Masyarakat Dairi Menolak Tambang: Kami Berjuang Sampai Mati
Kehidupan masyarakat Dairi terancam dengan kehadiran PT Dairi Prima Mineral. Lahan gereja mereka akan dijadikan tempat pembuangan limbah.
Suatu pagi di akhir Agustus lalu, Sahman (59) mengajak kami—jurnalis dari Jakarta dan Medan—ke ladangnya yang terletak di Desa Bongkaras, Kecamatan Silima Pungga Pungga, Kabupaten Dairi, Sumatra Utara. Ia menunjukkan lahan yang ditanami gambir, bekas sawah, dan ikan mas yang hidup di sungai. Ketiga sumber inilah yang menghidupi Sahman beserta keluarganya.
“Hidup kami berkecukupan karena hasil tani. Bahkan sampai anak-anak bisa kuliah,” ungkap Sahman.
Namun, kesejahteraannya mulai terancam sejak PT Dairi Prima Mineral (PT DPM) masuk ke Dairi. Perusahaan tambang seng dan timbal itu menyebabkan banjir bandang pada Desember 2018, merusak ekosistem pertanian di Desa Bongkaras. Sahman adalah salah satu korbannya.
Waktu itu, hujan turun selama dua jam dengan intensitas tinggi. Sahman bersama petani lainnya ingin pulang setelah menjemur gambir di gunung. Mereka terjebak di ladang karena situasi tak memungkinkan untuk pulang: Banjir setinggi dada orang dewasa, ditambah kayu-kayu besar ikut terbawa arus. Sambil berteduh di gubuk, Sahman berusaha menghubungi salah seorang warga yang masih berada di gunung. Tapi tak ada kabar.
“Rupanya udah hanyut,” cerita Sahman.
Rekannya adalah satu dari tiga warga Bongkaras yang meninggal karena banjir bandang. Sementara Sahman butuh waktu dua jam untuk sampai di rumah. Keluarganya menyambut dengan tangisan. Dan kaki Sahman sempat pincang akibat tersandung runtuhan batu.
Baca Juga:Pro Kontra Ormas Keagamaan Kelola Tambang
Namun, banjir bandang ini bukan hanya mengancam keselamatan warga, melainkan kerusakan lingkungan. Gara-gara kejadian itu, 600 hektare lahan pertanian milik warga rusak—termasuk punya Sahman sehingga penghasilan utamanya beralih ke gambir. Padahal, tadinya penghasilan Sahman mencapai Rp80 juta sekali panen padi dan berasnya bisa dimanfaatkan untuk konsumsi pribadi.
Kini ia tidak bisa menanam padi dan harus membeli beras.
Masalahnya, baik PT DPM maupun pemerintah enggak berupaya memperbaiki ladang supaya bisa kembali digunakan. Bencana itu berawal saat PT DPM mengebor lubang dan memasang pipa di kedalaman 300 meter. Menurut Sahman, mereka tidak menutup pipa, mengakibatkan air tidak meresap ke tanah saat hujan deras.
Ujung-ujungnya, warga Bongkaras yang harus menanggung akibat dan berjuang untuk menyambung hidup. Itu pun butuh enam bulan, sampai mereka bisa kembali bertani. Saat ditemui di kediaman Sahman, beberapa di antara mereka mengaku trauma dengan banjir bandang, sehingga tidak bisa pergi ke ladang. Selama itu, warga Bongkaras dibantu oleh anggota keluarga dan anak rantau Bongkaras untuk mencukupi bahan makanan.
Lalu, sejak kapan kehidupan mereka terancam oleh aktivitas PT DPM?
Upaya PT DPM Mengeksploitasi Tambang
Sejak Februari 1998, PT DPM mengantongi izin pembukaan tambang. Awalnya, mereka diizinkan mengeksplorasi mineral di Sumatra Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam dengan lahan seluas 27.420 hektare. Saat itu, 70 persen lahan tersebut dikuasai oleh Herald Resources Limited, sisanya oleh PT Aneka Tambang (ANTAM). Lalu, saham perusahaan 100 persen pindah tangan ke keluarga Aburizal Bakrie—PT Bumi Resources Minerals (BRMS)—sebelum 51 persen sahamnya dijual ke Non Ferrous China (NFC) karena tak mampu membayar utang.
Berdasarkan kajian kepatuhan hukum PT DPM yang dirilis oleh Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatra Utara (Bakumsu), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK), perusahaan tersebut diduga lalai melengkapi analisis risiko bencana. Padahal, dalam Pasal 40 ayat 3 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dijelaskan, setiap pembangunan berisiko tinggi—seperti eksplorasi tambang dan pembuangan limbah—harus menyertakan analisis risiko bencana sebagai solusinya.
Baca Juga: Ketimpangan Gender dan Kerentanan Perempuan di Sektor Pertambangan
Kegiatan PT DPM termasuk kategori tersebut melanggar aturan. Soalnya, eksplorasi yang dilakukan pada 2012 menyebabkan kebocoran limbah dari tempat limbah dan lubang bor tambang. Akibatnya mencemari aliran sungai untuk perairan sawah, dan banyak ikan mas pembudidayaan warga Bongkaras yang mati.
Selain itu, ada perubahan izin yang tidak sesuai dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dikeluarkan pada 2012. Dalam AMDAL itu, gudang bahan peledak seharusnya terletak di dalam kawasan hutan. Kenyataannya, gudang itu hanya berjarak sekitar 50 meter dari area permukiman warga di Dusun Sipat, Desa Longkotan.
Masalahnya, Dairi berada di area patahan gempa. Kalau pembangunan dilanjutkan, yang akan terdampak adalah ratusan ribu warga, lahan pertanian, dan sumber mata air yang menyuplai kebutuhan hidup sehari-hari.
Cara PT DPM Mendekati Masyarakat
Rohani Manalu dari YDPK bilang, salah satu cara PT DPM mendekati warga adalah melalui corporate social responsibility (CSR). Contohnya membagikan makanan untuk para lansia, ibu, dan anak di posyandu. Lalu memberikan alat musik ke gereja—yang sudah ditolak oleh dua gereja. Ini dilakukan untuk mengumpulkan tanda tangan warga supaya melegitimasi bahwa banyak warga Dairi yang setuju dengan tambang. Bahkan, perusahaan sempat melakukan ritual memotong hewan, sampai penguasa wilayah adat “menerima” sebagai anak.
Meski ada penolakan, bukan berarti tak ada yang menerima kehadiran PT DPM. Masyarakat yang berpihak pada perusahaan berharap mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, baik untuk mereka maupun anak-anak. Soalnya, jika membandingkan penghasilan dari bertani dengan bekerja di tambang, nominal dari perusahaan lebih tinggi.
Sahman mengakui hal itu. Sewaktu bekerja sebagai porter di PT DPM, ia diupah Rp200 ribu per hari. Tugasnya mengantar jerigen minyak solar seberat 30 liter ke area tambang. Sedangkan penghasilannya saat bekerja di ladang milik orang lain hanya Rp50 ribu per hari.
Namun, bayaran tinggi itu tak sepadan karena Sahman harus bolak-balik menempuh jalanan terjal, dengan total perjalanan empat jam. Tanpa hari libur maupun jaminan kesehatan.
“Waktu itu memang banyak uang, tapi kakiku sakit. Jadi susah jalan,” terang Sahman. Momen tersebut sekaligus titik balik bagi Sahman, menyadari kehadiran PT DPM justru merusak tempat tinggal dan pertaniannya.
Bentuk Perlawanan Masyarakat
Melihat tempat tinggalnya terancam oleh tambang, warga Dairi tak tinggal diam. Pada 2008, Rainim Purba (63)—warga Desa Pandiangan, Kecamatan Lae Parira, Kabupaten Dairi, Sumatra Utara—mendirikan Organisasi Perempuan (OP). Kepada 21 anggota perempuan, Rainim menyosialisasikan dampak dari rencana aktivitas pertambangan PT DPM: Merusak lingkungan dan pertanian. Tujuannya agar warga menolak kedatangan perusahaan.
Dari pertemuan-pertemuan di rumah warga, Rainim bersama OP mencari rekan untuk melawan perusahaan. Mereka bertemu beberapa organisasi non-pemerintah seperti YDPK, Bakumsu, Petrasa, dan JATAM. Kemudian diberikan pendampingan soal hukum, HAM, dan pemahaman terkait kesetaraan gender lewat diskusi kritis dan pemutaran film.
Rainim mengaku, tak begitu sulit memimpin perempuan dari Desa Pandiangan. Beberapa dari mereka sempat ragu bergabung saat diajak, karena takut bertemu polisi dan diwawancara wartawan. Jadi mereka memilih mendukung lewat tanda tangan petisi sebagai cara menolak PT DPM.
Sedangkan para laki-laki juga mendukung OP. Menurut suami Rainim, Tohonan Sihombing, yang penting organisasi ini menyuarakan keresahan masyarakat terhadap aktivitas tambang.
Baca Juga: #WadonWadas: Cerita Perjuangan Para Perempuan Wadas
Namun, Rohani menyampaikan cerita berbeda. Di beberapa desa yang menjadi wilayah dampingannya, laki-laki masih mendominasi diskusi dan pengambilan keputusan. Sebagai pendamping, ia mengingatkan para perempuan agar aktif terlibat dan mengutamakan opini mereka.
Bentuk perlawanan yang dilakukan warga pun beragam. Di antaranya menutup akses jalan supaya PT DPM tidak bisa mengeksplorasi tambang dari Desa Pandiangan, menampilkan aksi teatrikal dan meratap di depan Gedung Mahkamah Agung (MA), serta aksi di depan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kedubes China.
Dan bukti solidaritas masyarakat Dairi terlihat nyata. Pada Agustus lalu, MA mengabulkan gugatan mereka agar KLHK mencabut izin lingkungan PT DPM. Gugatan itu membatalkan kesahan Persetujuan Izin Lingkungan PT DPM, yang dinyatakan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) menjadi tidak sah.
Majelis hakim mengabulkan gugatan tersebut dengan beberapa alasan: Melanggar hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, bertentangan dengan rencana tata ruang wilayah dan asas pemerintahan yang baik, lokasi tambang terletak di area rawan bencana, dan tidak adanya keterbukaan maupun partisipasi warga.
Walaupun demikian, Sahman terus mengingatkan warga Dairi bahwa perjuangan belum selesai, karena sewaktu-waktu “kemenangan” mereka bisa berubah. Seperti Agustus tahun lalu, saat KLHK dan PT DPM mengajukan banding pada PTTUN, atas keputusan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Waktu itu PTUN menerima pengaduan warga agar KLHK membatalkan Persetujuan Izin Lingkungan PT DPM.
Ketika ditanya sampai kapan akan berjuang, Sahman menjawab, “Saya berjuang sampai mati. Sampai KLHK mencabut persetujuan izin (PT DPM) itu.”