Screen Raves

‘D.P.’, Potret Perundungan di Wajib Militer Korea

Dari D.P kita percaya, perundungan bisa terjadi di tempat paling maskulin, termasuk dalam wajib militer Korea.

Avatar
  • September 8, 2021
  • 5 min read
  • 1232 Views
‘D.P.’, Potret Perundungan di Wajib Militer Korea

Barangkali cuma di serial Nexflix ini, penonton tak diberi tahu apa itu D.P. hingga episode keenam (terakhir) tayang. Bahkan dalam satu adegan, dua karakter dalam serial yang naskahnya ditulis oleh Kim Bo-Tong dari webcomic-nya bersama sutradara Han Jun-Hee) mengaku tak tahu apa itu D.P. Buat saya, justru inilah kekuatan D.P. sebab tanpa kenal nama, kita justru diajak merasakan langsung jadi D.P.

D.P. adalah serial Netflix yang bercerita tentang wajib militer di Korea Selatan. Idenya cukup menarik karena selama ini saya belum pernah menonton drama Korea (drakor) yang berhubungan dengan wajib militer. Mereka selalu membicarakannya tapi tidak pernah memperlihatkannya secara langsung. Beruntung sekali, pembuat D.P. sama sekali tidak menahan diri. Enam episode D.P. terasa seperti film perang dengan emosi yang membuncah padahal tidak ada peperangan sama sekali. Musuhnya jelas: Lingkaran kekerasan tanpa ujung.

 

 

Tokoh utamanya adalah An Jun-Ho (Jung Hae-In, sangat luar biasa memikat bahkan tanpa berbicara), pemuda miskin dan jujur. Jun-Ho mungkin tidak punya keluarga yang harmonis dan uang di dompetnya tapi ia memiliki kompas moral yang baik. Dalam pembukaan yang singkat tapi padat, kita melihat ia membela diri ketika dia difitnah. Kompas moral tersebut dengan segera membuat drakor ini asyik, terutama ketika dia mulai wajib militer, bertemu dengan budaya kekerasan, dan maskulinitas toksik yang lebih pekat dari kuah rawon.

Baca juga: 6 Serial Netflix Terbaik dengan Tema Perempuan Di Dunia Kerja

Selama nonton drakor (dan berkenalan dengan budayanya), saya selalu takjub dengan budaya senioritas dan menghormati orang tua yang sangat ekstrem. Namun, saya tidak pernah menyadari budaya senioritas itu sangat toksik (dan berbahaya) sampai saya menyaksikan 15 menit pertama D.P. Bayangkan, kamu harus melakukan apapun yang senior mau hanya karena dia wajib militer duluan. Sebut saja memijat, push-up, dan kekerasan-kekerasan tanpa ujung.

Di luar kompas moral, Jun-Ho memiliki kemampuan yang membuat salah satu kepala wajib militer melihatnya. Jun-Ho cerdik, punya logika yang baik, sekaligus pemerhati yang luar biasa. Sersan Park Beom-Gu (Kim Sung-Kyun alias bapaknya Jungpal dari serial Reply 1988, bermain dengan sangat baik sampai kamu lupa, ini adalah orang yang suka menyanyi enggak jelas. Red) melihat potensi ini dan menawarkan pekerjaan untuk menjadi D.P. Saat itulah Jun-Ho bertanya apa itu D.P. dan Park Beom-Gu juga tidak tahu apa sebenarnya apa kepanjangannya. Namun, tujuan pekerjaan ini jelas. Petugas D.P. harus menangkap deserter, orang-orang yang kabur dari wajib militer.

Jun-Ho akhirnya berkolaborasi dengan Park Sung-Woo (Ko Gyung-Pyo), anak pejabat yang kemungkinan dapat pekerjaan ini karena nepotisme. Pekerjaan menjadi D.P. ini diminati banyak peserta wajib militer karena tentu saja mereka bisa keluar dari basecamp dan menikmati udara bebas. Akan tetapi, ternyata Sung-Woo tidak seperti yang Jun-Ho bayangkan. Dia sering nongkrong dengan anak-anak orang kaya, gemar minum, senang karaoke, dan hura-hura. Ketika misi mereka berakhir gagal total, Jun-Ho hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri. 

