Pembalut Kain dan Pengalamanku Melepaskan Diri dari Tabu Menstruasi
Di usia 27 tahun aku putuskan memakai pembalut kain. Pengalaman ini menyadarkanku tentang tabu menstruasi
Hidup nyaris tiga dekade, setiap bulannya aku mengeluarkan darah menstruasi sejak mendapatkannya pertama kali saat remaja. Dalam kurun waktu ini pula aku selalu mengandalkan pembalut sekali pakai untuk menampung darah menstruasi.
Sebetulnya, sudah cukup lama aku ragu untuk mengganti pembalut sekali pakai dengan pembalut kain. Aku khawatir daya serapnya tidak tinggi, sehingga darah menstruasiku tembus ke pakaian yang kupakai. Selain itu, aku juga khawatir memakai pembalut kain akan jauh lebih merepotkan dibandingkan pakai pembalut sekali pakai. Dengan pembalut kain, aku otomatis harus mencuci pembalutnya dulu setiap kali habis memakai.
Namun, di usiaku 27 ini, aku akhirnya bertekad untuk membuang jauh-jauh keraguanku. Awalnya, karena sebuah lokakarya yang diadakan Biyung Indonesia, organisasi dan usaha sosial yang bergerak di isu kesejahteraan, lingkungan, dan kesehatan reproduksi. Tekadku makin bulat, karena tahu dampak sampah pembalut sekali pakai yang berdampak langsung pada alam.
Pengalaman menarik pun hadir ketika aku memakai pembalut kain selama kurang lebih lima hari menstruasi. Aku menikmati proses mencuci pembalut kain. Entah mengapa aku merasakan sebuah kelegaan sekaligus ketenangan selama mencucinya.
Aku awalnya bingung kenapa perasaan ini bisa timbul. Aku lalu berusaha berefleksi tentang pengalaman menstruasiku selama ini. Walau sudah tahu bahwa darah menstruasi bukan darah kotor, anggapan bias ini ternyata masih bermain di alam bawah sadarku.
Selama menggunakan pembalut sekali pakai, ada dorongan dalam diriku untuk cepat-cepat membuang bekas pembalut itu. Aku secara tak sadar menganggapnya sebagai sesuatu yang menjijikan sehingga harus cepat dimusnahkan.
Sebaliknya ketika memakai pembalut kain, aku tanpa rasa jijik melihat darah menstruasiku sendiri. Aku mencium aromanya yang khas. Anyir dengan sedikit bau darah. Aku juga menyentuhnya. Melihat tangan dan air cucian pembalut berangsur menjadi warna merah. Di momen itulah, untuk pertama kalinya aku menikmati proses alami dalam tubuhku sendiri.
Baca Juga: Laki – laki dan menstruasi: Apakah akan terus ada tabu di antara kita?
Tabu Menstruasi yang Mengakar
Pengalamanku memakai pembalut kain untuk pertama kalinya dalam hidup begitu membebaskan. Ternyata selama ini layaknya banyak perempuan di dunia aku terjebak dalam tabu menstruasi, sehingga tanpa sadar takut dan jijik dengan proses alami tubuh sendiri.
Aku masih ingat ketika masih duduk di sekolah dasar, beberapa orang dewasa di sekitarku mengingatkan jika menstruasi dan memakai pembalut, kami wajib mencuci, memasukkannya ke dalam plastik rapat-rapat lalu dibuang. Tujuannya bukan untuk memberi tahu betapa pentingnya sanitasi atau menjaga kebersihan diri, tetapi untuk menakut-nakuti anak perempuan. Jangan sampai darah menstruasi yang menempel di pembalut dijilati makhluk halus dan membuat kami sakit.
Darah menstruasi yang dianggap darah kotor sayangnya kemudian semakin disensasionalisasi lewat iklan-iklan pembalut. Dari kecil sampai dewasa, aku konsisten melihat iklan-iklan pembalut selalu menggunakan cairan berwarna biru untuk menggambarkan darah menstruasi.
Dalam penelitian Kontruksi Wacara dan Komodifikasi Menstruasi dalam Iklan Pembalut di Indonesia (2018), dijelaskan warna biru dipilih karena dianggap menimbulkan kesan steril dan mengeliminasi kesan kotor dan rasa jijik yang timbul akibat darah menstruasi.
Metafora ini kemudian diperkuat dengan kecenderungan iklan-iklan pembalut yang menggambarkan perempuan yang sedang menstruasi merasakan takut dan khawatir berlebihan. Baidhowi selaku penulis menerangkan cara ini sengaja dilakukan perusahaan-perusahaan pembalut untuk membidik ketakutan dan rasa malu baik secara personal maupun sosial soal menstruasi.
Jadi walaupun secara kasatmata iklan pembalut seakan memberikan penyadaran kepada publik soal menstruasi, nyatanya representasi yang muncul cenderung negatif. Baidhowi bahkan mengatakan iklan-iklan ini bahkan malah semakin memperkuat perspektif “menstruasi dapat mengancam kesempurnaan perempuan dan tatanan sosial yang bebas dari hal-hal bersifat kotor dan tak terkendali” Kesempurnaan inilah yang dapat diselamatkan melalui pembelian dan penggunaan produk pembalut tertentu yang mampu menyembunyikan menstruasi.
Tak kalah pentingnya, praktik-praktik sosial dan agama juga berperan besar dalam membingkai dan melanggengkan tabu menstruasi. Dijelaskan dalam penelitian Mitos Menstruasi: Konstruksi Budaya Atas Realitas Gender (2012) di banyak masyarakat ada larangan bagi perempuan untuk melakukan pekerjaan atau masuk ke area publik tertentu ketika menstruasi.
Di Bali misalnya, perempuan tidak boleh memasuki hutan karena hutan dianggap suci. Hubungan menstruasi dengan polusi, kotor pun dibangun. Perempuan pun dibingkai sebagai seseorang yang dapat merusak kesuburan dan mengganggu kesucian.
Lalu di masyarakat Toraja perempuan yang sedang menstruasi mengalami pengucilan. Mereka dikeluarkan dari pusat aktivitas produktif dan kerja mereka diambil alih oleh para laki-laki. Dengan status ‘kotor’ atau ‘sakit’ perempuan kemudian harus dipisahkan dari interaksi sosial yang ‘normal’. Perempuan pun diputus aksesnya di ruang publik yang memungkinkan mereka mempunyai daya tawar dalam masyarakat.
Lebih dari itu, praktik agama juga bermain dalam membangun dan melanggengkan tabu menstruasi.
Datang dari pengalaman pribadi sebagai sebagai seseorang yang dari SD hingga SMA belajar di sekolah Islam, aku menyadari betul bagaimana selama bertahun-tahun siswa perempuan diberitahu banyak hal yang tak boleh dilakukan selama menstruasi. Selain tak boleh salat, perempuan yang menstruasi juga tidak boleh memegang Al-Quran.
Kami pun diwanti-wanti untuk tidak masuk ke dalam masjid atau berdiam lama di sana. Larangan-larangan begitu terpatri dalam benakku. Memberikan sinyal bahwa saat menstruasi perempuan menjadi kotor. Sehingga sepatutnya dilarang memegang kitab dan memasuki rumah suci.
Baca Juga: Menstrual Cup: Solusi Tetap Aktif Saat Menstruasi
Tabu yang Mengakibatkan Kemiskinan Menstruasi
Menstruasi adalah bagian alami dan sehat dari siklus tubuh perempuan dan mereka yang punya vagina. Namun, lewat mitos-mitos dan hal tabu tentang menstruasi, proses alami ini dibingkai begitu kotor dan menjijikan, hingga mereka dikucilkan dan dipinggirkan dalam tatanan sosial dan budaya. Sayangnya, ketika menstruasi ditabukan, perempuan dan semua orang dengan vagina dijauhkan dari akses informasi dan pengelolaan menstruasi mereka sendiri.
Itu sebabnya period poverty atau kemiskinan menstruasi jadi tidak terhindarkan. Dikutip dari Rifka Annisa Women’s Crisis Center, period poverty didefinisikan sebagai akses yang tidak memadai ke alat, pendidikan, dan informasi kebersihan menstruasi. Maksudnya, kemiskinan menstruasi adalah konsep yang menjelaskan kesulitan banyak perempuan-perempuan dan mereka yang menstruasi terutama di kalangan pendapatan rendah saat mengakses produk menstruasi.
Termasuk dan tidak terbatas pada produk sanitasi, fasilitas mencuci, pengelolaan limbah, lingkungan yang positif dan mendukung untuk membuat keputusan yang tepat, dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam semua aspek kehidupan, termasuk bekerja.
Di Indonesia, period poverty terlihat jelas tak hanya dari akses informasi menstruasi yang belum merata. Pendidikan seksualitas komprehensif yang memuat pendidikan kesehatan reproduksi saja belum diberlakukan sebagai kurikulum wajib di sekolah-sekolah. Hal ini sayangnya diperparah dengan pemberian informasi menstruasi yang tak imbang dari orang tua.
Dikutip dari Kompas.id, dalam studi Manajemen Kebersihan Menstruasi (MKM), sebanyak 63 persen orang tua siswa/siswi tidak pernah memberikan penjelasan yang benar dan gamblang terkait menstruasi kepada anak-anak (baik anak laki-laki maupun perempuan). Penelitian yang dilakukan Yayasan Plan International Indonesia pada 2018 ini mengambil sampel di SD dan SMP Provinsi DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara.
“Ini mengakibatkan kerentanan kondisi anak-anak perempuan, ketika mereka mengalami menstruasi, terutama yang mengalami pertama kali,” kata Silvia Devina, Water, Sanitation, Hygiene & Early Childhood Development Advisor dari Yayasan Plan International Indonesia.
Selain akses pendidikan dan informasi terkait menstruasi, period poverty di Indonesia juga tercermin dari fasilitas sanitasi bagi anak perempuan. Secara spesifik, studi MKM tersebut juga menemukan 33 persen sekolah tidak memiliki toilet terpisah untuk laki-laki dan perempuan. Air pun sering tidak ada atau kurang yang berakibat pada sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bagi anak perempuan.
Period poverty inilah yang pada akhirnya menyebabkan gangguan fisik, tantangan mental dan emosional bagi banyak perempuan sampai menyebabkan remaja perempuan absen masuk sekolah dan bahkan putus sekolah.
Walau aku belum bisa menemukan data komprehensif di Indonesia, setidaknya angka putus sekolah akibat period poverty tercermin dalam studi di India oleh lembaga swadaya masyarakat Dasra yang diterbitkan pada 2019. Dalam studi yang dikutip oleh DW, ditunjukkan bahwa 23 juta anak perempuan putus sekolah setiap tahunnya karena kurangnya fasilitas pengelolaan kebersihan menstruasi yang memadai, termasuk ketersediaan pembalut dan informasi tentang menstruasi.
Dengan dampak besar yang ditimbulkan oleh period poverty, maka bisa disimpulkan bahwa tabu menstruasi bukanlah permasalah yang sepele. Ini nyatanya adalah permasalahan struktural yang solusinya juga tak bisa hanya diselesaikan secara individual saja. Rifka Annisa dalam hal ini berusaha memberikan beberapa solusi terhadap masalah ini di antaranya adalah mendorong kebijakan untuk mendukung pemerintah agar menyediakan infrastruktur dan akses yang memadai serta terjangkau terhadap produk menstruasi.
Baca Juga: Cawan Menstruasi: Antara Lingkungan Hidup dan Kemiskinan
Ini juga harus disusul dengan peningkatan pendidikan dan berbagi pengetahuan. Salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah mendorong kebijakan kurikulum kesehatan reproduksi (kespro) yang komprehensif, agar kespro dapat dipelajari di sekolah, selain itu kita bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan teman yang ada di sekitar kita.
Terakhir, dunia usaha juga dapat memberikan informasi dan akses terhadap fasilitator dan produk, berkontribusi dalam menghilangkan stigma terhadap menstruasi dan mengintegrasikan pengelolaan menstruasi ke dalam kebijakan mereka.
Secara spesifik misalnya perusahaan pembalut bisa memulai mendobrak stigma menstruasi dengan mulai mengganti cairan menstruasi berwarna biru menjadi warna merah. Hal yang sebenarnya sudah mulai dilakukan, salah satunya oleh perusahaan Swedia Essity yang berada di belakang merek global besar seperti Lotus dan Nosotras pada 2017.