‘Marlina’, Pembunuh yang Melawan Patriarki
Film 'Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak' terang benderang mengangkat persoalan perempuan di negeri ini.
Mengapa perempuan bisa begitu marah kepada laki-laki? Pertanyaan ini kerap dilontarkan kepada para feminis ketika memperjuangkan kesetaraan, keadilan gender, dan hak-haknya sebagai sesama manusia. Film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak karya Mouly Surya bisa menjawab pertanyaan itu.
Adegan pertama yang disorongkan kepada penonton adalah datangnya seorang laki-laki yang, meskipun sang nyonya rumah tidak merasa nyaman, tetap meminta disuguhi. Perempuan, menurutnya, sudah selayaknya melayani laki-laki, dari soal makanan sampai hasrat seksual. Tak peduli apakah perempuan itu menginginkannya atau tidak, tak peduli apakah perempuan itu ikhlas atau tidak.
“Malam ini kau beruntung mendapat bonus tujuh laki-laki,” ujar pria yang mendatangi Marlina, dan terang-terangan berkata hendak memerkosa janda yang tinggal seorang diri di pedalaman Sumba, Nusa Tenggara Timur itu.
Adegan ini langsung menohok saya sebagai penonton. Saya teringat berbagai pemberitaan tentang masih banyaknya orang yang menganggap korban pemerkosaan bisa menikmati tindak kekerasan itu. Begitu pun Marlina, yang dianggap akan menikmati pemerkosaan yang direncanakan komplotan perampok di rumahnya itu, sehingga apa yang mereka lakukan bukanlah sebuah kejahatan.
Itulah yang dialami Marlina. Sesuai judul filmnya, Marlina adalah seorang pembunuh. Jadi saya rasa bukan spoiler jika saya menyampaikan bahwa Marlina adalah pembunuh. Dan bukan spoiler juga kalau saya gambarkan dengan dinginnya Marlina membawa-bawa kepala lelaki yang telah memerkosanya dan hendak melaporkan lelaki itu ke polisi, sebab adegan itu ada di trailer resmi film. Ya, Marlina membawa kepala lelaki pemerkosa yang sudah ia penggal. Ia menempuh perjalanan yang sangat jauh untuk bisa sampai ke kantor polisi tetapi apa yang ia dapat? Alih-alih mendapat perlindungan karena melaporkan bahwa masih ada dua perampok berkeliaran yang mengancam nyawa Marlina, polisi malah sibuk hendak membuktikan lebih dulu apakah benar Marlina diperkosa. Marina juga perlu divisum, namun alatnya baru tiba di Sumba satu bulan kemudian. Marlina kemudian meninggalkan kantor polisi dan memilih tidak menunjukkan apa yang dia bawa.
Sutradara Mouly Surya tampak tidak ingin tanggung-tanggung dalam menonjolkan karakter Marlina. Sebagai sutradara perempuan, ia tidak ingin imajinasinya terkungkung. Ia biarkan Marlina menjadi pembunuh berdarah dingin yang menenteng-nenteng kepala lelaki yang dibunuhnya. Tidak ada ekspresi dramatis sepanjang adegan menenteng kepala itu. Tetapi saya sebagai penonton bisa merasakan kemarahan Marlina. Apalagi saat teman Marlina yang hamil tua menghampirinya dan mengajaknya ke gereja untuk melakukan pengakuan dosa. Marlina menukas, ia tidak merasa berdosa.
Film ini juga mengangkat mitos-mitos yang menempel pada tubuh perempuan. Sahabat Marlina yang kehamilannya mencapai 10 bulan dituduh berselingkuh oleh suaminya sendiri hanya karena ia tidak kunjung melahirkan.Warga kampungnya percaya bahwa jika perempuan tak kunjung melahirkan, maka bayinya sungsang akibat berhubungan seks semasa kehamilan. Hal ini membuat suami sahabat Marlina merasa pantas memukul sang istri yang sedang hamil tua.
Film Marlina terang benderang mengangkat persoalan perempuan di negeri ini. Pengemasan dalam empat babak dan pengaruh spaghetti western membuat film ini secara visual apik dan alur cerita yang ditampilkan unik. Pilihan lokasi Sumba dan latar belakang karakter-karakter beragama Kristen merupakan wujud menghargai perbedaan yang tak boleh luput dari perhatian. Indonesia bukan cuma Jawa dan Islam. Mengangkat persoalan perempuan dari luar Jawa juga bisa menjadi alternatif pembuka kesadaran akan apa yang terjadi di daerah-daerah terpencil. Jika di ibukota Jakarta saja perempuan tidak bisa mendapat perlindungan karena Kapolri mengeluarkan pernyataan yang tidak berpihak pada korban, maka apa yang bisa diharapkan dari polisi yang ada di pedalaman yang letak kantornya sangat jauh dari rumah penduduk?
Sangat terasa ketika film digarap oleh perempuan, maka persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan bisa diangkat dengan jernih.Marlina, perempuan sederhana dari pedalaman Sumba, yang tidak digambarkan seperti apa latar pendidikannya, mendobrak patriarki dengan caranya sendiri. Ia mungkin tak pernah dengar istilah feminisme. Ia mungkin tidak tahu kesetaraan gender itu apa. Ia juga mungkin tidak sadar bahwa dirinya adalah korban patriarki. Tapi ketika kaum laki-laki masih bertanya kenapa perempuan begitu marah, begitu galak, begitu merasa tersakiti, sedangkan kaum laki-laki sendiri kerap melakukan kekerasan (fisik dan seksual) tanpa merasa itu adalah kejahatan, mau tidak mau, suka tidak suka, pembunuhan adalah solusinya. Marlina tak punya cara lain.
Tenni Purwanti berprofesi sebagai jurnalis sejak 2011 hingga sekarang. Di luar aktivitas jurnalistiknya, Tenni menulis sejumlah prosa yang dimuat di media massa dan buku antologi. Bisa disapa di akun media sosial @rosezephirine.