Lifestyle Madge PCR

‘Unconditional Love’ atau Mencintai Tanpa Syarat, Sejauh Mana Batasnya?

Mencintai tanpa syarat sering dipandang romantis. Padahal, ada batasan agar hungan tak jadi toksik.

Avatar
  • May 8, 2023
  • 5 min read
  • 14835 Views
‘Unconditional Love’ atau Mencintai Tanpa Syarat, Sejauh Mana Batasnya?

Dari film maupun serial televisi, mungkin kamu familier dengan pernyataan “cinta tanpa syarat”, atau unconditional love. Contohnya Always (2011), menceritakan mantan petinju Cheoi-min (So Ji-sub) yang mencintai Ha Jung-hwa (Han Hyo-joo), telemarketer dan Tunanetra.

Film garapan Song Il-gon tersebut seolah menunjukkan, Jung-hwa dan Cheoi-min menyayangi satu sama lain tanpa memandang keterbatasan masing-masing—yang diartikan sebagai unconditional love. Hal ini kemudian dipandang romantis, lantaran dapat menerima pasangan apa adanya.

 

 

Contoh lain, dalam lagu “Unconditionally” (2013) Katy Perry, mengungkapkan seseorang yang akan mencintai orang lain apa adanya. Ini termasuk menerima kekurangan dan hari-hari buruknya. 

Dari contoh-contoh di atas kita melihat betapa budaya populer seolah meromantisasi untuk mencintai seseorang dalam kondisi apa pun. Dalam arti memprioritaskan kebahagiaan pasangan, tanpa memedulikan bagaimana hal itu menguntungkan dirinya. Hal itu kemudian mengaburkan batasan antara memenuhi kebutuhan pasangan dengan diri sendiri. 

Baca Juga: Semua demi Pasangan, Sejauh Mana Harus Berkorban dalam Hubungan?

Batasan dalam Unconditional Love

Sebagaimana definisinya, ketika mendengar “unconditional love”, mungkin yang pertama kali terpikirkan adalah kasih sayang tak terbatas layaknya orang tua pada anak. Artinya, ada perasaan aman, relasinya tulus, tidak transaksional, serta saling menerima dan memaafkan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, unconditional love tampak tidak mengenal batasan. Seseorang rela memberikan apa saja untuk orang lain, dan menerima pasangan apa adanya, termasuk bagaimana mereka diperlakukan.

Masalahnya hubungan tersebut bisa menjadi codependentfokus memberi pada pasangan dan abai pada diri sendiri. Walaupun dibangun berdasarkan kasih sayang, pihak yang terlibat dalam hubungan perlu menyampaikan bagaimana harapan hubungan yang ideal atau bagaimana ingin diperlakukan. 

Karena itu, sebagian orang kerap keliru antara unconditional love dan relasi yang toksik. Dalam tulisannya di Healthline, penulis Crystal Raypole menjelaskan beberapa cirinya.

Pertama, mengabaikan konflik dalam hubungan. Pada dasarnya, permasalahan merupakan sesuatu yang wajar dalam relasi. Namun, sebagian orang yang mencintai pasangannya, sering kali menghindari konflik dan perilaku pasangannya yang bermasalah.

Contohnya melihat pasangan yang sebelumnya terbiasa mengomunikasikan apa pun, kini memberikan silent treatment saat terjadi permasalahan. Mungkin perubahan tersebut tampaknya kecil, sehingga diabaikan. Lama-lama mengganggu komunikasi hingga mengesampingkan persoalan, yang seharusnya diselesaikan.

Kedua, mengabaikan kebutuhan diri sendiri. Mungkin kamu sering mendengar-–atau pernah melakukan—pengorbanan demi pasangan. Misalnya pindah ke luar negeri untuk hidup bersama pasangan, seperti dilakukan aktor Acha Septriasa dan penyanyi Kallula. Atau perempuan yang memutuskan jadi ibu rumah tangga, usai melahirkan. 

Baca Juga: Apa itu Hubungan ‘Codependent’: Rawat Pasangan, Abai dengan Diri Sendiri

Meskipun pengorbanan dilakukan agar relasi berjalan baik, bukan berarti harus melepaskan semua kebutuhan dan keinginan pribadi. Ada batasan yang perlu ditetapkan, ditentukan berdasarkan sejauh mana kamu merasa nyaman melakukannya. 

Menurut Raypole, tidak ada orang yang bisa memenuhi kebutuhannya, selain dirinya sendiri. “Unconditional love enggak otomatis membuat relasi sehat. Setiap orang perlu memenuhi kebutuhannya sendiri, atau dia enggak bisa mendukung pasangannya,” tulis Raypole.

Ketiga, menoleransi kekerasan. Dalam Bad Sisters (2022), Grace (Anne-Marie Duff) berusaha menormalisasi perlakuan suaminya, John Paul (Claes Bang), yang kerap melakukan kekerasan fisik maupun emosional lewat tutur kata.

Salah satunya ketika John Paul merendahkan Grace, mengatakan istrinya tidak pantas mengikuti kelas menari ataupun beraktivitas di luar rumah. Bagi John Paul, Grace cukup melakukan pekerjaan rumah tangga.

Sayangnya, Grace tidak melakukan apa pun, atas tindakan yang terjadi berulang itu. Misalnya di sebuah adegan, ketika adik-adiknya melihat John Paul begitu keras pada Grace. Grace justru marah, menekankan bahwa pernikahannya bahagia, dan menganggap adik-adiknya tidak suka melihat hidupnya.

Perilaku Grace merupakan contoh seseorang yang menoleransi kekerasan dalam hubungan. Ia berusaha menerima, memaafkan, dan tetap menyayangi suaminya—tanpa menghiraukan perbuatan yang diterima. Padahal, dalam relasi tersebut terdapat kontrol dan kekuasaan yang tidak seimbang.

Padahal, jika unconditional love yang dimaksud wujudnya seperti yang diberikan Grace terhadap John Paul, justru menunjukkan relasi tidak sehat. Pasalnya, “aturan” dalam relasi yang sebenarnya menjaga hubungan berjalan dengan sehat. Dengan demikian, pasangan dapat memahami dan menghargai perbedaan satu sama lain, seperti dijelaskan Abby Rodman dalam tulisannya di HuffPost.

Lalu, dapatkah unconditional love yang sehat dibentuk dalam relasi?

Baca Juga: Jadi ‘Si Paling Cinta’ Alias ‘Hopeless Romantic’, Salah Enggak Ya?

Menciptakan Unconditional Love yang Ideal

Menurut Raypole, ada berbagai cara untuk menciptakan unconditional love dalam hubungan. Misalnya menunjukkan sikap menghargai, sekalipun tidak sependapat atau sedang menghadapi konflik.

Walaupun sebagian orang memandang persoalan sebagai sesuatu yang buruk, hal itu justru dapat meningkatkan kualitas relasi apabila diatasi dengan baik. Raypole mengatakan, pastikan ketika menyelesaikan masalah, tunjukkan bahwa kamu menganggap opininya berharga. 

Kemudian, belajar menciptakan komunikasi terbuka. Hal ini mencakup kejujuran, kejelasan, dan tepat waktu.

Contohnya ketika muncul permasalahan. Upayakan untuk segera membicarakan, dibandingkan menyimpan kekesalan. Lalu, sampaikan opinimu dengan jujur dan dengarkan pasangan. Pastikan saling memahami satu sama lain, dan utarakan jika ada hal yang belum jelas, untuk mencegah terjadinya konflik ke depannya.

Yang terakhir, tunjukkan sikap saling mendukung. Ketika pasanganmu kesulitan, dengarkan keluhannya dan tanyakan apa yang bisa dilakukan untuk membantu. Atau tunjukkan kehadiranmu, agar pasangan merasa tidak menghadapi persoalannya sendirian.Pada akhirnya, hubungan yang ideal melibatkan pengorbanan dan dukungan secara dua arah. Sebab, untuk mewujudkan unconditional love, yang dibutuhkan adalah kesediaan untuk saling memberi, bukan hanya menerima.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *