Makanan dan Stereotip Gender: Apa Salahnya Laki-laki Tak Minum Kopi?
Pembedaan makanan berdasarkan jenis kelamin bukanlah hal yang baru. Dari mana anggapan ini berkembang?
Pada suatu sore, saya dan seorang kawan perempuan pergi ke sebuah kedai kopi di Solo, Jawa Tengah. Di meja kasir, kawan saya memesan es kopi hitam, sedangkan saya memesan mint tea. Seperti kedai kopi kekinian pada umumnya, kami pun ditanyai nama masing-masing, sebelum kami kemudian duduk.
Tak lama kemudian, pesanan kami pun datang. Ternyata sang barista salah menulis nama di pesanan kami. Es kopi hitam yang dipesan teman perempuan saya pesan diberi nama saya, dan sebaliknya dengan pesanan saya diberi nama dia. Kejadian ini rupanya dialami oleh teman-teman saya yang lainnya. Bahkan, ada beberapa dari mereka yang jengkel karena berulang kali mengalami hal serupa.
Kali lain, saat saya memesan teh di sebuah kafe di Yogyakarta, seorang teman melontarkan cibiran terhadap saya.
“Cowok kok minum teh,” katanya.
Saya jadi berpikir, “Apa salahnya laki-laki tidak meminum kopi? Bukankah setiap orang memiliki kemerdekaan untuk memilih makanan sesuai keperluan dan kesukaan mereka?”
Sejak saat itu saya pun menyadari bahwa masih ada stereotip yang melekat pada makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia sehari-hari.
Sebenarnya, pembedaan makanan berdasarkan jenis kelamin tersebut bukanlah hal yang baru. Hal ini terlihat dari adanya anggapan yang berkembang bahwa makanan yang berunsur hewani disebut sebagai makanan pria, sedangkan makanan yang berunsur tumbuh-tumbuhan diidentikkan dengan perempuan. Lalu, dari mana anggapan ini berkembang?
Dalam bukunya, The Sexual Politics of Meat (1990), penulis, feminis dan pembela hak hewan Carol J. Adams mengatakan, anggapan tersebut bermula dari dongeng-dongeng yang berkembang di dunia. Ia mengamati banyak dongeng yang menampilkan raja melahap daging, sementara ratu mengonsumsi madu dan roti. Meski demikian, perempuan terkadang juga dicitrakan memakan daging. Namun, citra ini dilekatkan kepada seorang penyihir yang merupakan tokoh antagonis.
Tidak hanya daging dan tumbuh-tumbuhan belaka, distingsi ini pun meluas seiring berkembangnya ragam jenis makanan. Beberapa makanan dianggap memiliki “kelamin”. Makanan yang tidak sehat dianggap mewakili maskulinitas, sedangkan makanan sehat dianggap mewakili feminitas. Distingsi ini diungkap oleh peneliti dari University of Manitoba, Luke Zhu. Mengutip dari Time, dalam tulisannya yang diterbitkan di jurnal Psychology Social, Zhu mengungkapkan bahwa orang lebih cenderung melihat makanan yang tidak sehat sebagai pilihan maskulin dan lebih sehat sebagai feminin.
Bercermin pada pengalaman saya di kedai tersebut, jelas terlihat bahwa teh yang memiliki kadar kafein lebih ringan daripada kopi diidentikkan dengan perempuan. Sementara itu, kopi diidentikkan dengan laki-laki karena dianggap mewakili “sifat-sifat” maskulin di dalamnya. Kadar kafein inilah yang menjadi alasan kopi disebut sebagai “minuman yang lebih berat” daripada teh. Cibiran yang teman yang dilontarkan terhadap saya itu seakan-akan mengisyaratkan bahwa saya tidak laki-laki atau banci karena saya mengonsumsi teh. Saya dianggap tidak bisa memenuhi standar maskulinitas masyarakat karena minuman saya. Padahal, saya memiliki alasan yang berkaitan dengan kesehatan mengapa saya memilih mengonsumsi teh daripada kopi.
Selain dari bahan makanan, distingsi ini juga berlaku terhadap porsi makanan yang dikonsumsi. Di masyarakat kita, laki-laki distereotipkan mengonsumsi makanan lebih banyak daripada perempuan. Hal ini tidak bisa terlepas dari pembagian kerja di antara keduanya dalam masyarakat. Laki-laki di masyarakat dianggap bekerja lebih keras sehingga membutuhkan asupan makanan lebih banyak daripada perempuan. Anggapan ini bermula dari stereotip perempuan sebagai ibu rumah tangga dan laki-laki sebagai kepala rumah tangga dalam masyarakat patriarkal. Peran perempuan yang berada di ranah domestik tersebut dianggap hanya membutuhkan tenaga yang lebih sedikit daripada laki-laki.
Meski terkesan masuk akal, anggapan ini tentu saja salah, namun terus diyakini masyarakat hingga sekarang. Padahal, apabila ditelisik kembali, bukankah setiap tubuh manusia memiliki kebutuhan makanan yang berbeda-beda. Hal ini berkaitan dengan aktivitas dan kondisi tubuh yang tidak sama.
Meskipun permasalahan ini terkesan sepele, yang namanya stereotip akan menimbulkan diskriminasi. Baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak dapat memenuhi peran sesuai stereotip gendernya, akan mengalami diskriminasi. Mereka dicibir karena dianggap “tidak normal”. Padahal, bukankah setiap orang memiliki kemerdekaan untuk memilih makanan dan minuman untuk mereka konsumsi? Laki-laki berhak untuk mengonsumsi makanan-makanan sehat tanpa harus takut kehilangan “kejantanannya”. Pun sebaliknya, perempuan berhak memakan sebanyak yang dibutuhkan dan diinginkan.