Melihat Hutan dari Pepohonan: Yang Ditawarkan Prabowo dan Jokowi
Masih sulit memutuskan siapa yang akan dipilih pada 9 Juli? Barangkali pemaparan visi kedua kandidat presiden mengenai lingkungan hidup ini dapat membantu.
Saya harus mengaku dosa: ini pertama kali saya membaca keseluruhan visi misi capres, walaupun saya sudah bisa berpartisipasi dalam pemilu di Indonesia selama nyaris dua dekade. Saya bisa memberikan begitu banyak alasan, yang mengada-ada atau sungguhan, tetapi sejujurnya membaca visi misi belum pernah terasa genting.
Kali ini rasanya penting. Karena itu saya menelaah dokumen sembilan halaman dari Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan 42 halaman pernyataan dari Joko Widodo-Jusuf Kalla. Supaya saya tidak meracau tentang hal-hal yang tidak relevan (seperti bahwa salah satu capres hanya menggunakan kata ‘toleransi’ sekali dalam keseluruhan dokumen), saya akan fokus pada isu yang sudah saya pelajari dan tekuni selama tujuh tahun terakhir: hutan, terutama terkait dengan lingkungan dan perubahan iklim.
Sedikit konteks kenapa ini penting: Indonesia adalah negara berkembang dan pertumbuhan ekonomi sebagian besar telah melibatkan penebangan hutan. Kita masih memiliki hutan hujan tropis ketiga terbesar di dunia, tetapi deforestasi yang begitu cepat membuat negara ini menjadi salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.
Di Indonesia masih sering ditemukan spesies baru — tidak mengejutkan mengingat kita diperkirakan memiliki 11 persen spesies tanaman, 10 persen spesies mamalia, dan 16 persen spesies burung di dunia — tetapi satwa khas seperti harimau dan badak Sumatra terancam punah. Kualitas air dan udara pun menurun di dalam dan sekitar lanskap yang semakin gundul.
Berita baiknya adalah kedua capres membahas soal lingkungan dan hutan.
Yang saya sukai dari visi misi Joko Widodo, atau Jokowi, adalah ia menyebutkan kebutuhan akan penerapan hukum yang lebih baik serta penyelesaian perizinan yang tumpang tindih dan konflik tanah. Ia juga membuat target (yang ambisius) agar 80 persen rumah tangga mengetahui dan mengadopsi perilaku ramah lingkungan, suatu isu yang sejauh ini belum diperhatikan pemerintah. Kedua capres menjanjikan akan mendorong sertifikasi produk hutan untuk mendukung keberlanjutan.
Proyek penanaman hutan skala besar juga menjadi prioritas kedua capres. Prabowo berjanji untuk memulai reboisasi 77 juta hektar hutan rusak dengan sistem tumpang sari dengan tanaman seperti bambu, jabon, sagu, dan bakau, sementara Jokowi menyebutkan luas area yang lebih besar untuk direhabilitasi, yaitu di angka 100,7 juta hektar. Ini rasanya cukup mengawang-awang.
Selama empat tahun terakhir, Indonesia sudah menanam EMPAT MILIAR pohon, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan bangga menyebutkannya di bulan Mei (ditulis dengan huruf besar dalam pidatonya). Ini sama dengan lahan tertanam seluas 1,6 juta hingga 4 juta hektar. Menurut Badan Pusat Statistik, sekitar 753.000 hektar ditanam kembali pada 2007 hingga 2011.
Obsesi untuk menanam pohon ini merupakan antusiasme yang salah tempat. Penanaman kembali itu baik, tetapi tidak sama dan seharusnya menjadi prioritas kedua setelah melindungi hutan yang masih utuh, dengan segala keanekaragaman hayati dan layanan lingkungannya.
Kita harus mempertahankan hutan-hutan yang kita miliki sekarang, tidak hanya bergantung pada pembuatan hutan baru, karena keanekaragaman hayati yang hilang dan cadangan karbon yang dilepaskan tidak akan kembali. Kedua capres memang mencantumkan pelestarian hutan dalam program mereka, tetapi hanya sesudah komitmen penanaman pohon dan dengan rincian yang amat minim.
Tolong ulangi kata-kata ini: menanam pohon itu baik, tetapi melindungi hutan yang ada itu lebih baik.
Kekecewaan lain muncul dari bagaimana perubahan iklim hanya dibahas dalam satu kalimat oleh kedua capres, dan tidak ada yang jelas-jelas mendukung komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi hingga 26 persen dari tingkat “bisnis seperti biasa” pada 2020. Prabowo telah menambahkan sanggahan “yang diseimbangkan dengan kondisi Indonesia” untuk berperan aktif dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Saya mendukung pernyataan Jokowi bahwa perubahan iklim merupakan isu ekonomi, dan bukan hanya lingkungan, tapi ia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.
Janji-janji ini tentunya tidak bisa dievaluasi tanpa melihat visi misi secara keseluruhan. Agenda pertama Prabowo adalah meraih pertumbuhan ekonomi per tahun sebanyak 7 persen, “menuju pertumbuhan di atas 10 persen.” Jokowi tidak menyebutkan target pertumbuhan.
Dari 2010 hingga 2013, PDB Indonesia tumbuh antara 5,6 persen hingga 6,5 persen per tahun. Beberapa pihak mungkin berpendapat bahwa pertumbuhan sebanyak 7 persen bisa dilakukan dengan berkelanjutan, contohnya jika subsidi energi dipindahkan untuk mendorong pembangunan infrastruktur. Saya tetap bersikap skeptis, terutama jika tujuannya adalah mempecepat laju pertumbuhan hingga lebih dari 10 persen per tahun.
Kedua capres tidak mencantumkan komitmen mereka untuk memperpanjang moratorium izin baru di hutan primer dan lahan gambut, yang sekarang melindungi area seluas 63 juta hektar. Moratorium yang ditandatangani pada 2011 ini memberi ruang untuk memulai proses penyelesaian perizinan dan klaim tumpang tindih di Indonesia, dan akan jatuh tempo pada Mei 2015.
Presiden Yudhoyono telah menyerukan kepada presiden terpilih berikutnya untuk memperpanjang moratorium tersebut, yang disambut oleh LSM terkemuka seperti Greenpeace, karena jelas tugas yang ada jauh dari rampung. Mungkin naïf jika kita berharap para capres akan mendukung inisiatif presiden yang sedang menjabat, tapi mengingat pentingnya pengurangan emisi dari deforestasi dan perlindungan atas hutan yang masih ada, saya tadinya berharap mereka akan melihat lebih jauh daripada sekadar kepentingan politik. Saya rasa saya memang naif.
Jadi siapa yang memiliki agenda lebih baik mengenai hutan dan perubahan iklim? Saya yakin tidak ada orang yang akan menentukan pilihannya hanya berdasarkan pandangan kedua capres mengenai isu ini, jadi saya tidak akan menilainya sekarang. Bagaimana pun juga, saya sudah menetapkan pilihan. Tetapi setidaknya sekarang saya merasa sudah mendapatkan lebih banyak informasi.
Tentang Leony Aurora
Leony bekerja di bidang komunikasi, terutama yang terkait dengan alam dan bagaimana kita hidup dan berkembang. Sebagai mantan jurnalis, dia tertarik akan pertanyaan dan kisah pribadi, dengan harapan perjalanannya nanti akan mengarah pada beberapa jawaban. Menulis membuatnya tetap waras, dan sekaligus menciptakan sedikit kegilaan. Ikuti @leonyaurora di Twitter.
Diterjemahkan oleh Ariyantri E. Tarman dari artikel “Seeing the Forests from the Trees: What Prabowo and Jokowi Offer.”