Memori Etnis Tionghoa Aceh: 20 Tahun Tsunami di Aceh
Peringatan 20 tahun tsunami punya cerita yang kerap luput dari catatan sejarah nasional.
20 tahun sudah Aceh pulih dari tsunami yang menimbulkan duka mendalam bagi Indonesia, khususnya para penyintas. Dalam periode yang berdekatan, Aceh juga berusaha bangkit setelah didera konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah selama puluhan tahun.
The Conversation Indonesia bersama para akademisi menerbitkan edisi khusus 20 Tahun Pemulihan Aceh selama Desember 2024. Edisi ini menjadi upaya merawat ingatan bersama, sekaligus memantik refleksi kita atas langkah pemulihan dan perdamaian di negeri Serambi Makkah.
Ci Mary (bukan nama sebenarnya) mengambil keputusan berat tahun ini: Meninggalkan Aceh di usia 50-an untuk mengikuti anak laki-lakinya mencari peruntungan di Jawa. Lahir dan besar di Sigli, pusat pemerintahan Kabupaten Pidie, Ci Mary menjadi saksi rangkaian perubahan yang terjadi di Aceh dari era Orde Baru hingga setelah tsunami 2004 yang memporakporandakan Aceh.
Populasi etnis Tionghoa Aceh tak sampai 1 persen dari jumlah penduduk Negeri Serambi Makkah. Kehadiran mereka hampir terlupakan. Suara dan cerita mereka kerap luput dari catatan sejarah nasional dan lokal. Akibat status politik yang ambigu, ruang mereka terbatas bahkan dalam gunungan penelitian dan produksi pengetahuan lokal tentang Aceh.
Konteks politik Aceh yang unik membuat eksistensi mereka semakin rumit: Sejarahnya sebagai kerajaan Islam, posisinya sebagai bagian dari Indonesia yang sempat mendapat perlawanan sengit dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan statusnya sebagai daerah otonomi khusus. Faktor-faktor ini secara kolektif berkontribusi tehadap bagaimana Aceh dipandang sebagai provinsi yang sepenuhnya diatur syariat Islam.
Riset etnografi doktoral saya turut menelusuri ingatan kelompok Tionghoa Aceh yang kerap terabaikan. Tinggal di homestay berisi 50 orang di Banda Aceh, saya membentuk ikatan erat dengan 20 orang Tionghoa Aceh, termasuk Ci Mary. Ceritanya menawarkan sekilas pandang tentang kelompok subetnis tersebut dan menyoroti pentingnya ingatan dalam membentuk identitas dan harapan akan rasa memiliki (sense of belonging).
Baca juga: Luka Turun-temurun Tionghoa Indonesia
Memori Tionghoa Aceh
Hubungan Cina dengan Aceh bermula dari perdagangan–jauh sebelum Belanda berkuasa di sana pada abad ke-19. Pengembangan kegiatan ekonomi di Sumatra oleh Belanda turut memicu gelombang migrasi orang Tionghoa ke Aceh dari Cina dan daerah lain di Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, keturunan mereka yang lahir dan besar di sana, telah menganggap Aceh sebagai rumah. Mereka pun berintegrasi kuat ke dalam masyarakat lokal.
Sayangnya, kenangan orang Tionghoa Aceh selama periode krisis dan konflik bersenjata antara GAM dan pemerintah Indonesia tidak banyak diangkat dalam narasi publik. Negara acap kali mengabaikan etnis dan agama minoritas dalam resolusi konflik.
Adapun kecenderungan ini terbentuk dari peninggalan kolonial yang berakar dari gagasan autochthony-pemahaman bahwa mereka adalah ‘pribumi’ yang juga memiliki klaim yang melekat pada tanahnya. Dikotomi pribumi versus nonpribumi dan konsep ‘putra daerah’ menggambarkan bentuk kesadaran politik ini.
Cerita Ci Mary memberikan wawasan mengenai memori kolektif kelompok Tionghoa Aceh. Ketika rezim Orde Baru menutup paksa sekolah Tionghoa, ayah Ci Mary yang seorang guru bahasa Mandarin kehilangan pekerjaannya.
Baca juga: Imlek dan Tumbuh Sebagai Tionghoa Keturunan Indonesia Timur
Layaknya kebanyakan etnis Tionghoa Indonesia di generasinya, Ci Mary tak bisa berbahasa Mandarin tapi fasih menggunakan dialek lainnya, Hakka, serta bahasa Aceh dan Indonesia. Erat tergabung dengan masyarakat, dia berkarib dengan tetangga-tetangga Acehnya. Almarhum suaminya pun memiliki ibu tiri yang dipanggilnya ‘Mama Aceh.’
Pada 2022, Saya dan Ci Mary bersama-sama mengunjungi Sigli untuk berziarah ke makam keluarganya. Kebanyakan saudaranya dikuburkan di sana. Namun, ini menjadi kunjungan pertamanya ke pemakaman tersebut sejak Tsunami 2004—peristiwa yang mengubah hidupnya dan mendorongnya pindah ke Banda Aceh.
Puing-puing dan tak terawatnya banyak kuburan mengungkap sisa tragedi, berlalunya waktu, dan ketiadaan perawatan oleh keluarga. Situasi yang kontras dengan pekuburan yang terawat di Banda Aceh.
Baca juga: Non-Muslim hingga Tionghoa Ramai-ramai Dibenci, Bukti Kita Intoleran
Meninggalkan Aceh
Pemakaman yang tak terurus di Sigli menjadi refleksi jejak dan duka Tionghoa Aceh. Sepanjang sejarah Indonesia, banyak Tionghoa Aceh yang meninggalkan provinsi tersebut akibat rentetan kejadian besar: Kebijakan PP10 1959 Sukarno yang melarang orang asing menjadi pedagang kecil dan eceran dan berujung menyasar etnis Tionghoa; arahan militer pada 1966 dan cap etnis Tionghoa sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI) berikut upaya kudetanya; gempa dan tsunami 2004; konflik berkepanjangan antara GAM dan Pemerintah Indonesia sepanjang 1976 – 2005; dan penetapan Aceh sebagai daerah otonomi khusus yang menerapkan syariat Islam.
Peristiwa-peristiwa ini telah membentuk kembali komunitas dan nasib para anggotanya.
Saat ini, berdasarkan penelitian etnografi dan percakapan saya di Sigli, hanya sekitar 20 keluarga Tionghoa Aceh yang masih tinggal di sana. Emigrasi terus berlanjut, terdorong oleh terbatasnya peluang sosial dan ekonomi. Generasi muda, khususnya, meninggalkan Aceh untuk mengejar pendidikan dan sering kali membangun masa depannnya di lain tempat.
Namun, Ci Mary masih merasakan ikatan yang kuat dengan Aceh dan mengidentifikasi dirinya sebagai baik Tionghoa maupun ‘Orang Aceh’.
Ia mengenang bagaimana banyak orang Tionghoa Aceh yang harus membayarkan pajak ke GAM selama periode konflik. Beruntung, keluarganya mendapat pengecualian karena eratnya hubungannya dengan Aceh dan masyarakatnya.
Meski begitu, Ci Mary mengamati bagaimana Tionghoa Aceh menempati ruang yang ambigu—tidak pernah sepenuhnya menjadi ‘orang dalam’ ataupun ‘orang luar’. Hal ini membuat mereka ragu mengenai tempat mereka di provinsi tersebut.
Ci Mary kehilangan anak perempuannya dan ayahnya ketika tsunami, dan hidupnya berubah selamanya. Meski dibesarkan dalam keluarga penganut Buddha yang taat, ia mencari dan menemukan ketenangan, kekuatan, dan sumber pemulihan dari kepercayaannya pada Tuhan dan jalan spiritual barunya lewat ajaran Kristen.
Ingatan Ci Mary mungkin terkesan personal, tapi sesungguhnya mencerminkan memori kolektif kelompok Tionghoa Aceh. Seperti masyarakat Aceh lainnya, Ci Mary dihantui ketidakpastian dan kekerasan dalam bagian sejarah hidupnya. Dia pun kehilangan orang-orang yang dicintainya, direnggut oleh gelombang tinggi mematikan. Kisah hidupnya begitu berkelindan dengan dengan kondisi sosial dan politik di Indonesia beserta tantangan tak terduga yang hadir di dalamnya.
Syariat Islam dan Negosiasi Identitas
Ingatan berperan penting dalam membentuk identitas dan rasa memiliki. Bagaimana masyarakat mengingat—atau memilih melupakan—menentukan siapa dan di mana seseorang ditempatkan atau menempatkan diri. Proses ini kerap dibentuk oleh pemegang otoritas dan institusi serta memengaruhi bagaimana kita membayangkan diri kita, orang lain, dan bangsa kita.
Memori masyarakat bersikap selektif dan politis secara inheren, terutama bagi kelompok minoritas yang ingatannya terfragmentasi dan kerap berlawanan dengan narasi dominan. Mereka tak jarang memiliki cara-cara alternatif untuk mengarungi persoalan identitas dan rasa memiliki.
Kelompok Tionghoa Aceh terus hidup di provinsi yang mengalami perubahan politik drastis. Kini, Aceh menggunakan syariat Islam untuk mengatur dan memberi batasan dalam kehidupan sehari-hari.
Perubahan ini bukan tanpa tantangan. Meskipun syariat Islam tidak mengikat bagi nonmuslim, dampaknya tetap merembes ke kehidupan mereka. Hukum dan nilai-nilai Islam yang terpatri dalam masyarakat membentuk batas sosial dan politik, kerap membuat pengikut kepercayaan lain sebagai ‘orang luar’.
Nonmuslim memang masih bisa menyelenggarakan acara-acara budaya dan keagamaan di ruang-ruang privat, dengan izin dan perlindungan, seperti perayaan Natal dan upacara keagamaan Budha. Namun, mustahil bagi mereka untuk membangun gereja atau klenteng baru karena adanya peraturan yang ketat dan juga rasa curiga.
Keadaan ini membuat orang Tionghoa Aceh menegosiasikan kehadiran mereka secara individu dan kolektif. Asosiasi seperti Yayasan Hakka Banda Aceh, misalnya, berkolaborasi dengan negara dan aktor non-negara. Di lain pihak, penelitian saya menunjukkan bahwa individu-individu mempraktikkan bentuk-bentuk perlawanan yang lebih halus, dengan mempertahankan eksistensi budaya mereka melalui ekspresi identitas yang hening dan tidak mencolok.
Dalam perbincangan dengan orang Tionghoa Aceh untuk penelitian ini, saya mendapati bahwa mereka menyimpan keinginan untuk berkontribusi bagi masa depan Aceh. Sama seperti kita, mereka pun membayangkan sebuah tempat yang damai bagi keturunan mereka.
Masih banyak pekerjaan yang harus kita lakukan untuk mencapai perdamaian dan inklusivitas yang berkelanjutan, di Aceh maupun daerah lainnya. Mengatasi tantangan-tantangan ini membutuhkan upaya yang melampaui toleransi dan multikulturalisme dangkal untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan yang bermakna.
Tahun ini, Ci Mary mengucapkan selamat tinggal pada tempat asalnya. Namun, kenangannya tentang Aceh dan hubungan emosionalnya dengan Aceh dan masyarakatnya tidak akan pernah hilang.
Chontida Auikool, PhD Candidate, Lund University
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.