Dari Kantin hingga Katering: Bagaimana MBG Gerus Pendapatan Perempuan
Program unggulan pemerintah Makanan Bergizi Gratis (MBG) terus berjalan meski dibayangi berbagai persoalan. Pemerintah bahkan memutuskan tidak menghentikan sementara pelaksanaannya saat libur sekolah. Di tengah keberlanjutan program ini, sejumlah isu mendasar tak kunjung terjawab, termasuk soal kesetaraan gender dan aspek keamanan bagi perempuan yang terlibat di dalamnya.
Pada Oktober 2025, seorang perempuan dilaporkan menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual oleh atasannya di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), unit yang terlibat langsung dalam pelaksanaan program MBG.
Kasus di atas hanyalah puncak dari gunung es yang memperlihatkan bagaimana program MBG sejak awal dirancang tanpa benar-benar menempatkan perempuan sebagai subjek pembangunan.
Nyatanya, hak dan peran perempuan dalam MBG tergerus secara artian yang lebih luas. Salah satu yang paling krusial adalah isu berulang tentang minimnya akses perempuan dalam program ini dibandingkan laki-laki.
Temuan ini juga perlu kita jadikan refleksi bersama di Hari Ibu ini tentang minimnya pengawasan dan kepastian keamanan para perempuan di ruang publik dan dunia kerja yang bahkan terjadi di program unggulan pemerintah MBG.
Perempuan Terancam Menganggur Akibat MBG
Rancangan skema terpusat MBG melalui 30 ribu dapur SPPG berisiko mengancam ekosistem ekonomi lokal yang ditopang sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Usaha ini mencakup warung, kantin, usaha makanan rumahan, pedagang keliling, serta katering skala kecil.
Dalam skema terpusat, SPPG menjadi pelaksana penyedia makanan. Sementara SPPG mengikuti kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh Badan Gizi Nasional di tingkat pusat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang kami olah, sektor UMKM makanan dan minuman non–restoran/rumah makan mencakup lebih dari 3 juta unit dan menyerap sekitar 6,49 juta tenaga kerja.
Lebih lanjut, berdasarkan perhitungan kami, 65 persen dari 6,49 juta atau sekitar 4,2 juta tenaga jumlah pekerja di bidang UMKM makanan dan minuman tersebut adalah perempuan.
Merujuk pada laporan CELIOS tentang evaluasi MBG bertajuk “Makan (tidak) Bergizi (tidak) Gratis, skema MBG saat ini berisiko mengancam 10 – 30 persen pekerja di sektor UMKM atau sekitar 646 ribu – 1,94 juta pekerja pada tahun depan.
Ancaman tersebut berasal dari shifting atau substitusi kerja dari yang awalnya banyak dikerjakan oleh UMKM di sekitar sekolah, berganti dengan SPPG.
Artinya, jika pergeseran pekerjaan tersebut terjadi, dan jika kita mengacu pada temuan lanjutan kami bahwa 65 persen pekerja UMKM yang bersinggungan dengan MBG adalah perempuan, maka akan ada 420 ribu – 1,26 juta orang yang terancam pekerjaannya.
Angka ini amatlah tinggi dan hampir menyamai janji bahwa program MBG akan membuka kesempatan kerja baru bagi 1,5 juta orang.
Rawannya Skema Terpusat
Sentralisasi rantai pasok pangan juga membuat program MBG rawan dikuasai oleh segelintir pengelola di tingkat lokal maupun nasional.
Apalagi, skema penunjukan operator SPPG pun minim transparansi sehingga rawan konflik kepentingan. Misalnya, Yasika Aulia Ramadhani, putri Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Selatan Yasir Machmud, menjalankan 41 SPPG.
Penguasaan program MBG pada segelintir orang bisa menciptakan ketimpangan baru, serta memperbesar kerentanan sosial bagi jutaan keluarga yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini.
Alhasil, klaim Prabowo Subianto tentang MBG akan mampu menghidupkan ekonomi rakyat dengan target terciptanya 1,5 juta pekerjaan baru (30 ribu SPPG × 50 pekerja) hanyalah omong kosong belaka.
Mengembalikan Harkat Perempuan dalam MBG
Pemerintah harus benahi MBG jika ingin menjaga reputasi dan kepercayaan publik terhadap tata kelola duit negara yang ditingkatkan secara drastis dari Rp71 triliun menjadi Rp335 triliun pada 2026 mendatang.
Agar bisa memastikan efisiensi anggaran dan alokasi yang lebih bijak, CELIOS merekomendasikan pergeseran desain program dari skema universal menjadi skema yang lebih terarah.
Pendekatan sentralistik sistem penunjukan SPPG BGN sudah seharusnya diganti. Pemerintah perlu memberikan kesempatan pelaku roda ekonomi setempat seperti UMKM, kantin sekolah, dan warung sekitar yang ternyata lebih didominasi perempuan.
Perhatian lebih juga perlu dilakukan pemerintah dalam mengawasi SPPG di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Sebab di kawasan tersebut, selain intaian kemiskinan dan stunting, indeks ketimpangan gender di wilayah 3T masih cenderung tinggi dibandingkan daerah pusat.
Selain itu, perempuan juga perlu terlibat dalam setiap tahapan perumusan kebijakan, mulai dari desain, implementasi, hingga evaluasi secara luas.
Di tingkat rumah tangga, secara spesifik kami mengusulkan skema MBG fokus menyasar ibu hamil, menyusui, dan keluarga dengan balita dari kelompok rumah tangga miskin melalui bantuan langung tunai (BLT) atau nutrition voucher (kupon nutrisi) yang dapat digunakan untuk membeli makanan bergizi, disertai edukasi gizi bagi rumah tangga.
Dengan desain yang lebih sensitif terhadap dinamika gender dan menyentuh ekonomi rumah tangga, program ini diyakini dapat mengurangi risiko ketimpangan yang selama ini lebih banyak membebani perempuan.
Bagaimana Nasib perempuan ke Depannya
Pemerintah sudah memastikan akan melanjutkan MBG tahun depan. Tidak tanggung-tanggung anggarannya pun membengkak hingga Rp335 triliun pada 2026 mendatang karena perluasan penerima manfaat.
Namun, pelaksanaan MBG dari rencana hingga implementasi selama satu tahun terakhir yang penuh masalah termasuk isu gender ini jadi penanda bahwa program tersebut memiliki banyak persoalan.
Apalagi, pembenahan kebijakan yang sensitif gender yang mendera perempuan masih jalan di tempat. Perempuan tetap menjadi korban dari kasus pelecehan seksual, pemutusan kontrak sepihak hingga hilangnya mata pencaharian.
Tanpa pembenahan serius, MBG berisiko gagal menjadi program yang memberdayakan masyarakat, khususnya perempuan, dan tidak menyelesaikan persoalan akutnya ketimpangan gender di Tanah Air.
Isnawati Hidayah, Researcher, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dan Jaya Darmawan, Peneliti ekonomi, Center of Economic and Law Studies (CELIOS).
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
















