Tertarik Aktivisme, Tapi Mulai Dari Mana?
Beberapa aktivis memberikan lima tips untuk terlibat dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Dimulai dari keresahan melihat perubahan iklim dunia yang ia rasakan, remaja perempuan asal Swedia, Greta Thunberg, memutuskan untuk mogok sekolah dan melakukan aksi protes di depan parlemen Swedia sendirian dengan membawa poster bertuliskan “Climate Strike”.
Aksi tersebut kemudian diunggah di akun media sosial Greta dan viral ke seluruh dunia. Banyak remaja di seluruh dunia yang akhirnya tergerak untuk turun ke jalan dan melakukan aksi protes “Climate Strike” di kota mereka masing-masing, termasuk Jakarta.
Seperti Greta, banyak di antara kita punya keresahan dan keprihatinan terhadap isu-isu di sekitar kita. Kita ingin berkontribusi pada kemajuan dan perbaikan bangsa. Tapi karena kerelawanan, kerja sosial, dan aktivisme bukanlah budaya dan jarang diperkenalkan sejak kecil, banyak dari kita yang gagap dan tidak tahu harus mulai dari mana.
Banyak yang bertanya pada Magdalene, bagaimana caranya untuk ikut serta melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Untuk itu, kami telah bertanya pada beberapa aktivis mengenai hal ini dan berikut saran-saran dari mereka.
- Identifikasi bentuk kontribusi/aktivisme
Menurut Gita Putri Damayana, Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), pertama-tama kita harus tahu bentuk atau aktivisme seperti apa yang disukai untuk menyalurkan opini-opini kita.
“Kita perlu tahu, kita lebih senang menuangkan opini kita dalam bentuk apa? Misalnya saja kita suka menulis, ya kita bisa mulai belajar menuangkan opini yang lebih terstruktur dengan tulisan kita,” kata Gita kepada Magdalene.
Project Officer Anti-Hoax Project & Inclusive Public Space Hivos Southeast Asia, Nisrina Nadhifah, mengatakan dibandingkan dengan satu dekade lalu, sekarang ini ada banyak saluran untuk aktivisme, baik offline maupun online.
“Bentuk aktivisme sekarang lebih beragam, lebih nge-pop, dan dianggap sebagai hal yang cool untuk dilakukan. Bisa lewat musik, lewat media sosial dengan menyebar informasi, dan lain sebagainya,” ujarnya.
Baca juga: Menohok Tapi Melegakan: Menjadi Relawan Kampanye Anti-Kekerasan Seksual
- Memilih isu yang paling dekat dengan kita
Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki banyak masalah. Ketika kita menjelajah media sosial saja, berbagai isu lintas sektor hilir mudik di lini masa kita. Menurut Gita, kita sangat perlu mengidentifikasi isu mana yang paling dekat dengan kita.
“Isu itu banyak banget di sekeliling kita. Nah, sekarang kita harus lihat, hal apa sih yang ingin kita ubah? Di isu mana sih intervensi kita bisa bermakna?” ujar Gita.
Dengan memilih isu yang spesifik, kita jadi semakin fokus dalam mendalami isu tersebut agar bisa mengedukasi atau mengadvokasi lingkungan sekitar kita. Hal ini juga membantu kita untuk berefleksi apakah kita sudah paham benar di isu tersebut.
- Identifikasi organisasi terkait dengan isu
Saat kita sudah menemukan isu mana yang ingin kita fokuskan, kita bisa mulai kampanye atau mencari organisasi-organisasi yang berfokus pada isu spesifik tersebut, terutama organisasi lokal.
Kita bisa belajar mengenai advokasi seperti apa yang dijalankan oleh organisasi tersebut, karena tiap-tiap organisasi memiliki bentuk dan cara yang berbeda.
“Misalnya, Greenpeace ada aksi lapangannya, kalau WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) juga ikut di lapangan tapi juga advokasi ke pengadilan. ICEL (Indonesian Center for Environmental Law) juga bergerak di isu lingkungan hidup, tetapi pendekatannya lebih struktural, lebih membicarakan tentang kebijakan berkaitan lingkungan,” ujar Gita.
Baca juga: Good Pitch Dorong Perubahan Sosial Lewat Dokumenter
- Melihat jalur-jalur kontribusi lain
Jika kita memang tidak memiliki waktu untuk berkontribusi di organisasi tersebut, menurut Gita, kita bisa mencari jalur-jalur lain untuk tetap bisa berkontribusi, misalnya lewat donasi. Selain dari donasi, menyebarkan informasi soal acara-acara atau kampanye dan advokasi yang dilakukan oleh si organisasi juga sangat membantu dalam gerakan.
Koordinator bidang gerakan anak muda untuk organisasi Pamflet, Muhammad Amrie menyarankan agar kita memulai aktivisme dari lingkungan terkecil kita terlebih dahulu.
“Melihat situasi dan kondisi saat ini, lebih baik kita mulai dengan mengajak diskusi teman-teman di sekitar kita terlebih dahulu. Menurut saya, kesadaran kolektif itu sudah masuk dalam kegiatan aktivisme,” ujarnya.
Senada dengan Amrie, Nisrina sangat mengapresiasi inisiatif untuk membangun diskusi-diskusi kecil di lingkungan yang paling dekat dengan si individu.
“Karena sistem pendidikan kita buruk dan budaya demokrasinya sulit. Sehingga sudah sampai pada tahap membuat diskusi kecil-kecilan itu saja hebat banget menurut saya,” ujarnya.
- Jangan lupa keamanan diri
Jika sudah terjun ke dalam aktivisme dan terlibat dalam organisasi, jangan melupakan keamanan diri. Ketahuilah hak-hakmu di dalam sistem hukum yang ada dan hukum apa saja yang bisa menjeratmu. Salah satu yang mudah memberangus suara-suara kritis adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) No. 11/2008.
Selain itu, cari tahu juga bagaimana dan di mana kita bisa mengakses bantuan hukum, misalnya di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Bandung, serta jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Nah, selamat melakukan perubahan!
Ilustrasi oleh Sarah Arifin