersebut.


Tempo menulis, salah satu pimpinan redaksi yang hadir, Yura Syahrul dari Katadata, mengapresiasi undangan Prabowo. “Intinya saya sangat mengapresiasi pertemuan ini karena Presiden menjelaskan secara komprehensif dan transparan mengenai berbagai kebijakan strategis pemerintah saat ini dan ke depan. Beliau juga mau merespons pertanyaan mengenai berbagai isu yang berkembang saat ini kepada teman-teman pemred,” kata Yura.
Meski demikian, pernyataan Yura ini justru memperburuk keraguan publik, karena sebagian orang menilai, media yang terlibat dalam pertemuan tersebut mulai kehilangan independensinya. Jangan-jangan media yang diharapkan menjadi suara kritis terhadap pemerintah kini mulai beralih menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Prabowo sendiri melalui akun X-nya mengeklaim pertemuan itu bertujuan untuk mendiskusikan berbagai isu yang tengah berkembang. “Kami berdiskusi dan bertukar pandangan mengenai berbagai isu serta kebijakan strategis, di mana media memegang peran penting sebagai ujung tombak penyampaian informasi yang utuh dan terpercaya kepada masyarakat,” tulisnya.
Namun, klaim ini tidak lantas meredakan kecurigaan banyak pihak, mengingat konteks pertemuan yang digelar setelah aksi protes besar “Indonesia Gelap.” Banyak yang menduga pertemuan ini lebih mengarah pada upaya pemerintah untuk memanipulasi narasi dan menekan media agar lebih lembut dalam menyampaikan kritik terhadap kebijakan yang ada.
Baca juga : Mimpi Prabowo Indonesia Enas, tapi Anggaran Riset Disunat
Peringatan Media: Menjaga Independensi dalam Tekanan
Direktur Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) Francisca Ria Susanti, menyoroti langkah Prabowo sebagai sinyal yang memperburuk kepercayaan publik terhadap media. Menurutnya, kendati pertemuan tersebut bisa dimaklumi sebagai upaya untuk menjelaskan kebijakan pemerintah, kehadiran media setelah aksi protes “Indonesia Gelap” menimbulkan prasangka pemerintah sedang panik.
“Ini memunculkan kekhawatiran bahwa pemerintah tengah berusaha membungkam pers dan menumpulkan sikap kritis mereka terkait kepentingan publik,” ujar Santi kepada Magdalene.
Apa yang disampaikan Santi mencerminkan keresahan yang kini melanda sebagian besar masyarakat dan praktisi media. Menurutnya, media dan jurnalis seharusnya tetap kritis terhadap pemerintah, terlepas dari kedekatan mereka dengan kekuasaan. Ketika kedekatan itu mulai menghilangkan sikap kritis, maka peran media sebagai pengawas jalannya pemerintahan akan tergerus.
Lebih lanjut, data yang dirilis oleh Konsorsium Jurnalisme Aman menunjukkan, 66 persen jurnalis merasa lebih berhati-hati dalam memproduksi berita karena adanya ancaman kriminalisasi, sensor, dan tekanan dari berbagai pihak. Dalam catatan tersebut, tercatat167 jurnalis mengalami kekerasan dengan total 321 kejadian, dengan pelarangan liputan menjadi salah satu bentuk kekerasan terbesar. Ini adalah sinyal bahaya bahwa kebebasan pers di Indonesia semakin terancam.
Tak cuma itu sebenarnya potensi bahaya yang mengintai jurnalis Tanah Air. Pada (22/1) lalu, Prabowo sempat mengusir jurnalis di Istana. Dalam pernyataan yang dilansir Kompas, Prabowo membandingkan jurnalis dengan anak muda yang seharusnya tidak mendengarkan pembahasan orang tua.
“Saya kira media ini masih muda-muda ya, jadi ada hal-hal yang perlu orang tua bicarakan, yang muda-muda, anak-anak biasanya tunggu di luar. Kan begitu kan? Terima kasih sementara,” ujar Prabowo.
Sikap ini menambah kontroversi terkait hubungan antara media dan kekuasaan, yang kemudian mendapat respons dari Muhammad Irsyan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta. Ia bilang, media merupakan pilar keempat dalam sistem demokrasi yang berfungsi untuk mengawasi kekuasaan bersama eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Media memiliki peran krusial sebagai sumber informasi publik yang independen. Dalam konteks ini, keberadaan media yang kritis dan independen sangat penting agar kebijakan pemerintah tetap berada di jalur yang benar dan tidak mengarah pada otoritarianisme.
“Kami di AJI Jakarta melihatnya kurang elok para pemimpin redaksi menghadiri pertemuan tersebut. Apalagi jika tujuan pertemuan itu bukan untuk menggali informasi yang harus dibagikan ke publik. Jika Presiden ingin memberikan informasi, konferensi pers lebih tepat daripada mengundang makan malam para pemimpin media,” ungkap Irsyan.
Ia juga menyoroti pentingnya menjaga sikap kritis media. Meskipun kedekatan antara media dan narasumber diperlukan untuk memperoleh informasi yang valid, kedekatan tersebut harus tetap menjaga integritas dan daya kritis media. Jika kedekatan itu menyebabkan media kehilangan sikap kritisnya, hal itu bisa berbahaya bagi demokrasi.
“Keberlanjutan media bergantung pada kepercayaan publik. Jika media mulai mengurangi daya kritisnya demi mendapatkan akses atau kedekatan dengan kekuasaan, maka publik akan kehilangan kepercayaan kepada media tersebut,” tambahnya.
Irsyan melanjutkan, “Ketika media sudah mulai menggadaikan kepercayaan publik dengan mengurangi daya kritis, maka publik yang akan menghukumnya dengan tidak lagi mempercayai informasi yang dihasilkan media tersebut.”
Baca juga : Resiko Besar Pembentukan Danantara
Kritis dan Independen: Tugas Media yang Tidak Boleh Dikorbankan
Tugas utama media dalam demokrasi adalah untuk memastikan pemerintah bertanggung jawab kepada publik. Hal ini ditegaskan dalam buku “Pers yang Tak Terbelenggu” (2004) oleh jurnalis Washington Post Leonard Downie disebutkan, “Ketika ada orang melihat pers bermusuhan dengan pemerintah, sebenarnya pekerjaan pers adalah berupaya membuat pemerintah bertanggung jawab kepada pemilih atau masyarakat.”
Media seharusnya tidak bersekongkol dengan pemerintah, tetapi juga tidak harus berperang melawannya. Tugas media adalah untuk menyampaikan kebenaran, meskipun itu bisa berisiko bagi pemegang kekuasaan. Dalam hal ini, media harus tetap berpegang teguh pada prinsip jurnalisme yang objektif, kritis, dan independen.
Keberlangsungan media di Indonesia sangat bergantung pada kemampuan media itu sendiri untuk menjaga independensinya dan terus mengedepankan kepentingan publik. Sebagai pilar keempat demokrasi, media tidak boleh terjebak dalam kedekatan yang mengurangi kemampuan mereka untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Media harus bisa berfungsi sebagai saluran komunikasi yang jujur, tidak hanya bagi pemerintah, tetapi juga untuk kepentingan publik. Jika media mulai kehilangan fungsinya, maka demokrasi itu sendiri akan terancam.
Pada akhirnya, pertemuan Prabowo dengan pemimpin redaksi media seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua tentang pentingnya menjaga independensi media. Meskipun media memiliki peran yang tidak bisa dipungkiri dalam pembangunan bangsa, mereka juga harus menjaga jarak dengan kekuasaan agar fungsi kritis mereka tetap terjaga. Jika media mulai mengurangi sikap kritisnya demi mendekat dengan kekuasaan, maka publiklah yang akan menjadi korban, karena media akan kehilangan fungsi utamanya sebagai sumber informasi yang objektif dan terpercaya.
