Mahasiswa UNS Meninggal Saat Diklat, Apakah Menwa Masih Relevan?
Dengan dalih mendisiplinkan anggota, korban kekerasan di organisasi itu terus berjatuhan.
Sudah lebih sepekan mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS), Gilang Endi meninggal saat mengikuti Diklatsar Resimen Mahasiswa (Menwa). Mahasiswa jurusan Keselamatan dan Kesehatan Kerja itu dikabarkan mengikuti Diklatsar yang berlangsung Sabtu sampai Minggu (23-24/10).
Menurut kesaksian panitia, pada hari terakhir Diklatsar, korban mengaku merasa sakit dan sempat dilarikan ke rumah sakit pukul sepuluh malam. Namun, saat itu Gilang sudah menghembuskan napas terakhirnya. Keluarga menemukan ada kejanggalan pada jenazah Gilang lalu melaporkan kasus ini pada Senin (25/10).
Menurut hasil autopsi Kapolresta Surakarta, Gilang meninggal karena luka akibat benda tumpul yang membuatnya lemas. Hal tersebut mengindikasikan terjadinya kekerasan, karenanya kasus dalam proses penyidikan. Dikabarkan oleh media, polisi telah memeriksa saksi, termasuk peserta, panitia, dan pembina Menwa UNS serta keluarga korban.
Sementara itu, Universitas Sebelas Maret telah membekukan sementara Menwa kampus atau Korps Mahasiswa Siaga 905 Jagal Abilawa. Jika terbukti melakukan kekerasan dan pelanggaran, Menwa UNS akan dibubarkan dan mengeluarkan mahasiswa yang terlibat dengan kasus tersebut.
Hingga artikel ini ditulis, publik dan mahasiswa UNS masih meminta pihak kampus dan pemerintah untuk membubarkan Menwa karena kasus kekerasan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa itu terus terjadi. Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo juga mendesak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menangani kasus tersebut dengan tegas.
“Dengan pertimbangan untuk memberikan sanksi tegas hingga sanksi pembubaran organisasi Menwa UNS apabila terbukti ada unsur pelanggaran atau kelalaian dari pihak Menwa UNS yang menyebabkan meninggalnya mahasiswa yang mengikuti Diksar Menwa UNS,” ujarnya dikutip dari Jawa Pos.
Baca juga: Kekerasan Polisi: Slogan Melindungi, Mengayomi, Melayani Cuma di Atas Kertas?
Seiring viralnya kasus Gilang di media sosial, warga dunia maya kemudian maju satu per satu mengungkapkan praktik kekerasan yang dialaminya saat mengikuti Diklat Menwa. Beberapa di antaranya juga berakibat kematian yang terjadi hampir satu dekade lalu dengan pelaku yang tidak menerima sanksi. Kasus tersebut belum diungkap ke publik atau disorot media.
Tuntutan untuk meminta tanggung jawab dari pelaku disuarakan dengan tagar #JusticeForGilang. Ada juga yang langsung meminta agar Menwa sebagai produk militer Orde Baru hingga pelbagai praktik perpeloncoan yang sarat kekerasan untuk segera dihentikan.
Dimaksudkan Sebagai Cadangan Militer
Secara historis pembentukan Menwa tidak lepas dari situasi politik Indonesia yang panas di tahun 1950-an sampai 1960-an. Sejak Juni 1959, mahasiswa di Jawa Barat dilatih oleh Komando Daerah Militer Siliwangi. Alasannya, dipersiapkan untuk menghadapi gerombolan pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Menwa pun menjadi semacam perlindungan ketahanan negara atau militer cadangan.
Baca juga: Penyiksaan di Rutan, Panti Rehab: Saat Yang Berwenang Jadi Sewenang-wenang?
Lalu, akhir tahun 1961, Soekarno mencetuskan Trikora untuk merebut Irian Barat dan kembali melibatkan mahasiswa atau batalion wajib latih (Wala) tersebut. Sejak saat itu kedudukan Menwa di militer semakin kuat bahkan diarahkan langsung oleh Kodam. Universitas, seperti Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjadjaran pun diwajibkan untuk memiliki pelatihan militer tersebut. Dalam peristiwa G30S, Menwa kembali ikut dalam ‘menghanguskan’ PKI bersama Angkatan Darat.
Meski demikian, dilansir dari Tirto, Menwa sering melangkahi pihak kampus karena menganggap sebagai anggota militer. Belum lagi bermunculan kasus kekerasan oleh anggota Menwa. Akhirnya, lahir desakan agar Menwa menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) tanpa perintah militer. Permohonan itu direalisasikan dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Pertahanan, Menteri Pendidikan Nasional, dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah pada Oktober 2000.
Apakah Menwa Masih Relevan?
Menurut Muhammad Idris Patarai, akademisi Politik dan Pemerintahan di Institut Pemerintahan dalam Negeri (IPDN), pendidikan atau latihan dasar yang menerapkan hukuman pada pelaku indisipliner memiliki sifat yang normatif. Meski demikian, penerapan terkadang berlebihan dari standar yang seharusnya diikuti. Selain itu, kecelakaan yang tidak disengaja memang sulit dihindari sekecil apapun perlakukannya.
“Hal seperti itu (kecelakaan) akan terus terjadi. Jika ingin dihentikan (hukuman berdampak fatal) maka melalui pendekatan presentasi kasus. Kalau sudah melebihi batas normal maka perlu berhenti,” ujarnya kepada Magdalene, (2/11).
Baca juga: Tingkah Laku Polri-TNI: Dari Flexing sampai Narsistik
Dalam melihat kasus Menwa UNS, imbuhnya, yang perlu diperiksa ialah penyelenggara pendidikan. Jangan sampai institusi membiarkan kelalaian di ranah kampus terjadi berulang-ulang.
“Misalnya seperti ini. Hampir setiap hari terjadi kecelakaan di jalan tol dan solusinya bukan menutup jalan tol. Tapi, meminta pengemudi berhati-hati. Namun, kalau pengemudi sudah bertindak di luar standar, maka sebaiknya manajemen memberhentikan dia,” kata Idris.
Dikutip dari CNNIndonesia, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan, kebijakan untuk membubarkan Menwa perlu dikaji apakah kasus kekerasan itu terjadi karena alasan sistemik atau kasuistik. Jika memang terjadi karena budaya kekerasan, maka akan dilakukan pembenahan sistem bersama Kemendikbud Risti. Tito juga mengungkapkan kalau Menwa melakukan hal sosial positif, seperti membantu dalam penanggulangan bencana.
Meski demikian, hal tersebut tidak menjadi jaminan kekerasan yang mampu berdampak fatal bisa berhenti terjadi. Terlebih lagi masyarakat semakin antipati dengan organisasi sarat militeristik dan maskulin yang kerap menggunakan aspek ketahanan fisik sebagai dalih mendisiplinkan anggotanya. Melihat kondisi sekarang dan keterlibatan Menwa secara kesejarahan, relevansinya memang patut dipertanyakan.
Per 2 November, petisi ‘Bubarkan Resimen Mahasiswa (Menwa) UNS‘ telah ditandatangani hampir 17 ribu orang dalam situs Change.org. Petisi yang dimulai oleh Front Mahasiswa Nasional UNS itu menyebutkan, Menwa yang sarat unsur militer bertentangan dengan lingkup pendidikan yang demokratis dan tidak memiliki urgensi. Karenanya, patut diberhentikan untuk memutus rantai kekerasan di lingkup universitas.