Politics & Society

Mengapa Saya Minta Maaf kepada Publik Atas Penyerangan Gereja Santa Lidwina Bedog

Sebagai bagian kelompok mayoritas, penulis merasa turut bertanggung jawab atas penyerangan Gereja Santa Lidwina di Yogyakarta.

Avatar
  • February 16, 2018
  • 4 min read
  • 730 Views
Mengapa Saya Minta Maaf kepada Publik Atas Penyerangan Gereja Santa Lidwina Bedog

Tidak  lama setelah peristiwa penyerangan oleh pria bersenjata tajam di Gereja Santa Lidwina Bedog, Yogyakarta, saya menulis status publik di laman Facebook pribadi. Status tersebut berisi permintaan maaf saya sebagai anggota masyarakat dari kelompok mayoritas (Muslim, berhijab, dari suku Jawa, dan dari kalangan pesantren) terhadap mereka yang berasal dari kelompok minoritas dan marginal. Berbagai tanggapan saya dapatkan, namun sebagian besar mempertanyakan mengapa saya harus merasa bersalah atas kejadian itu, dan mengapa saya merasa bertanggung jawab atas peristiwa tersebut?

Pertama, kelompok mayoritas – terutama yang sudah saya sebutkan di atas – secara tidak langsung bertanggung jawab atas berbagai serangan yang menimpa kelompok minoritas dan marginal di Indonesia akhir-akhir ini. Hal ini karena dalam masyarakat yang jamak, kelompok mayoritas dan berkuasalah yang banyak menentukan warna wacana sosial, politik, dan keagamaan di suatu negara.

 

 

Dalam hal ini, perilaku banyak kalangan Muslim Indonesia yang suka menebar berita tidak benar (hoax) dan propaganda kekerasan, untuk kemudian menelannya mentah-mentah adalah salah satu faktor utama meluasnya tindak kekerasan dengan isu SARA (suku, agama, ras, antargolongan) belakangan ini.

Selain itu, normalisasi kekerasan di banyak kalangan Muslim Indonesia juga terjadi melalui penyimpangan narasi “ibadah”. Apa yang dipahami oleh banyak Muslim Indonesia sebagai ibadah sekarang ini sudah melenceng jauh dari apa yang umumnya masuk dalam kategori tersebut. Menyebar status Facebook yang penuh dengan pesan kekerasan menjadi “ibadah” dengan embel-embel “silakan di-like” dan “amin masuk surga”. Demikian pula dengan menghardik individu yang dinilai tidak berperilaku “Islami” di tempat umum, atau menolak untuk duduk dengan mereka yang TERLIHAT seperti non-Muslim di transportasi umum. Laku kekerasan telah sedemikian rupa dipelintir menjadi ibadah oleh sebagian kalangan Muslim, sehingga hal-hal yang melukai dan menyakiti orang lain tidak lagi dipandang sebagai kejahatan melainkan sebagai langkah dakwah.

Bagaimana bisa sekelompok orang menganggap kekerasan sebagai ibadah? Hal ini terkait dengan posisi masyarakat Muslim sebagai kelompok mayoritas di Indonesia. Sebagai mayoritas berkuasa, mereka merasa lebih berhak menentukan warna kebangsaan daripada kelompok lainnya. Fakta mayoritas berkuasa adalah fakta hegemonik di mana pembentukan nilai dan norma di tempat umum harus berjalan sesuai dengan sang pemilik kuasa tadi. Dari perspektif ini, kekerasan terhadap kelompok minoritas dan marginal dipandang sebagai hal yang harus dilakukan demi kepentingan bersama.

Sekelompok warga desa di Tangerang yang memaksa seorang Biku untuk menandatangani kontrak pelarangan ibadah agama Buddha di rumahnya tidak akan merasa bersalah karena mereka yakin bahwa pelarangan tersebut dibutuhkan demi “keamanan bersama”. Mereka memandang tindakan kekerasan tersebut sebagai hal yang wajar dari logika mayoritas mereka. Dalam hal ini, Islam menjadi Indonesia, dan Indonesia menjadi Islam.

Inilah mengapa kemudian kita sering kali dikejutkan oleh serangan bersenjata yang dilakukan individu-individu tertentu. Dalam logika pelaku, bisa jadi apa yang ia lakukan bukanlah bentuk kekerasan melainkan bentuk ibadah layaknya salat lima waktu. Pelaku menggunakan logika mayoritas untuk menormalisasi kekerasan yang ia lakukan.

Alasan kedua dan terakhir saya untuk meminta maaf kepada kelompok minoritas dan marginal adalah, fakta bahwa banyak pelaku penyerangan dan kekerasan adalah Muslim. Sebagian dari kita akan bersegera menjawab bahwa mereka yang melakukan kekerasan bukanlah Muslim sejati dan bahwa yang mereka lakukan bukanlah cerminan dari Islam. Argumentasi ini sangat berbahaya. Dengan menyatakan bahwa pelaku bukanlah Muslim sejati yang paham “Islam yang benar”, Muslim Indonesia kembali mengafirmasi tindak kekerasan karena mereka merasa tak bertanggung jawab atasnya.

Faktanya adalah, tidak ada istilah Muslim sejati dan Muslim palsu dalam konteks ini. Mereka yang melakukan kekerasan adalah sama Muslimnya dengan yang tidak melakukan kekerasan. Kita tidak bisa begitu saja meninggalkan tanggung jawab dengan berkata bahwa para pelaku kekerasan tersebut adalah “Muslim pura-pura”. Pelaku penyerangan Gereja Mbedog sehari sebelum penyerangan menyatakan bahwa ia ingin “menikahi bidadari di surga”. Ajaran apa itu kalau bukan ajaran Islam? Dan siapa dia kalau bukan Muslim? Sebagaimana agama-agama lainnya, Islam dapat digunakan untuk menjustifikasi kekerasan maupun perdamaian. Semuanya hanya tergantung pada pelakunya saja.

Masyarakat Muslim Indonesia harus mulai bergerak untuk memikul tanggung jawab. Tidak ada gunanya kita menuduh level keislaman seseorang sebagai faktor di balik laku kekerasannya, termasuk pada penyerangan Gereja Santa Lidwina. Hentikan distribusi hoax dan pesan kekerasan. Berhentilah mendengarkan ceramah-ceramah tak berilmu yang membakar kemanusiaan kita. Cerdaskan diri dengan membaca buku-buku bermutu dari para akademisi bermutu. Kenali tetangga dan sanak saudara yang berbeda dari kita dan rangkul mereka, karena Indonesia bukan untuk kita saja.     

Lailatul Fitriyah adalah mahasiswi doktoral Program Studi Agama-agama Dunia dan Gereja Global di University of Notre Dame, AS.



#waveforequality


Avatar
About Author

Lailatul Fitriyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *