Lifestyle

Surat Cinta kepada Laut dari Seorang ‘Thalassophile’

Kecintaanku pada laut sesederhana merasakan pulang ke rumah setiap berada di sana. Namun juga serumit kemarahan tiap melihat orang-orang mengeksploitasinya.

Avatar
  • October 30, 2023
  • 4 min read
  • 1550 Views
Surat Cinta kepada Laut dari Seorang ‘Thalassophile’

Magdalene, media tempatku bekerja genap berusia satu dekade tahun ini. Untuk mengabadikan perayaan ulang tahun “si remaja tanggung” ini, kami tancap gas ke Anyer, Banten bersama. Sebuah hal yang jelas paling aku nantikan. Bayangan tentang laut yang bersih, debur ombak, langit biru, dan udara yang melegakan hidung langsung lari-lari di kepala.

Maklum, sebagai anak yang lahir dan tumbuh di pulau kecil Bangka Belitung, sekadar mendengar kata pantai dan laut membuatku senang bukan kepalang. Terlebih, buat perantau ibu kota, demi menghemat pengeluaran, aku cuma bisa lihat laut setahun sekali saat mudik Lebaran atau Natal saja. Berbeda dengan kebiasaan kanak-kanak saat laut destinasi wajib harian yang bisa aku datangi kapan pun.

 

 

Baca juga: Apa itu ‘Slow Living’, Gaya Hidup yang Viral di Media Sosial

Aku tak ingat alasan persis kenapa mencintai laut. Cinta yang mungkin buat sebagian orang agak janggal, mengingat aku takut sekali berenang. Mungkin karena melihat laut bisa membuatku tenang. Saat memejamkan mata dan membiarkan angin menciumi kulit, aku merasakan kedamaian luar biasa.

Berada di sekitar laut, juga membuatku bisa lebih berkonsentrasi. Aku ingat sekali saat pandemi Covid-19 datang dan kami bekerja dari rumah (work from home), laut menjadi lokasi pilihanku untuk menulis. Aku membawa laptop dan sedikit kudapan sambil memandangi laut. Amboy, rasanya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Aku tak sendirian. Berbarengan dengan aktivitasku di sekitar laut, ada banyak orang juga yang tampak menikmati berada di sana. Mereka memilih duduk-duduk di atas tikar, berenang, bermain pasir putih, atau sekadar mengobrol dengan orang terdekat sambil memandang lautan. Aku pikir, kesamaan yang kami punya adalah laut membuat hati tentram.

Sama tentramnya saat akhirnya aku sampai di Anyer dan menginap di villa yang di depannya terhampar laut bebas. Saking bahagianya saat itu, rasanya seperti ingin menangis.

Aku penasaran dan berusaha mencari tahu, mengapa pantai dan laut ini sungguh membuatku tenang, rileks, dan damai ya?

Baca juga: Sedikit-sedikit Dicuanin, 5 ‘Self-Healing’ Ini Ternyata Murah Meriah

Sebutannya Thalassophile

Ada yang menyebut kecintaan luar biasa pada laut, sehingga bikin hati tenang dan bahagia sebagai thalassophile. Istilah ini berasal dari Bahasa Yunani thálassa yang berarti “laut” dan “phile” yang berarti kekasih. Uniknya, Thalassa juga merupakan dewi laut Yunani.

Ada beberapa alasan mengapa pantai dan laut bisa sangat menenangkan. Artikel “Ten Reasons The Sea Makes You Feel Amazing” (2019) di laman Common Seas membeberkan beberapa di antaranya.

Berada di dekat laut memiliki manfaat untuk kesehatan mental dan fisik. Penelitian ilmiah dari ahli psikologi klinis Richard Shuster asal Amerika Serikat mengatakan, warna biru laut membuat banyak orang mengasosiasikannya dengan perasaan tenang dan damai. Menatap laut juga bisa bisa menghasilkan keadaan meditasi yang menenangkan. Bahkan dapat mengubah frekuensi gelombang otak agar sesuai dengan laut, seakan kita terhubung dengan alam.

Suara deburan ombak yang kita dengar saat memandangi laut mampu menenangkan pikiran. Saat gelombang datang, menerjang kemudian surut lagi, sistem saraf parasimpatis diaktifkan, yang memperlambat otak dan membantu meningkatkan relaksasi.

Bahkan, ahli biologi kelautan dan konservasionis Wallace Nichols menggambarkan laut sebagai ‘pemicu yang memberi tahu otak kalau kamu berada di tempat yang tepat’ dan mengatakan ‘respons kita terhadap air dan lautan sangat dalam’.

Masih dari sumber yang sama, penelitian brain imaging menunjukkan, kedekatan kita dengan air karena adanya pelepasan hormon perasaan senang di otak, termasuk dopamine dan oksitosin. Karena itu meski kita tak berenang dan hanya berada di pantai saja mampu membuat kita bahagia.

Tinggal di sekitar laut juga membuat kita cenderung ingin melakukan aktivitas di luar urangan seperti lari, bersepeda, atau berenang di pantai. Hal ini juga terjadi di pantai-pantai tempatku tinggal. Orang sekitar sering jalan kaki setiap pagi dan sore hari di pinggir pantai atau berolahraga lainnya. Buatku dan teman-teman, berolahraga di pantai ibarat mendayung dua tiga pulau terlampaui. Selain menaikkan mood, badan juga bisa jadi lebih bugar.

Baca juga: Saat di Lautan Tak Ada Lagi Ikan

Eksploitasi dan Laut Cemar adalah Duka untuk Kami

Buat orang yang mencintai laut sepertiku, melihat mereka tercemar atau dirusak oleh pihak tak bertanggung jawab, menjadi duka besar. Tak cuma masalah terumbu karang yang rusak, masalah overfishing, sampah laut juga jadi ancaman di lautan.

Terkait ini, United Nations Environment Programme (UNEP) pernah memproyeksikan jumlah sampah plastik yang mengotori lautan, bisa meningkat tiga kali lipat pada 2040 menjadi 23-37 juta ton.

Aku pernah menulis keprihatinanku soal sampah, termasuk sampah di lautan. Menurutku, kita harus mulai rutinkan menunjukkan hidung pemerintah dan perusahaan untuk menyediakan pilihan alternatif selain daur ulang, jika ingin benar-benar mengurangi produksi plastik. Sementara buat kita penikmat laut, selemah-lemahnya iman adalah menerapkan sistem 3R, reuse (memakai ulang), reduce (mengurangi pemakaian plastik) dan recycle (mendaur ulang) juga bisa berdampak besar.

Dengan begini, kita telah andil dalam usaha menyelamatkan lautan, sebuah rumah untuk banyak ekosistem lautan. Namun juga rumah untukku, para thalassophile.



#waveforequality


Avatar
About Author

Chika Ramadhea

Dulunya fobia kucing, sekarang pencinta kucing. Chika punya mimpi bisa backpacking ke Iceland.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *