Bukan Tanda Perempuan Malas, Ada ‘Rest’ dalam ‘Resistance’
Jam menunjukkan pukul 19.45. Listrik telah padam. Suara tawa dan percakapan karyawan yang sebelumnya memenuhi ruangan berganti jadi keheningan. Di tengah sunyi itu, cahaya putih dari salah satu kubikel tampak menyala. Marsha, 35, lengkap dengan headset dan sepotong roti di tangan, masih duduk tegap menghadap komputer. Tangannya terus menekan tuts keyboard, mengejar tenggat proyek yang tinggal dua hari.
Sejak masih lajang, Marsha sudah terbiasa lembur. Dulu, sebelum punya anak, ia bahkan pernah pulang kantor pukul 01.30 dini hari. Ia sampai membawa selimut dan bantal kecil ke kantor agar bisa tidur sebentar. Namun setelah menjadi ibu, ia berusaha tak lembur melewati jam 20.00.
“Lala”, anaknya yang masih berusia tiga tahun sepuluh bulan akan rewel jika ia belum pulang. Marsha akhirnya membawa pekerjaan ke rumah, menidurkan Lala lebih dulu sebelum kembali bekerja, entah sampai pukul berapa.
“Aku pernah, sih baru ngelarin semuanya itu jam 3, terus 5.30 harus bangun lagi. Namun aku mendingan begitu (kekurangan tidur), sih daripada diomelin bos atau nunggak kerjaan,” kata Marsha.
Akhir pekan pun tak banyak memberi ruang bernapas. Ia memulai hari dengan senam pagi, lalu sibuk di dapur membuat kue untuk menambah pemasukan. Setelah mengantar pesanan, ia mengajak Lala jalan-jalan, biasanya ke mal atau ruang terbuka hijau di Jakarta bersama suami. Malamnya, kembali ke rumah, Marsha menyiapkan makan malam dan mengecek pekerjaan esok hari.
“Istirahat mah sesempatnya aja. Paling cuma tidur malam aja. Itu juga paling empat jam. Udah lupa gue terakhir kali tidur seenggaknya enam jam kapan,” ujarnya.
Istirahat Tak Dianggap Penting
Kesibukan Marsha mencerminkan fenomena jamak di era modern. Dalam Burnout: The Secret to Unlocking the Stress Cycle (2019), Emily dan Amelia Nagoski menjelaskan, manusia terus didorong bekerja lebih keras dan mengisi waktu dengan aktivitas yang produktif. Seolah nilai manusia hanya diukur dari apa yang dihasilkan. Stres pun menumpuk karena kita tak diberi waktu menyelesaikan stress cycle secara alami.
Alih-alih pulih lewat istirahat, kita terjebak dalam lingkaran bekerja hingga lelah, lalu bangkit lagi. Kondisi ini menormalisasi kelelahan emosional, fisik, dan mental. Kita diyakinkan tidur adalah kelemahan, padahal justru bagian penting dari keberfungsian manusia.
Matthew Walker, profesor ilmu saraf dan psikologi di University of California, Berkeley, dalam bukunya Why We Sleep: Unlocking the Power of Sleep and Dreams (2017) menelusuri akar budaya tidur minim. Sejak Revolusi Industri, pabrik menuntut manusia bekerja 12–16 jam demi produksi maksimal. Sistem shift muncul, dan ditemukannya lampu listrik pada 1879 menghapus batas siang dan malam. Budaya kerja beracun pun terbentuk, yang dikenal sebagai grind culture.
“Kita menstigmatisasi tidur dengan label kemalasan. Kita ingin terlihat sibuk, dan salah satu caranya adalah menyatakan betapa sedikitnya waktu tidur yang kita dapatkan. Hal tersebut dianggap lencana kehormatan,” jelasnya.
Dalam konteks ini, perempuan menghadapi tekanan berlapis. Di samping harus bekerja keras di ranah publik, mereka juga terikat pada ekspektasi sosial dalam urusan rumah tangga. Istirahat bukan hanya tak tersedia secara waktu, tapi juga secara psikologis: Biasanya perempuan merasa bersalah jika mengambil jeda.
Perempuan Lebih Rentan Alami Burnout
Dalam sistem yang menempatkan produktivitas sebagai tujuan utama, perempuan kembali jadi pihak paling terdampak. Emily dan Amelia Nagoski menegaskan, kapitalisme dan patriarki bekerja layaknya mesin penggilas yang mengeksploitasi tenaga, waktu, dan emosi perempuan.
Kapitalisme mendorong produktivitas tanpa henti, sementara patriarki menempatkan perempuan sebagai penanggung jawab kerja perawatan. Akibatnya, perempuan terjebak dalam beban ganda. Di satu sisi harus memenuhi target kerja. Di sisi lain, mereka tetap dituntut mengurus rumah, anak, dan keluarga.
Contoh lain datang dari Rati, 39, ibu pekerja yang juga sedang menempuh studi S2. Ia mempekerjakan pekerja rumah tangga (PRT) untuk pekerjaan domestik, berharap bisa punya waktu istirahat. Namun harapan itu jauh dari kenyataan. Ia tetap merawat anak, memasak, belanja, hingga mengurus ibunya yang mengalami demensia.
Tiap pagi, Rati harus bangun satu jam lebih awal dibanding anak-anak dan suaminya. Ia menyiapkan sarapan, memasak bekal untuk suami dan anak, memastikan semuanya tersaji rapi di meja dan dikemas dalam kotak makan. Setelah itu, ia membantu anak bersiap ke sekolah, lalu mengantar bersama sang suami.
Sepulang kantor, meski tubuhnya meminta jeda, Rati langsung menyiapkan makan malam. Setelah makan bersama, ia menemani anak belajar, mengajari Bahasa Inggris, atau sekadar bermain. Jika anaknya mulai mengantuk, ia akan menemaninya tidur.
Pekerjaan rumah tangga yang tampak sepele tapi menyita tenaga, seperti membuang sampah, belanja kebutuhan dapur, dan menyusun menu mingguan, juga ia kerjakan sendiri. Suami tak turut membantu. Di atas semua itu, ia masih harus ikut merawat ibunya bersama tiga kakak perempuannya.
Meski porsi merawatnya tak sebanyak sang kakak yang belum menikah, menjaga lansia dengan demensia bukan perkara ringan. Ibunya mengalami penurunan daya ingat dan perubahan emosi drastis: Sulit mengenali wajah keluarga, tak bisa makan atau mandi sendiri, serta mudah marah tanpa sebab. Ledakan emosinya semakin menjadi. Dalam pusaran tanggung jawab dan tuntutan ini, waktu istirahat untuk diri sendiri nyaris lenyap dari hidup Rati.
Beban ini bertambah saat ia sibuk mengerjakan tugas kuliahnya. “Karena S2 ya, begadangan ngerjain paper sampai pagi buta itu biasa. Aku bahkan pernah baru selesai jam 4 subuh dan jam 5-nya udah harus bangun siap-siap,” cerita Rati.
Tekanan terus-menerus membuat Rati beberapa kali mengalami burnout hingga mental breakdown.
“Awal-awal punya anak aku sering nangis sendirian di kamar. Pernah pas anakku sudah besar dan aku capek banget, aku pulang dari kantor lari, buka pintu, nangis kencang sambil peluk anakku. Anakku sendiri sampai nenangin aku,” kisahnya.
Perjuangan Rati menunjukkan bahkan dengan sumber daya tambahan seperti PRT atau pasangan yang bekerja, sistem tetap gagal memberikan ruang aman bagi perempuan untuk beristirahat. Istirahat bukan hanya soal waktu tidur, tetapi tentang pemulihan emosional dan keberfungsian sosial.
Mitos Superwoman dan Beban Tak Terlihat
Pengalaman Rati bukanlah pengecualian. Survei American Medical Association (2024) menunjukkan bahwa 55 persen perempuan mengalami burnout, dibandingkan 42 persen laki-laki. Sementara riset Great Place to Work dan Maven mencatat ibu pekerja 23 persen lebih rentan mengalami burnout kronis dibanding ayah.
Salah satu penyebabnya adalah mitos superwoman atau agasan perempuan harus bisa mengurus segalanya tanpa keluhan atau bantuan. Arlie Hochschild dalam The Second Shift (1989) menyebut ini sebagai ilusi moral, di mana ketidakadilan dibingkai sebagai tuntutan etis. Jika gagal, perempuan dianggap tak layak sebagai ibu atau istri yang baik.
Danielle Colley, penulis dan mantan jurnalis The Australian Women’s Weekly, mencatat dampak mitos ini terhadap persepsi perempuan tentang istirahat. Demi membuktikan diri, istirahat tidak lagi dianggap hak, melainkan kemewahan. Diambil hanya saat benar-benar tumbang.
Tekanan ini diperparah dengan glorifikasi hustle culture di media sosial. Banyak perempuan merasa harus tampil sibuk, terorganisasi, dan multitasking demi dianggap sukses. Padahal, standar ini tak realistis dan merusak. Ia menghapus batas antara pencapaian dan penyiksaan diri.
Melawan dengan Istirahat
Menghadapi krisis tidur dan kelelahan akibat dua sistem menekan ini, dibutuhkan bentuk perlawanan yang berakar pada tubuh sendiri. Emily dan Amelia Nagoski menyarankan agar perempuan menolak mitos multitasking dan beban ganda.
Langkah pertama adalah mendelegasikan kerja perawatan di rumah. Buat daftar tugas bersama pasangan, lalu bagi secara adil.
“Jika kamu satu-satunya yang tahu di mana sendok disimpan, itu masalah,” tegas mereka.
Selain itu, ubah cara pikir tentang produktivitas. Ganti “aku harus memasak” dengan “aku bisa memilih pesan makanan.” Sadari pekerjaan rumah bukan kewajiban kodrati perempuan.
Tricia Hersey dalam Rest Is Resistance: A Manifesto (2022) menegaskan, tubuh manusia bukan mesin. Kapitalisme dan patriarki telah lama menilai perempuan dari seberapa banyak yang bisa mereka kerjakan, bukan dari siapa mereka sebagai manusia.
Dengan beristirahat, perempuan menolak eksploitasi waktu dan tubuh. Istirahat menjadi tindakan radikal, bentuk pembebasan dari sistem yang mereduksi kemanusiaan.
“Dengan menggunakan hak kita untuk beristirahat, kita merebut kembali kemanusiaan kita dari sistem yang tidak manusiawi,” tulis Hersey.
Beristirahat bukan kelemahan, tapi perlawanan. Di tengah dunia yang terus memaksa bergerak, perempuan punya hak untuk berhenti. Seperti kata Hersey dalam bab penutupnya: Kami akan istirahat. Ucapkan dalam hati, ulangi saat tertidur. Jadikan itu mantra perlawanan. Ketika cukup banyak dari kita beristirahat dengan sadar, sistem pun akan bergeser.
Karena istirahat bukan kemalasan. Ia adalah bentuk kepedulian diri. Ia adalah ruang untuk memulihkan luka, menyusun ulang kekuatan, dan mengeklaim ulang tubuh serta waktu kita sendiri. Dalam dunia yang terus menuntut, memilih diam sejenak bisa jadi bentuk terkeras dari keberanian.
Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia.
Series artikel lain bisa dibaca di sini.
















