December 5, 2025
Issues Opini Politics & Society

Antara Kritik dan Makar: Saat Negara Gagal Bedakan Pendapat dan Ancaman

Di negara demokratis, ekspresi publik dan unjuk rasa tidak seharusnya dibungkam dengan pasal yang semestinya ditujukan untuk ancaman nyata terhadap negara.

  • October 1, 2025
  • 4 min read
  • 566 Views
Antara Kritik dan Makar: Saat Negara Gagal Bedakan Pendapat dan Ancaman

Pernyataan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, pada 1 September 2025 menarik perhatian publik. Usai menjenguk korban aksi demonstrasi di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta, ia mengatakan:

Aspirasi murni yang disampaikan harus dihormati. Hak untuk berkumpul secara damai harus dihormati dan dilindungi. Namun kita tidak dapat dipungkiri bahwa sudah mulai kelihatan gejala adanya tindakan-tindakan di luar hukum, bahkan melawan hukum, bahkan ada yang mengarah kepada makar dan terorisme”.

Pernyataan ini muncul di tengah maraknya demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah. Beberapa berujung rusuh—kantor DPRD, rumah anggota legislatif, hingga fasilitas publik dirusak dan dibakar. Namun yang memantik diskusi adalah penggunaan kata “makar” oleh Presiden. Apa benar kritik terhadap pemerintah bisa disamakan dengan makar?

Baca juga: Akankah Anarkisme Bernasib Serupa Komunisme di Indonesia?

Makar bukan sekadar kritik

Dalam hukum pidana Indonesia, istilah “makar” (dari bahasa Belanda aanslag) merujuk pada upaya serius untuk menggulingkan pemerintah atau merusak kedaulatan negara. Ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Bab Kejahatan terhadap Keamanan Negara, termasuk:

  • Pasal 104: makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden;
  • Pasal 106: makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian dari wilayah negara;
  • Pasal 107 ayat (1): makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah.

Namun, Pasal 87 KUHP memberikan batasan penting: sebuah tindakan hanya dapat disebut makar bila sudah ada permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering), bukan sekadar rencana atau niat. Bahkan Pasal 53 KUHP menyatakan bahwa percobaan makar (strafbare poeging) tidak dapat dihukum jika pelaku secara sukarela menghentikan aksinya.

Jadi, kritik terhadap kebijakan, unjuk rasa damai, atau bahkan poster sindiran bukanlah makar. Apalagi jika tidak ada tindakan nyata yang mengarah pada perlawanan bersenjata atau upaya penggulingan kekuasaan. Hal ini sejalan dengan pendapat ahli hukum pidana Andi Hamzah, yang menegaskan bahwa makar adalah “serangan yang sudah dimulai,” seperti upaya pembunuhan presiden yang digagalkan.

Sayangnya, dalam praktiknya, pasal makar kerap digunakan secara longgar. Aksi unjuk rasa, kritik di media sosial, atau ekspresi artistik—seperti poster karya Direktur Lokataru, Delpedro Marhaen—bisa dengan mudah dituduh sebagai tindakan subversif. Padahal, ini bentuk kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi.

Baca juga: Pengalaman Saya Baca 5 Buku ‘Berbahaya’ yang Disita Polisi 

Demokrasi tak seharusnya takut kritik

Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Ini ditegaskan lagi dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Secara internasional, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 19 juga menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apapun dan dengan tidak memandang batas-batas”.

Dengan jaminan hukum yang begitu jelas, mengapa negara masih sering menyamakan perbedaan pendapat dengan ancaman?

Jika kita melihat ke belakang, penggunaan pasal makar bukan hal baru. Pada masa Presiden Joko Widodo, sejumlah tokoh seperti Kivlan Zen, Ratna Sarumpaet, dan Sri Bintang Pamungkas pernah dijerat pasal ini. Pola-polanya mirip: opini publik atau kritik keras terhadap pemerintah dibingkai sebagai ancaman terhadap negara.

Celakanya, penilaian makar sering muncul ketika demonstrasi mulai menekan legitimasi pemerintah. Bukan tidak mungkin, ini menjadi bentuk “perlawanan balik” untuk membungkam masyarakat yang mulai vokal menyuarakan ketidakpuasan atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat.

Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa aksi massa diwarnai provokasi dan kekerasan. Tapi menyamaratakan seluruh bentuk demonstrasi sebagai makar adalah langkah berbahaya. Itu artinya negara tak lagi mampu membedakan mana kritik, mana kriminal. Mana aspirasi rakyat, mana hasutan.

Baca juga: Ibu Jilbab Pink, Label Perempuan Pemarah, dan Jeruji Kesopanan

Padahal, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 7/PUU-XV/2017 sudah menegaskan bahwa pasal makar tidak bisa digunakan sembarangan. Penegak hukum harus berhati-hati agar pasal ini tidak menjadi alat represi, melainkan benar-benar digunakan untuk melindungi negara dari ancaman nyata. Pasal makar tidak bisa menjadi alat untuk membungkam kebebasan dalam menyampaikan pendapat dalam negara demokratis yang menjadi salah satu semangat Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam negara demokrasi, kritik adalah bagian dari partisipasi warga, bukan ancaman. Negara seharusnya tidak buru-buru menyamakan ekspresi publik, termasuk demonstrasi damai, sebagai bentuk makar. Ketika hukum digunakan untuk membungkam suara rakyat alih-alih melindungi hak-hak mereka, maka yang runtuh bukan sekadar kebebasan berekspresi, tapi juga kepercayaan terhadap sistem demokrasi itu sendiri

Mona Ervita adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.

About Author

Mona Ervita

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya dan menyisihkan waktunya sebagai lawyer di @advokatgender