Gender & Sexuality Issues Opini

Mencari Praktik Hubungan Seksual Paling Aman untuk Queer

Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan seks aman untuk queer? Ini adalah opini saya sebagai queer yang mencoba inklusif.

Avatar
  • January 12, 2024
  • 5 min read
  • 769 Views
Mencari Praktik Hubungan Seksual Paling Aman untuk Queer

Pada (3/1), akun X @rm_pangeran menjadi sorotan warganet setelah membagikan infografis berjudul “Bahaya Seks Anal yang Harus Kamu Ketahui”. Cuitan tersebut berhasil meraih 25 ribu likes dan total 3,8 juta tayangan.

Isi dari utas tersebut sebenarnya sangat informatif, memberitahukan bahwa hubungan seks anal rawan memicu infeksi penyakit menular seksual (IMS), dan perlu persiapan matang sebelum melakukannya. Namun beberapa kalangan justru menggunakan reaksi balasan di cuitan tersebut untuk menjatuhkan komunitas queer.

 

 

Beberapa akun mengamini, seks anal berbahaya dan tidak sesuai kodrat. Ada juga reaksi yang mengatakan, seks anal dilarang oleh agama dan terang-terangan menyalahkan komunitas queer karena menjalankan praktik seksual tersebut.

Baca juga: Queer Love: Kapan Seseorang Disebut Queer?

Praktik Seksual yang Aman

Setelah melihat cuitan viral itu, saya bertanya dalam hati, “Apakah ada praktik seksual yang betul-betul aman?” Ternyata jawabannya tidak. Baik hubungan seksual melalui oral dan vaginal sama-sama mempunyai risiko terkena IMS. Hal ini disebabkan oleh kondisi membran kulit oral dan vaginal yang lebih tipis dengan kulit badan manusia. Persiapan matang juga umum dilakukan sebelum penetrasi oral dan vaginal.

Menariknya, praktik seksual melalui anal enggak cuma dapat dilakukan oleh komunitas gay, tapi juga heteroseksual. Di Amerika, praktik anal sering dilakukan para pemuda untuk mempertahankan keperawanannya, tulis Kimberly R McBride dan J Dennis Fortenberry dalam “Heterosexual anal sexuality and anal sex behaviors: a review” (2010).

Setelah pandemi terjadi, terdapat fenomena global yang terjadi pada komunitas homoseksual, yaitu “sides”. Side menolak adanya penetrasi karena berbagai alasan: Menjaga kesehatan organ genital dan menghindari disforia gender yang terdapat dalam praktik penetrasi. Sides muncul karena praktik seksual dalam budaya hookup relatif buruk dan ini cukup umum di seluruh belahan dunia. Budaya hookup menuntut transaksi seksual yang instan tanpa adanya keterbukaan riwayat kesehatan seksual. Selain itu, penetrasi meminjam konsep heteronormativitas dalam role top (yang melakukan penetrasi) dan bottom (yang dipenetrasi) sehingga banyak yang memilih dan nyaman menjadi side.

Namun, apakah seluruh homoseksual harus menjadi sides? Tentu sulit. Praktik seksual merupakan bagian penting komunitas queer dalam pencarian jati diri. Banyak yang memulainya dari masa remaja dan menjadi bagian penting dari kehidupan beberapa orang. Sides merupakan sebuah pilihan yang dapat memberi keamanan, tapi kenyamanannya tidak bisa berlaku untuk semua orang.

Baca juga: Seks Aman Remaja: Minim Edukasi, Terganjal Stigma

Aman yang Inklusif

Sebagai queer, saya memulai pemeriksaan Sexually transmitted diseases (STI) rutin cukup awal setelah lulus kuliah, kisaran usia 22 tahun. Dalam perjalanan, saya juga pernah menjadi relawan mengantar dan menemani orang untuk Voluntary counseling and testing (VCT) dengan bantuan lembaga non profit HIV-AIDS.

Dengan latar belakang tersebut, saya tidak pernah berkata “bersih” setiap melakukan tes rutin. Sebab, kata “bersih” mengindikasikan, orang dengan IMS adalah “kotor”. Padahal bila diobati, orang dengan IMS seperti ODHIV juga dapat menjadi produktif seperti masyarakat pada umumnya.

Karena itulah, saat berbagi hasil tes IMS rutin dalam platform daring, kata yang saya pilih biasanya menggunakan “sehat” atau langsung berkata “negatif” untuk menghindari diskriminasi.

Hal tersebut juga berlaku dengan kata aman yang berkelindan dengan praktik seksual yang sehat. Aman seharusnya juga menjadi inklusif karena praktik seksual yang aman dan sehat dapat dilakukan oleh semua orang.

Sementara itu, pada (3/1), ada cuitan dari akun X @oselate yang mengatakan; “PrEP (penggunaan obat anti-retroviral. Red) adalah seks yang “aman”. DoxyPEP (pil pencegah kehamilan. Red) adalah seks yang “aman”. Pengujian rutin adalah seks yang “aman”. komunikasi yang jujur ​​adalah seks yang “aman”. menantang stigma (kamu & masyarakat) terhadap HIV dan IMS adalah seks yang “aman”. Menyadari ada risiko dalam segala hal dan seks yang “aman” tidak ada adalah seks yang “aman”. Postingan tersebut mendapatkan 8 ribu likes dan 1,1 juta tayangan sampai artikel ini ditulis. Akun oselate sendiri merupakan akun luar negeri yang terbilang lebih progresif dibanding akun edukasi seksual di Indonesia.

Dua cuitan dalam artikel ini menunjukkan situasi keterbukaan seksual yang cukup kontras. Diskusi di kolom balasan cuitan tersebut sangat merangkul semua kalangan dan orientasi. Terdapat balasan yang mengatakan, keterbukaan status dan komunikasi yang baik merupakan praktik seksual yang aman. ODHIV undetected = untransmittable juga merupakan hubungan seksual yang aman. Destigmatisasi dalam cuitan @oselate jauh lebih efektif dalam upaya membuat kata “aman” menjadi inklusif.

Baca juga: Dicari: Edukasi Seksual Komprehensif untuk Orang Muda ‘Queer’

Sebagai komunitas queer, kita tidak bisa menegasikan keberadaan kawan-kawan rentan seperti pekerja seks komersial dan ODHIV. Mereka ada dan merupakan bagian dari masyarakat. Mereka tidaklah kotor karena aktivitas yang tidak aman. Terkadang banyak situasi yang membuat orang terpapar IMS seperti kemiskinan bagi pekerja seks dan pencarian identitas diri yang kerap terjadi dalam budaya hookup. Singkatnya, IMS dan isu kesehatan masyarakat dalam komunitas queer banyak terjadi karena permasalahan yang sangat sistemik.

Sudah saatnya kita sadar, praktik seksual yang benar-benar aman agaknya sangatlah subjektif tergantung dari pribadi masing-masing. Praktik seksual yang aman juga bisa dicapai dengan berbagai upaya, dari keterbukaan status kesehatan seksual, komunikasi, serta persiapan prahubungan seksual yang matang. Praktik seksual yang aman juga baiknya tidak diskriminatif dan mampu merangkul semua golongan. 

Arie Raditya (Laloan), finishes his Master Degree in Political Science by binge watching dozens of reality TV shows. Making a living by playing video games and pretending to speak fluent Korean. Most of the time worshiping drag queens on twitter: @a_rdty and Instagram: @a.rdty


Avatar
About Author

Arie Raditya