Gender & Sexuality

Membaca Ulang Ayat Alkitab Soal Hubungan Seksual dengan Lebih Kritis

Pemahaman yang dangkal dan menerima mentah-mentah ayat Alkitab mengenai hubungan suami istri adalah suatu malapetaka yang mesti dihentikan.

Avatar
  • July 15, 2020
  • 5 min read
  • 17927 Views
Membaca Ulang Ayat Alkitab Soal Hubungan Seksual dengan Lebih Kritis

Seluruh umat Nasrani saya rasa setuju bahwa apa pun yang Yesus rancang adalah baik, termasuk dalam hal aktivitas seksual. Banyak orang memahami bahwa aktivitas seksual hanya sebatas memasukkan penis ke lubang vagina. Padahal, banyak makna lain tentang aktivitas seksual dalam sabda Tuhan yang perlu dilihat secara lebih kritis. 

Untuk memulai perbincangan mengenai pemaknaan hubungan seks dari perspektif Kristen, alangkah baiknya apabila kita berbicara terlebih dahulu mengenai manusia sebagai makhluk yang memiliki dorongan seksual (sexual being). Dorongan seksual yang kita rasakan tidak serta merta dapat diekspresikan kapan pun, di mana pun, dan kepada siapa pun. Legitimasi Tuhan mengenai aktivitas seksual disampaikan dalam kitab Kejadian 1:27; 2:24, dan Markus 10: 6-8, bahwasanya sebelum sepasang manusia melakukan pelbagai aktivitas seksual, mereka perlu berada pada satu ikatan yang suci yang disebut dengan pernikahan.  

 

 

Selain itu, dalam kitab 1 Korintus 7: 3-5 dipertegas bahwa ketika dua insan berada dalam ikatan pernikahan, maka setiap pasangan tidak memiliki otoritas khusus terhadap tubuhnya sendiri. Kedua insan secara mutual dapat menikmati tubuh masing-masing serta wajib memuaskan dan memenuhi hasrat seksual pasangan. Apabila menolak untuk memenuhi kewajiban tersebut, baik suami maupun istri, maka godaan iblis dan perzinaan akan merusak hidup pernikahan mereka.

Daripada kita sibuk membahas mengenai perzinaan dan godaan iblis, saya lebih tertarik untuk menyoroti kemungkinan munculnya ketidakpatuhan (disobedience) antara suami dan istri terkait pemenuhan hasrat seksual. Apa saja faktor-faktor yang mendorong, baik istri maupun suami, untuk enggan mengindahkan kewajiban tersebut. Apa dampak yang ditimbulkan dari ketidakpatuhan tersebut?

Beberapa kasus di Indonesia cukup menggambarkan keadaan ini, yakni ketika seorang istri tidak mengiyakan ajakan suami untuk berhubungan seksual dengan alasan beragam seperti lelah bekerja, sedang tidak enak badan, atau ajakan suami cenderung memaksa. Bisa juga alasannya karena pasangan mengajak melakukan berbagai aktivitas seksual yang bukan menjadi preferensi kedua belah pihak, misalnya istri diminta untuk melakukan oral sex atau suami tidak menyukai adanya cairan vagina istri ketika melakukan hubungan intim. Alhasil, secara ekstrem, ditemukan beberapa kasus di mana suami membunuh istri hanya karena menolak ajakan berhubungan intim.

Baca juga: Caraku Memandang #PrideMonth dengan Kacamata Kekristenan

Saya merasa bahwa kita tidak bisa menepiskan begitu saja sisi kemanusiaan atau hati nurani dalam memperlakukan pasangan kita, termasuk dalam hal bersanggama. Apabila pernikahan dibalut oleh kasih Yesus, mengapa manusia tidak bisa mempraktikkan kasih dengan bernegosiasi dalam mewujudkan dorongan seksual? Seolah manusia hanya berfokus pada kata “wajib” untuk memuaskan satu sama lain. Seolah manusia mengartikan bahwa pernikahan hanya wadah menghalalkan “nafsu”. Bukankah kepuasan pernikahan dapat tercapai yang salah satunya juga ditentukan oleh kepuasan seksual yang dirasakan masing-masing pihak?

Pembenaran seorang suami untuk ‘memaksa” istri bisa saja dengan cara mengutip kitab Efesus 5:12 yang berbunyi, “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan.” Kata “tunduk” seolah dimaknai bahwa semua yang diinginkan suami harus dikabulkan oleh istri. Tak heran, dengan mengutip beberapa ayat Alkitab mengenai keluarga, seorang individu mungkin berpikir bahwa Yesus tidak lebihnya seorang patriarkal yang menempatkan lelaki pada hierarki lebih tinggi daripada perempuan.

Hal ini diperkuat dengan sabda yang tertulis pada kitab 1 Petrus 3: 7 yang berbunyi, “Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang.”

Pemaknaan atas sabda Yesus dapat menjadi suatu hegemoni apabila banyak orang menyetujui atau memiliki pemaknaan serupa, yang kemudian disebut oleh Foucault sebagai kuasa (power). Artinya, semakin banyak orang yang menarik pemahaman secara gamblang sabda Yesus bahwa “istri harus tunduk terhadap suami”, maka peran suami sebagai kepala rumah tangga dan memiliki otoritas, sedangkan peran istri yang adalah seorang hamba, akan menjadi standar dalam masyarakat.

Hal ini juga ditegaskan oleh Foucault dalam bukunya History of Sexuality Vol. 1 bahwa kuasa tidak melulu merujuk pada suatu tindakan yang negatif seperti memaksa, menekan, dan menyangkal, tetapi juga dapat berbentuk sistem pemahaman atau pengetahuan, komoditas, diskursus, serta bentuk pemenuhan hasrat dan kenikmatan.

Baca juga: Menemukan Kedamaian dalam Layanan Ibadah Daring

Implikasinya, paksaan melalukan hubungan intim, untuk memenuhi nafsu semata, dapat dibalut dengan klaim-klaim ayat suci. Pada kasus ini, ayat suci tidak lagi digunakan sebagai pedoman hidup baik bagi umat beragama, tetapi sebagai legitimasi egoisme.

Padahal, jika tidak dibaca sepotong dan dengan pemaknaan yang dangkal, Yesus sebenarnya ingin mengatakan bahwa meskipun suami adalah kepala keluarga, mereka tetap perlu memiliki kerendahan hati seperti Kristus, untuk tidak memperlakukan istri dengan tidak adil (lihat Ef 5: 22-33; 1 Pet 3:7; Kol 3: 19).

Suami perlu menunjukkan kasih setia, hormat, adil, memperhatikan kesejahteraan hidup istri, dan memberikan jaminan perlindungan. Oleh karena itu, setiap keputusan yang diambil dalam keluarga harus didiskusikan bersama karena akan berdampak pada kehidupan keluarga itu sendiri, termasuk keputusan dalam bersetubuh.

Adanya kasus-kasus suami melakukan pemaksaan aktivitas seksual dengan dalih ketundukan istri dan menjadikan ayat tersebut pembenaran atas perilakunya tersebut mengindikasikan banyak orang yang tidak berpikir secara kritis.

Ketika orang berpikir kritis dan melawan pemikiran yang menghegemoni, ia menunjukkan bentuk perlawanan. Dalam hegemoni, pemaknaan ayat-ayat di atas tidak bersifat koersif dan opresif. Dengan demikian, saya tidak dipaksa untuk memiliki pemaknaan atau pemahaman yang sama sehingga saya masih memiliki kebebasan untuk menuliskan opini saya sebagai wacana perlawanan. Pemikiran di luar hegemoni dapat menjadi diskursus baru serta merangsang orang untuk memiliki cara pandang yang lain.

Saya sangat setuju dengan ulasan penulis Cania Citta Irlanie mengenai buku The Atheist Muslim karya Ali A. Rizvi. Bahwasanya membaca, memahami, dan mengkritisi ulang bacaan adalah hal yang halal. Mengkritisi tidak sama dengan mencari celah kesalahan atau melakukan penghinaan. Mengkritisi adalah sebuah proses untuk menyintesiskan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap suatu fenomena atau bacaan.

Karena beriman adalah sebuah keputusan, maka seseorang perlu memilki landasan berpikir mengenai apa yang ia yakini. Keimanan yang didasarkan pada ketidaktahuan atau pemahaman orang lain yang dianggap benar adalah sebuah malapetaka, termasuk tidak menemukan terang kasih Yesus dalam pertemuan antara penis dan vagina.



#waveforequality


Avatar
About Author

Yogie Andreas

Yogie Andreas adalah seorang peminat isu gender dan seksualitas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *