Waktu di sekolah dasar, saya sudah menyadari bahwa saya berbeda dari kawan sebaya. Saya sangat pendiam, pemikir, mudah cemas, dan menghindari pergaulan. Jika anak-anak lain bisa dengan mudah mengutarakan rasa marah atau kecewa, saya cenderung memendam, lalu meledak dengan cara yang sangat aneh.
Ketika menginjak bangku SMP, saya kira ketidakmampuan bersosialisasi dan ketidakstabilan mental saya telah berhenti. Pasalnya, saya aktif berkegiatan dan cukup banyak teman saat itu. Namun ternyata dugaan saya meleset. Saat berseragam SMP, saya malah untuk pertama kalinya mencoba bunuh diri.
Melangkah ke bangku SMA, kehidupan saya normal seperti remaja kebanyakan. Saya pun berharap anggapan masa paling indah adalah masa SMA menjadi nyata dalam hidup saya. Tetapi realitasnya, itu semua omong kosong. Saya semakin khawatir dengan pandangan orang lain terhadap saya. Bahkan, tanda-tanda depresi saya mulai muncul.
Dalam banyak waktu saya merasa begitu kosong, seperti ada lubang di tengah dada saya. Saya sering merasa diri tidak penting dan tidak yakin akan masih hidup dalam beberapa tahun ke depan. Saya juga kerap kali merasakan kesepian yang tidak jelas apa penyebab dan definisinya.
Ketika akhirnya masuk masa kuliah, saya kira hidup saya akan lebih baik karena berhasil mendapatkan kursi di jurusan yang saya incar. Ternyata tidak juga. Hidup memang terasa lebih cerah, namun hanya untuk sekian bulan. Sebelum menginjak semester kedua, depresi saya bahkan semakin menjadi-jadi. Saya merasa tidak berarti lagi, tidak berdaya, tidak punya kemampuan, malu dengan keberadaan saya di dunia ini, dan keinginan mati muncul setiap hari.
Baca juga: Terpasung dalam Kepala Sendiri Akibat Gangguan Bipolar
Saat itu saya juga sering merasa aneh karena terkadang saya penuh semangat, bisa dibilang terlalu penuh malah. Sampai-sampai pada malam hari pun saat berbaring di tempat tidur, beragam ide berkesenian muncul di kepala saya tanpa bisa dikontrol. Bahkan saya pernah mencatat, dalam waktu kira-kira kurang dari tiga menit ada delapan ide yang muncul bergantian.
Saya juga terkadang merasa begitu emosional. Saya bisa sampai membuang barang-barang, mengunci diri, dan marah dengan kekuatan penuh seperti orang kesetanan. Itu semua saya lakukan tanpa peduli ada siapa di sekitar saya.
Saya merasa berat menjalani hidup seperti itu karena saat itu saya tidak mengerti dengan apa yang terjadi dalam diri saya. Meski begitu, saya berusaha meyakinkan diri dengan sangat keras bahwa tidak ada yang salah dalam diri saya.
Perihal depresi yang saya alami, ternyata ia tidak kenal semester dan musim. Saya sempat melalui hari-hari depresi hingga lulus kuliah. Saya melewatkan banyak kesempatan membangun kemampuan dan koneksi, bersosialisasi, dan bersenang-senang. Sepanjang waktu, orang sekitar tidak tahu apa yang terjadi pada diri saya karena saya aktris yang hebat dalam berpura-pura bahagia.
Ketika psikiater mendiagnosis saya mengidap bipolar, saya tidak sedih. Saya justru merasa akhirnya semua ini masuk akal.
Diagnosis yang melegakan
Ketika saya akhirnya mendapat pekerjaan, untuk sejenak saya lebih tenang. Namun kenyataan dunia kerja yang tidak sesuai idealisme dan berbagai konflik dalam keluarga membuat saya sering merasa mengambang. Bahkan di pekerjaan formal pertama, saya lebih sering mengalami episode manic (tapi saya belum mengetahuinya saat itu), yaitu fase ketika seorang bipolar merasa menggebu-gebu, penuh ide, dan bersemangat melakukan aktivitas.
Waktu itu saya sangat sering merasa terlalu bahagia tanpa sebab, tidak bisa diam, dan badan saya sering linu entah kenapa. Kepala saya juga sering terasa ditekan. Sampai kemudian badan saya tidak kuat menahan dan saya sakit tifus selama kurang lebih dua bulan. Inilah saat saya sadar bahwa sumber utama semua rasa sakit saya adalah batin yang belum dicoba untuk dipulihkan.
Tidak lama setelah sembuh dari tifus, saya memeriksakan diri ke psikiater. Dia mendiagnosis saya mengidap Bipolar Rapid Cycling serta GAD (Generalized Anxiety Disorder). Saya tidak sedih saat itu, saya justru merasa akhirnya semua ini masuk akal.
Menjalani pengobatan mental terasa sangat sulit bagi saya, apalagi karena episode manic saya justru sangat meningkat akibat konsumsi obat. Hingga akhirnya saya menemukan referensi tentang manfaat meditasi dan tertarik untuk melakukannya.
Baca juga: “Sepertinya Saya Bipolar”: Bahaya Diagnosis Mandiri Gangguan Mental
Dengan menjalani meditasi, saya menyadari banyak hal, terutama bagaimana caranya saya bisa mandiri dalam merawat diri saya sendiri. Lewat hal itu pula, saya belajar untuk menjadi lebih lembut pada diri saya. Saya memaafkan sejarah saya yang dulu pernah menutup diri dari dunia dan mengabaikan segala kesempatan untuk waktu yang cukup lama. Saya memaafkan diri saya karena paham bahwa saat itu saya memang hampir tidak mampu melakukan apa-apa.
Meditasi juga membuat saya kini jauh lebih stabil dan berani memvalidasi apa pun yang saya rasa dan pikirkan. Saya mulai menemukan rasa berharga pada diri saya sejak menjalani meditasi. Keberanian dan ketenangan dalam menghadapi semua yang dilempar oleh dunia juga lebih besar. Saya sungguh bangga pada perkembangan diri saya sendiri meskipun perkembangan ini tidak dalam bentuk materi dan status seperti yang diglorifikasi orang-orang pada umumnya.
Ketiadaan orang lain yang mau menjadi caregiver saya dalam masa pemulihan sebenarnya cukup menyedihkan. Namun, motivasi saya untuk lebih menyayangi diri sendiri lebih besar dari kesedihan itu.
Meski bipolar membuat saya mengalami banyak hal dan akhirnya menyederhanakan impian, saya tetap puas dan ikhlas. Saya kini menjadi caregiver dan penyemangat terbaik bagi diri saya sendiri, dan saya akan terus berusaha agar ini berlangsung untuk selamanya.