Issues Politics & Society

No Pride with Genocide: Kenapa Pembebasan Hak LGBTQ+ Mendukung Palestina Merdeka?

Mungkin, ini bacaan bagus buat kamu yang sulit paham kenapa orang-orang queer juga teriak #FreePalestine dan mengutuk Israel.

Avatar
  • January 4, 2024
  • 4 min read
  • 521 Views
No Pride with Genocide: Kenapa Pembebasan Hak LGBTQ+ Mendukung Palestina Merdeka?

Adagium “no one is free until everyone is free” atau “tak ada yang bebas, sampai semua orang bebas”, memang mudah disebut. Namun, ternyata sulit dipahami banyak orang.

Contoh kasusnya, adalah ketika gerakan No Pride with Genocide dinyalangkan orang-orang queer yang menuntut pembebasan Palestina dari penjajahan Israel. Banyak yang tak mengerti kenapa orang-orang queer, LGBTQ+, yang hidupnya konon tak halal di tanah Palestina, malah mendukung kemerdekaan mereka. Dan mengutuk Israel, negara yang menjajah Palestina, sekaligus negara yang mengampanyekan hak-hak hidup orang-orang LGBTQ+.

 

 

Orang-orang yang heran ini gagal melihat bahwa pembebasan hak-hak hidup orang LGBTQ+ sejalan dengan pembebasan segala opresi yang terjadi di dunia, termasuk rakyat Palestina yang sejak 7 Oktober 2023 lalu—dan lebih dari setengah abad—dibombardir dan digenosida militer Israel.

Keheranan itu diperkuat dengan propaganda yang disiarkan Israel. Di akun X resmi mereka, Israel mengunggah foto tentara mereka membawa bendera pelangi, yang jadi simbol gerakan LGBTQ+, dengan caption: “Bendera Pride pertama yang berkibar di Gaza”.

Baca juga: Kenapa Serangan Israel ke Palestina Adalah Isu Feminis

Propaganda itu seolah-olah ingin bilang bahwa pendudukan atas Palestina adalah bagian dari pembebasan hak-hak LGBTQ+. Ini jelas keliru dan menyesatkan.

“Kami melihat gambar-gambar ini dengan frustrasi dan perasaan jijik yang luar biasa,” tulis grup anonimus Queers in Palestine, yang mengumpulkan organisasi LGBTQ+ untuk melawan penjajahan Israel atas Palestina, yang merilis manifesto No Pride with Genocide

Menurut mereka cara itu digunakan Israel dengan sengaja sebagai taktik menjadikan homofobia demi kepentingan penjajahan. 

Sa’ed Atshan, dosen Anthropology and Peace and Conflict Studies di Swarthmore College sekaligus penulis buku Queer Palestine and the Empire of Critique (2020), menyebut bahwa propaganda Israel ini seolah-olah membuat homofobia yang ada di Palestina atau Gaza jadi kasus istimewa. Padahal homofobia masih terjadi di setiap tanah. Opresi pada orang-orang queer masih terjadi di berbagai tempat di belahan dunia, bahkan termasuk di Amerika Serikat, yang jadi pendukung operasi militer Israel di Gaza.

“Homofobia, transfobia, heteronormativitas, patriarki, seksisme, kekerasan berbasis gender dan seksualitas; semuanya adalah kenyataan yang harus kita hadapi di seluruh dunia. Sangat berbahaya untuk membuat patologis masyarakat Palestina sebagai masyarakat yang homofobik,” kata Atshan dalam wawancaranya dengan Them

“(Apalagi) tanpa memahami bahwa kehidupan di bawah pendudukan militer yang brutal (oleh Israel) juga memperburuk homofobia dalam masyarakat Palestina,” sambungnya.

Baca juga: Mahasiswa Jangan Terjebak Politik Homofobia, Harus Perjuangkan Keadilan Gender

Melihat homofobia yang ada di warga Palestina sebagai kasus spesial, menurut Atshan, justru berbahaya dan menghilangkan perjuangan queer Palestina. Di titik tertentu, bahkan menghilangkan identitas mereka–para queer di sana. “Dengan menjadikan warga Palestina sebagai bigot kolektif, akan mempermudah mereka distigmatisasi dan melemahkan empati terhadap warga Palestina yang sedang menghadapi tingkat kematian dan kehancuran yang sangat parah,” kata Atshan.

Kolonialisme dan Kekaisaran Selalu Anti-Queer

Propaganda Israel yang seolah mendukung pembebasan hak queer menurut Queers in Palestine sebagai bentuk pembajakan gerakan. Sebab, dilihat dari sejarah, kolonialisme yang dilakukan bangsa Inggris selalu menerapkan penghapusan sistem gender di negara jajahan mereka, terutama jika tidak dianggap sesuai dengan model patriarki yang mereka bawa.

Pola-pola itu bisa kita lihat terjadi di India, ketika kelompok Hijra di Asia Selatan dikriminalisasi; atau pemaksaan sistem gender biner oleh Inggris dan Prancis di Yoruba Land. Kolonialisme Spanyol dan Portugis juga berusaha mengeliminasi orang-orang “two-spirits” di Amerika Utara. 

“Kami, queer Palestina, memposisikan gerakan pembebasan hak-hak kami sejajar dengan gerakan anti-kolonial dan anti-rasisme secara global,” tulis Queers in Palestine di pernyataan mereka yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa secara sukarela oleh queer lain di seluruh dunia. “Kami dengan tegas menolak segala upaya untuk membajak gerakan kami, atau mengeksploitasi tubuh kami.”

Semua regulasi di Gaza yang mengkriminalisasi queer, menurut Queers in Palestine, pada kenyataannya adalah produk Inggris yang ditegakan Zionisme. Retorika Israel yang membajak gerakan pembebasan queer jadi makin tidak masuk akal, karena dilandasi alasan paling brutal: pemusnahan bangsa Palestina yang dilakukan terang-terangan.

“Pride baru bisa diwujudkan lewat pembebasan sebetulnya, pembebasan untuk kita, oleh kita, dan semua orang yang sedang berjuang (terlepas dari opresi apa pun) di seluruh dunia,” tutup Queers in Palestine.


Avatar
About Author

Aulia Adam

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramaditha.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *