Memahami Pengambilan Keputusan sebagai Seorang Feminis
Sebelum menghujat seorang perempuan tidak feminis, ada baiknya kita mencari tahu lebih dulu alasannya mengambil tindakan tertentu.
Pemikiran ini mulai mengganggu saya setelah usai berhubungan badan dengan kesayangan. Kami berdua duduk di tepi ranjang dan bersama-sama mengonsumsi obat. Bedanya, ia meneguk vitamin untuk kebugaran daya tahan tubuh, sementara saya menelan dua butir pil kontrasepsi darurat untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan.
Loh, bukannya untuk mencegah kehamilan bisa pakai kondom saja?
Betul sekali. Sayangnya, keputusan kami tidak menggunakan kondom dengan pembenaran klasik “lebih enak skin-to-skin” membuat saya harus berkorban lebih, yakni mengonsumsi pil kontrasepsi darurat dengan berbagai konsekuensi yang mengiringi. Sudah carinya susah, tidak semua apotek jual, bisa dapat bonus tatapan sinis penjualnya, belum lagi efek samping ke tubuh seperti siklus menstruasi yang mundur dan membuat badan terasa tidak nyaman. Duh!
Kalau saya membagikan pengalaman ini ke beberapa teman feminis, sudah bisa ditebak beberapa orang akan mencerca keputusan saya.
“Kok jadi kamu, sih, yang susah? Kalian kan ngeseks-nya berdua, enaknya berdua! Mau-maunya diperdaya laki-laki!”
Baca juga: Benarkah Menikah dengan Feminis itu Ribet?
Memang, keputusan ini mulanya akan terkesan kontradiktif dengan label feminis yang melekat pada diri seorang perempuan. Harusnya setara, dong, laki-laki dan perempuan sama-sama mencegah kehamilan, bukan satu pihak saja yang berkorban. Namun, sebelum mencerca keputusan seseorang, kita terkadang lupa untuk menggali dan memahami lebih dalam di balik proses pengambilan keputusan tersebut.
Pertama, apakah benar keputusan itu dibuat dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan? Jika melibatkan orang lain, apakah keputusan itu dibuat atas kesepakatan bersama? Ah, barangkali tanpa sepengetahuan kita, sudah tercipta konsensus di antara pasangan. Konsensus yang disepakati dalam keadaan sadar, tanpa intimidasi atau ancaman dari salah satu pihak, dan keduanya setuju untuk menjalani susah-senang berikut konsekuensinya. Biar kita sama-sama enak karena ingin skin-to-skin, enggak apa apa, saya saja yang minum pil kontrasepsi dan kamu tidak usah pakai kondom.
Kedua, motif apa yang mendasari seseorang untuk mengambil keputusan tersebut? Tentu ada alasan yang mendorong seseorang untuk mencapai dan menjalankan suatu keputusan dengan kesadaran penuh. Tidak mudah untuk mengambil keputusan setelah menimbang kelebihan-kekurangan berikut manfaat-kerugian yang akan didapatkan.
Motif pengambilan keputusan seseorang perlu untuk dihargai, tidak perlu dihujat meski terkesan remeh atau terlalu simpel bagi kita. Jika menurut kita motif tersebut tidak sesuai dengan pandangan dan akan merugikan si pengambil keputusan, setidaknya beri saran-saran yang membangun daripada hujatan yang merendahkan.
Dalam kasus saya, memilih untuk meminum pil kontrasepsi darurat alasannya sesederhana ingin menghabiskan quality time karena saya hanya berkesempatan bertemu dengan kesayangan delapan bulan sekali akibat long distance relationship. Motif pengambilan keputusan seseorang perlu untuk dihargai, tidak perlu dihujat meski terkesan remeh atau terlalu simpel bagi kita. Jika menurut kita motif tersebut tidak sesuai dengan pandangan dan akan merugikan si pengambil keputusan, setidaknya beri saran-saran yang membangun daripada hujatan yang merendahkan.
Saya jadi teringat twit seorang perempuan yang sempat membuat heboh beberapa waktu lalu. Ia dengan suka cita membagikan resep bekal unik nan menarik yang diciptakan untuk bekal suaminya bekerja. Rupanya, ada respons negatif dari warganet yang melabeli diri sebagai feminis dengan membalas “bayangin susah-susah bikin bekal buat laki-laki tapi nanti ditinggal karena diselingkuhi” atau “gue sih ogah begitu cuma buat laki-laki doang” dan sebagainya.
Kita tidak tahu, barangkali keputusan membuat bekal tersebut dilandasi kesepakatan bagi tugas antara suami istri dalam rumah tangga. Mungkin istri memasak, tetapi suami juga melakukan kegiatan domestik lainnya seperti mencuci bekal dan peralatan memasak yang dipakai istri. Kita tidak tahu, jika kegiatan membuat bekal itu justru atas inisiatif mandiri istri karena dapat menyalurkan hobi dan kreativitas dalam menyalurkan stres bekerja di rumah. Kita tidak tahu, motivasi sang istri membuatkan bekal suaminya untuk dibawa bekerja sesimpel karena menunjukkan bahasa cinta berupa act of services dan rasa syukur sekaligus keinginan membahagiakan pasangan. Sebelum memberikan respons apalagi hujatan, ada baiknya untuk menilik kembali hal-hal yang dapat memengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan.
Baca juga: 10 Pemahaman Keliru Tentang Feminisme
Hal ini juga berlaku dalam skala yang lebih masif. Keputusan perempuan untuk tidak bekerja kantoran demi menjadi ibu rumah tangga, untuk tidak memberi ASI eksklusif kepada anak, untuk menikah di usia muda dan keputusan lain yang dianggap “enggak mandiri atau enggak feminis banget” juga perlu dihargai dan dipahami motifnya tanpa mengurangi semangat feminisme dalam diri perempuan-perempuan yang dianggap liyan.
Bagi saya, feminisme justru mendukung dan mendorong perempuan menjadi bebas, bukan dalam artian bebas melawan norma dan perspektif umum masyarakat saja, tetapi juga bebas dalam mengambil keputusan yang memerdekakan dan membahagiakan hidupnya. Semangat feminisme dan seni memahami keputusan sebagai seorang feminis inilah yang perlu dijaga agar kita tetap saling mendukung hidup dan daya juang sesama perempuan tanpa menjatuhkan dan merendahkan satu sama lain.
Bukankah sebagai sesama perempuan kita justru harus saling support demi bertahan di dunia yang dicekam patriarki?