Baca juga: 4 Alasan Kamu Harus Nonton Serial Netflix ‘Young Royals’

Dari episode pertamanya, D.P. tidak pernah setengah-setengah menggambarkan lingkaran kekerasan di dunia wajib militer. Pembuat serial ini mampu bercerita dengan apik, sehingga saya bisa merasakan semua amarah, emosi, dan rasa tidak berdaya ketika melihat dunia Jun-Ho yang sangat sempit. Lihat bagaimana sutradara Han Jun-Hee mengatur ketegangan hanya dengan seorang bully dan paku di dinding. Kamu akan merinding seperti saya.

Sumber: Netflix

Hal keren lainnya dari D.P. adalah meskipun itu punya tone yang jelas, selalu ada nuansa lain di setiap episodenya. Episode pertamanya jelas menjadi pondasi di mana suasana tidak menyenangkan menyelimutinya. Beruntung, ada lelucon yang diselipkan, sehingga serial ini enggak tegang-tegang amat.

Di episode dua, komedinya ditambah lagi. Sedangkan dalam episode ketiga, ada bumbu romansa yang bikin merona. Dengan karakter yang 90% adalah laki-laki, kemunculan karakter perempuan dalam serial ini langsung memberikan napas yang sangat berbeda. Episode empat adalah drama keluarga yang sangat memilukan. Begitu memasuki dua episode terakhir, bersiap-siaplah untuk terengah-engah.

Dengan cerita yang sangat gelap (dan penggambarannya yang sangat tidak basa-basi), D.P. menggunakan bromance antara Jun-Ho dan Han Ho-Yeol (Koo Gyo-Hwan) untuk membuat penonton tetap anteng di depan TV (atau laptop). Ini adalah keputusan yang bagus karena seruwet apapun masalah (percayalah, masalahnya sangat ruwet), dinamika antara mereka berdua adalah oase di tengah gurun.

Baca juga: 8 Serial Netflix yang Kupas Tabu dalam Masyarakat

Selain untuk membuat suasana jadi sedikit rileks, hubungan antara Jun-Ho dan Ho-Yeol juga penting untuk menunjukkan mana hubungan yang sehat dan yang tidak sehat. Jun-Ho adalah karakter yang tidak banyak bicara. Dia tidak curhat apapun tentang masalah keluarganya. Sebaliknya, Ho-Yeol adalah orang yang sangat konyol, banyak omong, dan punya aura happy-go-lucky. Dua karakter yang berseberangan ini selain menjadi resep buddy comedy yang baik juga antitesis terhadap hubungan senior dan junior di dunia wajib militer. Kalau semua senior dalam D.P. digambarkan selalu merundung juniornya hanya karena alasan: “Ya dulu kita juga disiksa sama senior kita”, Ho-Yeol yang seorang senior menunjukkan, sebenarnya kita bisa memutus siklus perundungan itu.

Kehadiran D.P. sangat menarik, apalagi saya menontonnya ketika kita dihebohkan dengan perundungan dan kekerasan seksual di KPI. Jujur, ketika saya membaca rilis yang panjang itu, hati saya ikut ngilu. Yang lebih sedih lagi, saya tahu tidak bisa melakukan apa-apa selain membagi berita tersebut dan berharap publik melakukan hal yang sama karena kita tahu kasus seperti ini ajek diremehkan.

Yang membuat saya muak adalah ulah netizen yang dengan santainya berkomentar, seperti, “Laki bukan sih, kalau dipukul yang ngelawan dong,” atau “Apaan, sih cemen banget jadi laki,” dan segala macamnya. Perundungan dan kekerasan mental seperti ini tujuannya kompleks dan dikerangkai oleh relasi kuasa yang timpang. Kita tidak bisa langsung menghakimi karena kita bukan korban. Karena itulah menonton D.P. sangat mencerahkan karena semua korban perundungan dalam serial ini berasal dari berbagai latar.

Dalam sebuah adegan yang sangat memilukan, seorang korban perundungan dengan air mata mengalir bertanya kepada pemimpin/ orang yang bertanggung jawab atas base wajib militer, “Kalau kamu memang tahu saya disiksa oleh senior saya, kenapa kamu tidak melakukan apa-apa?”

Tentu saja pemimpin tersebut hanya diam.

D.P. dapat disaksikan di Netflix.

​​Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *