Mempertanyakan Konsep ‘Kampus Merdeka’ di Indonesia: Siapkah Mahasiswa Kita?
Riset menunjukkan, makin banyak kampus adopsi ‘Kampus Merdeka’, tapi cuma 30 persen mahasiswa yang punya kemandirian belajar.
Pada akhir 2019, pemerintah meluncurkan kebijakan Kampus Merdeka dengan harapan mahasiswa bisa mengambil alih dan “mengkustomisasi” proses belajar sesuai aspirasi akademik dan karier masing-masing (student centered learning).
Skema ini, misalnya, memfasilitasi mahasiswa dengan beragam model magang, peluang kolaborasi riset, hingga hak belajar tiga semester di luar program studi – yang juga telah disambut oleh banyak kampus maupun mitra industri.
Tapi, tiga tahun kemudian, apakah mahasiswa di Indonesia benar-benar bisa memanfaatkan inisiatif-inisiatif terkait student centered learning seperti Kampus Merdeka? Riset kami (belum dipublikasikan) menunjukkan bahwa mahasiswa Indonesia bisa jadi masih jauh panggang dari api.
Tim kolaborasi kami, antara Universitas Samudra (Unsam) di Aceh dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyurvei total 100 mahasiswa minimal semester 4 di tiga provinsi, yakni Sumatra Utara, Aceh, dan Riau.
Kami menemukan bahwa hanya 30 persen yang punya kemandirian belajar tinggi, sehingga bisa (serta bersemangat) untuk memanfaatkan skema mandiri seperti Kampus Merdeka. Artinya, hanya 1 dari 3 mahasiswa Indonesia yang siap untuk menghadapi dinamika baru pendidikan tinggi ini.
Baca juga: Mahasiswa Jangan Terjebak Politik Homofobia, Harus Perjuangkan Keadilan Gender
Kemandirian Belajar Rendah
Dalam riset, tim kami menggunakan instrumen survei yang kami modifikasi dari “tes kemandirian belajar” buatan peneliti Nantong University dan Fudan University di Cina.
Kami menilai ‘motivasi belajar’, ‘perencanaan dan implementasi’, ‘pemantauan diri’ (monitoring), dan ‘kemampuan komunikasi interpersonal’ sebagai indikator kemandirian belajar. Kuesioner kami sebarkan secara online, dan datanya kami himpun dan analisis sebagai persentase tiap indikator.
Hasil menunjukan bahwa hanya 30 persen mahasiswa yang memiliki kemandirian belajar tinggi. Sebanyak 10 persen memiliki kemandirian belajar sedang, dan 60 persen memiliki kemandirian belajar rendah.
Temuan ini juga menunjukkan bahwa, secara umum, indikator ‘motivasi belajar’ mahasiswa meraih persentase paling tinggi ketimbang ‘perencanaan dan implementasi’, ‘monitoring diri’ dan ‘kemampuan komunikasi interpersonal’.
Baca juga: Ranking Kampus: Antara Imperialisme Budaya hingga Perlombaan Kosong
Artinya, mahasiswa sudah punya motivasi untuk belajar. Namun, hasrat untuk merencanakan dan menerapkan aspirasi tersebut sangat rendah. Dengan kata lain, ketika mahasiswa menghadapi kondisi yang menuntut mereka belajar atau merencanakan pembelajarannya sendiri, banyak dari mereka kemudian kehilangan rasa kemandirian dan antusiasme.
Hal serupa juga kami temukan pada indikator ‘monitoring diri’. Banyak mahasiswa tidak bisa menilai kemajuan dan capaian belajarnya sendiri.
Temuan kualitatif kami di lapangan pun mendapati bahwa kapasitas belajar banyak mahasiswa di perguruan tinggi hanya sebatas pada kemandirian dalam “menyelesaikan tugas mandiri” – tetapi jika tidak diberikan tugas, mahasiswa “santai” tanpa tahu tujuan belajarnya.
Berdasarkan riset ini, perguruan tinggi masih punya banyak PR untuk mempersiapkan mahasiswa agar punya kemandirian belajar tinggi sebagai prasyarat suksesnya skema-skema yang menuntut independensi mahasiswa, seperti Kampus Merdeka.
Mudah Terdistraksi
Kemandirian belajar yang mahasiswa butuhkan pun bukan hanya belajar yang dilakukan sendiri (self-directed learning) – seperti sekadar mengerjakan tugas individu. Tapi, ini juga meliputi kemampuan mahasiswa mengontrol faktor lingkungan yang mendukung proses belajar mereka (self-regulated learning) – termasuk mampu menghimpun sumber daya digital dan menguasai teknologi pembelajarn yang diperlukan untuk, antara lain, menyukseskan proyek semester.
Dalam pemanfaatan teknologi pembelajaran, misalnya, alat yang menjadi favorit mahasiswa adalah smartphone dan laptop.
Baca juga: Dear Perempuan, Pendidikan Tinggimu untuk Kamu Sendiri
Oleh karena itu, kami melakukan survei sampingan untuk memahami lebih dalam kemandirian belajar mahasiswa dengan melihat pola mereka dalam memanfaatkan sumber daya digital melalui smartphone.
Temuan survei kami menambah kuat permasalahan. Akses aplikasi mahasiswa didominasi oleh media sosial yakni Whatsapp, Instagram, TikTok, dan Youtube. Mereka mengakses aplikasi tersebut lebih dari dua kali sehari dengan rentan waktu total lebih dari 3 jam dalam sehari. Aplikasi ini mereka gunakan untuk ngobrol, mencari hiburan, dan menonton video.
Sementara, kegiatan yang mengarah ke aspek akademik dan karier – dari mengakses aplikasi e-learning atau online course, mencari peluang profesional, hingga sekadar membaca artikel yang relevan dengan program studi atau aspirasi karier mereka – menjadi hal yang paling tidak populer dalam penggunaan smartphone mahasiswa .
Mahasiswa, misalnya, mengakses konten pembelajaran hanya jika ada tugas dari dosen. Berdasarkan observasi yang kami lakukan, mahasiswa kerap mengakses aplikasi obrolan dan hiburan saat menghadiri kuliah di kampus, bahkan ketika dosen memberikan kesempatan untuk memperdalam materi secara mandiri.
Temuan riset tahun 2017 dari tim Universidad de Sevilla di Spanyol menemukan bahwa banyak mahasiswa yang masih memiliki kapasitas self-regulated learning yang lemah sehingga mereka kurang bisa mengatur proses belajarnya. Bisa jadi, ini disebabkan oleh banyaknya distraksi akibat teknologi digital yang tidak sesuai ketika belajar.
Apa Risikonya?
Pertama, kondisi ini bisa mengakibatkan mahasiswa membuang banyak waktu yang berharga dalam masa kuliahnya karena tidak mengetahui aspirasi akademik dan gagal mengevaluasi capaian pembelajaran mereka.
Kedua, skema student-centered learning seperti Kampus Merdeka membantu mahasiswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah, serta kompetensi unik dan spesifik lainnya yang memberi mereka keunggulan di lapangan kerja. Jika mereka gagal memanfaatkan ini akibat kemandirian yang rendah, mahasiswa akan punya daya tawar profesional (employibility) yang lebih rendah pula.
Ketiga, kemandirian belajar yang rendah – terutama dalam indikator monitoring diri – membuat mahasiswa kesulitan untuk memetakan kekurangan dalam kompetensi akademik dan profesional mereka supaya bisa senantiasa berbenah. Kapasitas ini merupakan salah satu faktor penentu kesuksesan menjadi pemimpin, manajer, edukator, wirausahawan, hingga akademisi.
Meningkatkan Kemandirian Belajar Mahasiswa
Berkaca dari rendahnya kemandirian belajar mahasiswa dan risiko yang menyertainya, ada beberapa langkah solusi yang menurut kami bisa diterapkan di lingkungan pendidikan tinggi:
- Dosen bisa melakukan inovasi pembelajaran, seperti menggunakan model belajar dan media yang inovatif, untuk meningkatkan motivasi belajar – indikator pertama dalam kemandirian belajar. Riset kami tahun 2021, misalnya, menemukan bahwa pendekatan mind mapping (pemetaan pikiran dan pertanyaan) dalam pembelajaran suatu topik bisa membantu meningkatkan motivasi belajar mahasiswa. Beberapa akademisi lain juga menyarankan model-model proyek akademik yang personal hingga penerapan konsep ‘pembelajaran hiperfleksibel’.
- Kampus bisa memperbaiki sistem monitoring hambatan mahasiswa – misalnya dengan evaluasi hasil belajar secara berkala atau penyebaran angket yang menanyakan tantangan akademik atau profesional yang dialami mahasiswa. Dengan refleksi rutin, kampus bisa lebih mudah mengetahui faktor apa yang paling berpengaruh untuk meningkatkan kemandirian belajar.
- Selain itu, kampus juga perlu memberi mahasiswa akses terhadap layanan konseling psikologis. Tak hanya berkaitan dengan pengelolaan gangguan seperti rasa kecemasan (anxiety), terapi juga bisa menjadi ruang untuk mendiskusikan tentang hambatan fokus, kemandirian, dan apsirasi akademik atau karier mahasiswa. Kampus, misalnya, bisa bekerja sama dengan lembaga layanan psikologis untuk mewujudkan hal ini.
- Salah satu faktor yang berkontribusi pada rendahnya motivasi dan kemandirian belajar mahasiswa, bisa jadi adalah tingginya tingkat salah jurusan di Indonesia. Mengatasi masalah ini sejak di level pendidikan menengah – misalnya memperbesar peluang pelajar mengeksplorasi minat bakat mereka melalui kurikulum yang lebih fleksibel atau layanan konsultasi karier di SMA – bisa menjadi langkah antisipasi sebelum masuk perguruan tinggi.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.