December 5, 2025
Issues Politics & Society

Masihkah DPR Mewakili Kita? 

Menaikkan tunjangan gaji selangit saat banyak WNI kesulitan ekonomi, bikin saya berpikir: Apakah sebaiknya DPR diganti kepanjangannya jadi Dewan Pemeras Rakyat?

  • August 28, 2025
  • 5 min read
  • 4761 Views
Masihkah DPR Mewakili Kita? 

Saya yakin bukan hanya saya yang merasa jengkel ketika melihat pernyataan Nafa Urbach soal rencana kenaikan tunjangan DPR. Dalam cuplikan live Instagram yang disiarkan ulang tvOneNews, Nafa menyebut tunjangan rumah dinas DPR wajar jika menyentuh puluhan juta karena banyak anggota DPR datang dari luar kota. 

“Banyak sekali anggota dewan yang kontrak dekat Senayan. Saya aja yang tinggalnya di Bintaro macetnya luar biasa.”  

Sebagai warga Depok yang rutin naik kereta, saya teringat Bintaro, Tangerang Selatan, punya dua stasiun terdekat, Stasiun Pondok Ranji dan Stasiun Jurangmangu. Keduanya bisa diakses kapan saja. Memang padat di jam sibuk, tapi setidaknya ada alternatif transportasi bebas macet ke Senayan. Entah kenapa hal ini tidak terpikir oleh Nafa, atau memang anggota DPR harus selalu naik mobil untuk bermobilisasi. 

Baca juga: #MerdekainThisEconomy: Dear Sri Mulyani, Semoga di Kehidupan Selanjutnya Anda Jadi Anak Guru 

Pernyataan Nafa sebenarnya bukan satu-satunya blunder dewan yang katanya perwakilan rakyat. Melansir Suara.com, Adies Kadir, Wakil Ketua DPR RI, juga menilai tunjangan rumah puluhan juta sangat masuk akal. Meski perhitungannya keliru soal Rp3 juta per hari, pernyataan Adies ini tampak seperti upaya memvalidasi keputusan tersebut. Alih-alih refleksi setelah kritik publik, ia dan Nafa sama-sama mencari pembenaran untuk kenaikan gaji yang akan mereka nikmati sendiri. 

Momentum kenaikan tunjangan ini membuat saya mulai mempertanyakan: Apa yang sebenarnya DPR kerjakan? 

Sebagai Dewan Perwakilan Rakyat, mereka seharusnya jadi perpanjangan suara rakyat, tapi kenyataan menunjukkan sebaliknya. Gaya hidup mereka yang selangit sangat timpang dengan kehidupan sehari-hari para pekerja yang bertahan dari gaji ke gaji. Keputusan yang dibuat pun sering jauh dari harapan masyarakat. Bisa jadi sekarang DPR lebih pantas disebut Dewan Pemeras Rakyat. 

Saya berbincang dengan Yenti Nurhidayat, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum dan Anggaran (PUSKAHA). Mengamini kekesalan saya, Yenti bilang, anggota dewan memang kehilangan rasa keberpihakan terhadap rakyat. Menyetujui kenaikan tunjangan di tengah kondisi ekonomi yang berat jelas menunjukkan ketidakpekaan mereka. 

“DPR ini tidak memiliki sense of crisis di tengah kondisi ekonomi yang saat ini tidak baik-baik saja,” ujar Yenti. 

Menurutnya, fenomena tunjangan hidup yang selangit ini menjadi simbol bagaimana DPR abai terhadap kebutuhan rakyat. Alih-alih merepresentasikan masyarakat, keputusan mereka justru menguntungkan diri sendiri. 

Baca juga: Rangkap Jabatan Wamen, Janji Surga 19 Juta Lapangan Kerja 

“Dalam teori public policy, kebijakan diputuskan oleh eksekutif dan legislatif berdasarkan kesepakatan. Akan tetapi yang terjadi saat ini adalah pemufakatan jahat antara pemerintah dan DPR. Mereka secara bersama-sama melakukan pembohongan publik untuk kepentingan mereka dan kelompok mereka sendiri,” tambahnya. 

Pernyataan Yenti ini selaras dengan temuan Litbang Kompas soal tingkat kepuasan kinerja dan rasa keterwakilan masyarakat oleh DPR. Dari laman Goodstats, survei Litbang Kompas pada 2023 di 34 provinsi menemukan hampir dari setengah responden (43,18 persen) merasa DPR sudah tidak lagi mewakili rakyat. Banyak yang menilai DPR kini lebih tepat disebut sebagai wakil partai politik, dengan keputusan yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau partainya daripada masyarakat luas. 

Merespons situasi ini, Bivitri Susanti, akademisi dan pakar hukum tata negara, bilang setidaknya ada dua alasan mengapa DPR terkesan tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Yang pertama berkaitan dengan proses pemilihan legislatif yang kotor oleh politik uang. Kondisi ini membuat pemilihan anggota legislatif dipenuhi oleh mereka yang berasal dari kalangan menengah ke atas. Tanpa kepekaan terhadap kondisi masyarakat di lapangan dan pengetahuan politik yang memadai, mereka yang punya uang—apalagi terkenal—bisa saja maju menjadi wakil rakyat. 

“Kita tahu bahwa tahun lalu (pemilu) itu amplop itu gila-gilaan. Banyak sekali anggota DPR yang enggak punya pengalaman politik sama sekali, apalagi untuk mewakili yang ikut dalam pemilihan. Nah orang yang bisa membiayai pemilihan yang mahal itu kan berarti orang yang memang kaya banget pasti. Sehingga, gaya hidupnya juga enggak nyambung dengan kita,” jelas Bivitri. 

Selain itu, persoalan lain terletak pada sistem partai politik Indonesia yang jauh dari ideal. Bivitri menjelaskan hal ini terjadi karena adanya parliamentary threshold, yakni ambang batas persentase suara minimal yang harus diraih partai politik agar bisa ikut dalam penentuan kursi di DPR. 

“Partai politik hanya mencari suara, karena mereka juga harus memenuhi parliamentary threshold untuk masuk DPR RI, maupun untuk ya dapat kursinya itu sendiri. Sehingga, mereka enggak punya sistem kaderisasi, enggak punya pendidikan politik untuk anggota maupun calon legislatifnya. Mereka bahkan hanya cari satu caleg-caleg yang dekat dengan elit supaya dapat banyak suara,” tambah Bivitri. 

Baca juga: Hai, Aku Negara dan ini Kenyataan Pahit di Balik Abolisi Tom Lembong 

Transformasi adalah Kunci 

Menjawab kekecewaan saya, baik Yenti maupun Bivitri sepakat bahwa DPR membutuhkan perubahan mendasar. Bagi Yenti, secara teknis, DPR tidak boleh lagi membuat aturan secara serampangan. Semua keputusan harus benar-benar berdasar pada kepentingan rakyat. 

“Pemerintah harus melihat kondisi masyarakat. Inilah yang menunjukkan bahwa wakil rakyat benar benar wakil rakyat. Jangan pernah mencoba mengakali rakyat. Seharusnya dalam merumuskan aturan dilakukan secara patut, transparan, akuntabel, partisipatif dan berkeadilan.” 

Di sisi lain, Bivitri menekankan perlunya revolusi besar dalam sistem kepartaian dan pemilihan umum. Ini termasuk aturan tentang parliamentary threshold dan kaderisasi anggota partai, sehingga siapa pun yang menduduki posisi legislatif bisa benar-benar menjadi perpanjangan suara rakyat. 

“Kita enggak bisa meniadakan partai politik ataupun DPR-nya. Jadi yang harus dilakukan itu kita bongkar sistemnya. Karena kalau pakai cara-cara yang sekarang itu, bukan cuma soal pencalegan ya, cara dia beroperasi nantinya juga akan jauh dari rakyat seperti sekarang,” ungkapnya. 

Bivitri juga memberi pesan penting untuk masyarakat: kritik dan gerakan yang lantang harus terus dipertahankan. Meski perubahan di tubuh pemerintahan tidak instan, peluang untuk mengembalikan demokrasi ke jalurnya tetap ada. 

“Memang enggak akan sebentar tapi kita masih punya waktu menurut saya. Jangan lupa untuk berserikat agar melawannya bersama-sama. Karena kalau sendiri-sendiri nanti gampang dipatahkan (argumennya). Jangan berhenti menyebarluaskan kritik ini supaya makin banyak orang sadar bahwa masalahnya ada pada sistem,” pungkasnya. 

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).