Rencana Trump Gusur Warga Gaza: Sebuah Panduan Lengkap untuk Melawan
Trump mewacanakan untuk memindah warga Gaza secara permanen ke negara tetangga. Rencana ini jelas melanggar hukum internasional, sehingga perlu kita lawan bersama.

Hamas (10/2) mengumumkan akan menunda pembebasan sandera yang seharusnya dijadwalkan pada (15/2). Mengutip NPR, pengumuman itu muncul pasca-Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan, warga Palestina enggak diizinkan untuk kembali ke Gaza. Pelarangan ini dilakukan dalam rangka mengambil alih Gaza dan merelokasi penduduk daerah itu.
Abu Obeida, juru bicara militer Brigade Al-Qassam Hamas lantas menuduh Israel melanggar ketentuan kesepakatan gencatan senjata, (15/1). Sebab, Israel sengaja menunda kembalinya para pengungsi ke Jalur Gaza utara, menargetkan mereka dengan tembakan di jalur tersebut, dan tidak mengizinkan pasokan bantuan masuk, seperti yang telah disepakati.
Karena itu, Hamas bakal menunda pembebasan sandera hingga pemberitahuan lebih lanjut, tergantung pada apakah Israel mematuhi kewajibannya. Menanggapi pengumuman Hamas, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dikabarkan bakal bertemu dengan para kepala keamanan negara dan mengadakan pertemuan pada Selasa pagi ini dengan kabinetnya.
Baca Juga: Kenapa Serangan Israel ke Palestina adalah Isu Feminis
Kejahatan Perang dalam Perencanaan
Al Jazeera melaporkan pada tahap awal perjanjian gencatan senjata, sebanyak 33 sandera Israel dijanjikan Hamas dibebaskan pada akhir bulan ini dengan imbalan hampir 2.000 tahanan dan narapidana Palestina. Pembebasan ini lalu disusul dengan penarikan sebagian pasukan Israel dan pembukaan akses bantuan ke Gaza yang berakhir pada (1/3).
Tahap kedua dilanjutkan dengan penarikan seluruh pasukan Israel dari Gaza, gencatan senjata permanen, dan pembebasan semua tawanan yang masih ditahan Hamas. Tahap ketiga mencakup rencana rekonstruksi lima tahun untuk Gaza. Sayang, gara-gara rencana baru Trump, gencatan senjata permanen ini terancam batal.
Dalam pengambilalihan Jalur Gaza, AS akan memindahkan warga Palestina ke tempat lain, dan membangun kembali wilayah tersebut sebagai “Riviera Timur Tengah”. Trump mengumumkan rencana ini bersama Netanyahu yang merespons, ide itu perlu dipertimbangkan dengan saksama.
Berbicara kepada para wartawan di pesawat Air Force One pada Minggu, Trump bilang, Gaza harus dianggap sebagai “situs real estat besar” dan negara-negara lain di Timur Tengah dapat ditugaskan menangani pembangunan kembali daerah itu.
Rencana ini perlu, imbuhnya, mengingat AS berkomitmen untuk “memiliki, mengambil, dan memastikan Hamas tidak akan kembali”. “Tidak ada yang bisa dikembalikan. Tempat itu adalah tempat penghancuran,” ucap Trump kepada Al Jazeera.
Karena pernyataan itu, Trump panen kecaman dari beberapa petinggi negara, organisasi kemanusiaan, hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnès Callamard dalam keterangan pers menyatakan, seruan pemindahan warga Palestina jelas merupakan pelanggaran nyata terhadap hukum internasional.
Ia bahkan menyebut rencana ini adalah kejahatan perang karena ada indikasi pembersihan etnis yang sangat merendahkan martabat warga Palestina. Warga yang selama 16 bulan terakhir telah menjadi korban genosida Israel di Gaza, dan selama beberapa dekade sejak Nakba 1948, telah hidup di bawah pendudukan ilegal dan apartheid.
Baca Juga: Ulasan ‘Minor Detail’: Kami Orang Palestina Dianggap Setengah Binatang
Cara Trump Perkuat Israel
Rencana genosida ini adalah alat pembenaran agar Israel bisa merebut tanah-tanah di Palestina. Dengan menekankan bahwa Gaza sebagai real estat, Trump telah menjustifikasi empat mitos bersamaan yang telah dijelaskan Ilan Pappe, sejarawan Israel dalam bukunya berjudul Ten Myths About Israel (2017).
Mitos pertama menyatakan orang Yahudi adalah bangsa yang tidak memiliki Tanah Air. Menurut Shlomo Sand dalam bukunya The Invention of the Jewish People (2008), proyek zionisme terinspirasi oleh dunia Kristen yang mengadopsi gagasan tentang orang Yahudi sebagai bangsa yang harus kembali ke Tanah Suci. Tujuannya, yakni menggenapi nubuat Alkitab tentang Kedatangan Yesus kedua kali serta akhir zaman.
Gagasan Kristen ini lantas berubah jadi zionisme Kristen. Itu menekankan pada proyek penjajahan Palestina dan mengubahnya jadi bagian Kristen. Kombinasi motif Yahudi dan Kristen ini yang mendorong dikeluarkannya Deklarasi Balfour pada 1917 oleh pemerintah Inggris.
Hingga hari ini, jutaan umat Kristen Evangelis di AS khususnya, jadi pendukung paling gencar Israel. Kebutuhan untuk memfasilitasi ‘kembalinya orang-orang buangan’ di Tanah Suci merupakan bagian penting dari kepercayaan Kristen yang sebenarnya diperkuat oleh proyek zionisme.
Untuk meyakinkan Palestina sebagai tempat suci yang dijanjikan, para zionis pun membangun narasi bahwa Palestina padang pasir suram yang terabaikan. Hanya setelah kedatangan penjajah zionis dengan kecerdikan mereka, Palestina “ditebus” dan menjadi makmur serta penuh dengan kehidupan.
Mitos lain yang diperkuat lewat rencana terbaru Trump kemudian adalah soal zionisme bukan sebagai bagian kolonialisme, dan warga Palestina sukarela meninggalkan tanahnya saat Nakba 1948. Kedua mitos ini saling berhubungan dengan dua mitos sebelumnya.
Dengan menekankan pada narasi keagamaan, penjajahan atas tanah Palestina tidak dipertanyakan tapi justru jadi janji suci Tuhan. Warga Palestina yang terbunuh tidak dipandang sebagai korban kejahatan perang, tetapi bagian pengorbanan atas janji Tuhan. Untuk menguatkan ini semua, ingatan dan rasa bersalah kolektif dunia tentang Holokaus dimanipulasi sebagai pembenaran untuk melakukan hal serupa di Gaza.
Ujungnya, mitos soal kerelaan warga Palestina meninggalkan tanah mereka terus dirawat. Padahal kenyataannya, warga Palestina justru diusir paksa karena menurut para pemimpin dan ideolog Zionis, termasuk mantan perdana menteri Israel David Ben-Gurion pada 1937, keberhasilan pelaksanaan proyek zionisme terletak pada penyingkiran penduduk asli. Penyingkiran ini dilakukan baik melalui kesepakatan maupun dengan kekerasan.
Dalam mitos tersebut, para pemimpin Israel dan zionis menyebarkan narasi, Nakba 1948 terjadi justru karena pemimpin Palestina dan Arab yang menyuruh warga Palestina “kabur” sebelum tentara Arab menyerbu dan mengusir orang-orang Yahudi. Saat warga Yahudi telah berhasil kabur, warga Palestina baru boleh kembali ke tanah mereka.
Baca Juga: No Pride with Genocide: Kenapa Pembebasan Hak LGBTQ+ Mendukung Palestina Merdeka?
Bagaimana Cara Kita Melawan Rencana Trump?
Di tengah perencanaan genosida part kesekian ini, solidaritas terhadap Palestina jadi sangat dibutuhkan lebih dari sebelumnya. Hal ini disampaikan Pappe dalam tulisan terbaru di Palestine Chronicles. Ia mengatakan saat ini adalah momen tepat untuk mengupayakan segala cara dalam membangun gerakan solidaritas lebih kuat lagi demi mencegah penghapusan Palestina sebagai ide, bangsa, dan negara.
Bahkan lebih penting lagi, upaya ini bukan cuma tentang Palestina. Namun tentang dekolonialisasi penuh pada dunia yang kita tinggali, sehingga kita sebagai masyarakat global bisa menghadapi berbagai tantangan-tantangan besar bersama tanpa ada satu pun yang tertinggal. Ini mulai dari krisis iklim hingga kemiskinan dunia.
“Ini adalah satu-satunya cara untuk mengalahkan populisme, fasisme, dan rasisme, di mana begitu banyak dari kita dan khususnya, orang-orang Palestina masih menjadi korban hingga hari ini,” tulis Pappe.
Sebagai informasi, hingga tulisan ini diturunkan, sudah ada beragam sikap tegas dari berbagai pejabat negara, termasuk Indonesia. Dalam X resminya, @Kemlu_RI, (21/1) lalu dikatakan, “Indonesia tetap tegas dengan posisi: segala upaya untuk memindahkan warga Gaza tidak dapat diterima.” Kemlu menegaskan relokasi warga Gaza tidak diperlukan jika proses rekonstruksi dilakukan secara bertahap di wilayah tersebut, dilansir dari VOA Indonesia.
Sementara itu di tingkat internasional, Mesir juga menolak rencana relokasi trump. Sebagai salah satu negara Arab terkemuka, Mesir telah memimpin upaya diplomatik dengan menggalang dukungan dari negara-negara seperti Yordania, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab untuk menolak proposal relokasi tersebut. Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdelatty berkata pada Reuters, pemindahan paksa warga Palestina melanggar hukum internasional dan mengancam stabilitas regional.
Ribuan warga Mesir bahkan menggelar unjuk rasa di dekat perbatasan Rafah untuk memprotes rencana tersebut. Sikap negara-negara ini bisa saja berdampak untuk menentang rencana Trump. Sebab, penolakan kolektif sejumlah negara dan organisasi internasional bisa menciptakan tekanan diplomatik yang kuat.
Sebagai warganet, langkah-langkah konkret bisa dilakukan untuk terus berisik di media sosial. Sebagai warganet, kita bisa terus menyuarakan penolakan di media sosial lewat beragam tagar, termasuk #StopGazaRelocation, #SavePalestine, atau #HandsOffGaza untuk menyebarkan kesadaran soal ini. Dengan tagar itu, kita bisa ikut menekan pemimpin negara yang mendukung Palestina agar lebih vokal dalam menolak rencana Trump.
Cara kedua bisa dengan membuat atau menandatangai petisi di platform, seperti Change.org atau Avaaz.org. Kita bisa ajak orang-orang di sekitar untuk menggalang dukungan. Cara ini bisa ditambah lagi strategi lain, termasuk mengirim email atau surat ke kementerian luar negeri masing-masing, guna meminta tindakan lebih tegas. Bisa pula ikut menekan PBB, OKI, atau organisasi hak asasi manusia agar aktif melawan rencana Trump.
Yang paling penting dan jelas berdampak adalah tetap menerapkan strategi boikot (BDS). Kita bisa terus menghindari membeli produk dari perusahaan yang mendukung kebijakan pendudukan Israel dan relokasi warga Palestina. Terakhir, jika memungkinkan, menggelar aksi solidaritas baik daring atau luring.
