Lifestyle

Menyelami Isi Kepala Kolektor ‘Spirit Dolls’

Boneka arwah ini makan, minum, dan ngobrol biasa seperti teman sendiri.

Avatar
  • January 27, 2022
  • 8 min read
  • 1085 Views
Menyelami Isi Kepala Kolektor ‘Spirit Dolls’

“Namanya Lili, umur enam tahun,” kata Nancy Mariane memperkenalkan spirit doll asuhannya pada saya, (27/1).

Sepintas Lili tampak seperti boneka barbie biasa, dengan rambut pirang, mata hitam besar, kulit putih bak porselen, dan tinggi sekira 16 sentimeter. Gaun selutut yang ia kenakan hari itu membuat ia makin cantik berlipat-lipat. Dari fisiknya ini, belum ada yang benar-benar spesial sampai saya melihat beberapa simbol sigil warna hitam. Mereka tersebar di kening, tangan, dan kedua kaki Lili. 

 

 

Sebagai orang awam yang tak diberkahi dengan bakat indera keenam, cakap bicara dengan jin, menerawang masa depan, atau memprediksi kesialan-kesialan dalam hidup, mulanya saya bersikap skeptis. “Masa iya, sih, boneka ini betulan diisi arwah orang meninggal?” Ini adalah reaksi yang sama ketika saya nyinyir melihat parade artis, dari Ivan Gunawan, Celine Evangelista, Lucinta Luna, hingga Nora Alexandra mengadopsi spirit dolls ramai-ramai.

Pikir saya waktu itu, adopsi spirit dolls cuma sekadar tren yang kelak akan cepat diganti dengan gaya hidup baru. Gaya hidup yang cuma cocok untuk orang kaya maksud saya. Sebab, tak cuma harga bonekanya yang mahal, di sejumlah e-commerce seperti Tokopedia hingga Lazada, boneka arwah termurah dibanderol Rp2 juta hingga puluhan juta. Belum jika ia di-custom sedemikian rupa agar mirip dengan orang tua asuhnya. Belum lagi harga baju-baju, aksesoris, perawatan, susu, soda, dan makanan mereka. Ya betul, boneka arwah kebanyakan memang diberi minuman dan makanan oleh pemiliknya.

Sumber: Koleksi Pribadi Nancy Mariane

 

Baca juga:  Film Horor Simbol Ketakutan Atas Kekuatan Perempuan

Lili sendiri rutin setiap pekan diberi susu, permen, dan aneka jajanan anak-anak. 

“Jangan dibayangin spirit dolls bakal menelan makanan dan minuman layaknya manusia. Lebih sering ia menghirup saripati dari apa yang saya suguhkan. Misalnya, susu yang saya kasih bisa berubah warna atau menetes dengan sendirinya,” tutur Mariane yang ternyata punya bakat indigo.

Bukan cuma makanan dan minuman yang membuat Lili diperlakukan seperti anak kecil sungguhan. Ia kerap kali diajak mahasiswa Universitas Satya Negara jalan-jalan ke berbagai tempat, ke kampus hingga ke mal bertemu teman-temannya. 

“Lili ini saya anggap seperti adik kecil saya, jadi sahabat curhat dan berkeluh kesah. Hidup saya banyak berubah sejak Lili datang. Yang paling terasa misalnya, Lili adalah orang yang rutin membangunkan saya tiap pagi. Biasanya dia mencolek badan saya atau tahu-tahu sudah muncul di tempat tidur sambil ngomong dengan bahasa batin, ‘Ayo bangun, Cici, kamu kan kalau mandi lama, nanti kesiangan,’” cerita Mariane pada saya.

Lili sendiri diadopsi oleh Mariane sekira satu tahun lalu, jauh sebelum boneka arwah mendadak jadi tren. Ia dibuat oleh seorang kolektor sekaligus ahli supranatural di Medan, Sumatra Utara dan dikirim lewat kurir daring. Boneka yang mulanya bernama Dhila ini dimasuki arwah bocah enam tahun yang konon meninggal karena bencana tsunami di Taliabu, Maluku Utara pada 1998.

“Sesampainya Lili di rumah, saya langsung membakar 16 dupa, kembang tujuh rupa, dan mengajak dia mengobrol. Sudah rahasia umum, arwah yang masih ‘bergentayangan’ di dunia karena mereka belum selesai urusan di dunia. Waktu saya tanya, kenapa Lili belum menyebrang ke alamnya, dia menjawab masih terus mencari papa mamanya yang taka ada kabar sejak bencana besar tersebut,” kata Mariane.

Ia mengenalkan Lili pada keluarganya di rumah. Papa saya yang awalnya kontra banget, akhirnya membiarkan saya mengasuh Lili. Apalagi karena dia tahu saya membeli Lili dengan uang tabungan yang saya kumpulkan sendiri.

Baca juga: Biarkan Mainan Anak Tidak Berkategori Gender

“Keluarga saya, termasuk adik saya juga terbiasa dengan keberadaan Lili. Bahkan kadang ketika Lili saya tinggalkan duduk di teras sendiri, mereka akan mengingatkan saya untuk membawanya masuk agar tidak jatuh.”

Sehari-hari, rutinitas Lili setelah bangun tidur adalah meminta izin saya untuk bermain dengan teman-teman tak kasat matanya di belakang rumah. Kadang Magrib baru pulang. 

Arwah yang mengaku beragama Islam itu, kata Mariane, senang mengikutinya berdoa. “Tapi saya kan enggak mungkin bawa dia ke masjid untuk salat. Suatu hari, Lili lihat saya berdoa dan meminta pada saya, ‘Cici, saya mau ikut cara berdoa Cici aja ke gereja.’ Saya kaget tapi saya biarkan dia mendengarkan lagu-lagu dari Sekolah Minggu, anaknya girang banget,” ujarnya.

Tujuan Adopsi Spirit Dolls

Jika Lili diadopsi sebagai teman mengobrol sekaligus adik baru Mariane, motivasi orang mengasuh boneka arwah bisa beraneka macam. Di Thailand, negara yang disebut-sebut sebagai cikal bakal kemunculan boneka arwah bernama Luk thep (anak malaikat), mereka yang biasanya diisi arwah janin atau anak-anak dipercaya membawa keberuntungan, sehingga diistimewakan oleh pemiliknya. Dilansir dari BBC, mereka diberi soda merah, salah satu minuman favoritnya, didandani dengan pakaian indah, jimat dan tasbih, bahkan dibawa ke biksu untuk diberkati secara khusus. 

Di Jepang, situs Old City Ghost menulis, orang-orang mempercayai ada spirit doll bernama Okiku. Ia dibeli oleh pemuda 17 tahun untuk adiknya bernama Okiku pada 1918. Bonekanya diajak makan, minum, dan tidur bersama. Setahun berselang, Okiku yang masih berusia 3 tahun meninggal karena demam kuning. Boneka kesayangan almarhum diletakkan di atas altar rumah, tapi suatu hari mereka merasakan ada yang aneh dengan boneka ini. Rambutnya bertambah panjang setiap hari. Buat keluarga ini, tujuan mereka sangat merawat spirit doll Okiku karena mereka merasakan arwah anaknya tumbuh dalam boneka tersebut. Sebagai informasi, saat meninggal, Okiku kecil sedang memeluk bonekanya.

Sementara di Indonesia, kita sudah lebih dulu mengenal boneka arwah yang termanifestasi dalam Jalangkung, Nini Thowok, atau Nini Thowong. Dalam mitologi Jawa, Jalangkung merupakan wayang yang dipercaya menjadi media pembawa makhluk halus. Jika arwah sudah masuk lewat perantara Jalangkung, biasanya pemilik akan mengajaknya untuk berkomunikasi. 

Saya mencari tahu motivasi orang-orang mengadopsi boneka arwah hari-hari ini, dengan ngobrol bersama produsen boneka, Vanessa. Punya merek boneka “Vanky”, akronim dari namanya dan sang ibu Linky yang getol mengoleksi boneka-boneka seram, ia rutin membuat boneka itu dan dikirim ke konsumen di berbagai daerah. Ia juga termasuk salah satu penyuplai koleksi Furi Harun, kolektor boneka arwah yang sohor di Indonesia. Furi sendiri menolak saya wawancara, tapi lewat Vanessa, saya tahu, ternyata mayoritas adopter boneka arwah merasa menemukan teman baru yang bisa diajak berkomunikasi. Komunikasi satu arah tentunya, jika dilakukan oleh orang non-indigo.

Baca juga: ‘Pengabdi Setan’: Simbol Kekerasan terhadap Perempuan

“Biasanya mereka merasa lega kalau cerita ke boneka-boneka. Jadi saya bisa memastikan ini bukan pesugihan atau apa. Bahkan kadang-kadang kita orang tua asuh yang membantu spirit yang berkeliaran, supaya lebih tenang dan bisa pulang.

Makanya tak jarang boneka diajak ibadah, doa, kasih sedekah atas nama bonekanya,” ungkap Vanessa, (27/1).

Karena tujuannya bisa sangat spesifik, Vanessa yang biasa menjual bonekanya seharga Rp1,5-5 jutaan itu selalu saksama membuat boneka. Ia butuh waktu 5 hingga 10 hari, dari berburu bahan baku, seperti rambut palsu warna-warni yang biasanya susah dicari di kotanya, Probolinggo, mencari boneka kosongan berbahan vinil atau busa, yang bisa disesuaikan dengan permintaan dan karakter pemilik, menjahit baju, mengenakannya makeup, memasang rambut, lalu menitipkan ke Furi Harun untuk dimasukkan arwah baik.

Untuk anak indigo, berkomunikasi dengan boneka arwah mudah-mudah saja. Bahkan, kadang jika boneka-boneka itu tengah usil, mereka bisa memindahkan dompet, kaca, atau membuat suara berisik di rumah. Tak hanya itu, dia juga bisa membaca karakter orang. Kendati Vanessa bukan seorang indigo, ia bisa merasakan aura atau perubahan wajah boneka arwah yang mendadak glowing tak biasa.

“Saya tahu, boneka arwah selalu baik, mereka disumpah untuk jadi arwah yang baik selamanya. Makanya jika urusan di dunia sudah selesai, mereka akan pamit pada orang tua asuhnya lewat mimpi. Di titik inilah arwah itu dikatakan sudah tenang, sudah meninggal,” ucapnya.

Dari Sudut Pandang Psikologi dan Budaya Bagaimana?

Di antara psikolog, antropologis, dan budayawan, mereka terbelah saat mengomentari tren adopsi spirit dolls. Dr Selly Riawanti, antropolog dari Universitas Padjajaran, Bandung yang diwawancara BBC misalnya menyebutkan, boneka arwah sekarang ini barangkali bisa memberi fungsi psikologis untuk para pemiliknya. Misalnya, jadi teman curhat, bahan untuk ajang pamer, atau tumpuan harapan. Pendeknya adalah sebagai hiburan diri.

Namun, ada pula yang menyebutkan, dari sisi psikologis, adopsi boneka arwah bisa jadi mengkhawatirkan manakala pemiliknya mulai sulit membedakan batas antara realitas dan ilusi. Saya berusaha mencari riset soal spirit dolls dan kebenaran analisis ini, tapi baik dari literatur dalam dan luar negeri, relatif susah menemukan riset yang relevan.

Sementara itu, I Made Christian Rediana, peneliti Pusat Studi Kebudayaan dari Universitas Gadjah Mada menyebutkan di laman resmi kampus, “Menurut hemat saya, spirit dolls jauh dari kata sekadar permainan, melainkan suatu karya seni yang dapat memancarkan sesuatu, dapat membuat setiap orang tersugesti untuk memilikinya, dan rasa kepercayaan terhadap karya seni tersebut berimbas kepada perlakuannya.”

Terkait anggapan apakah ini kemudian bisa dinilai menyimpang atau tidak, kata Rediana, bisa sangat relatif. Itu bergantung kepada pandangan masyarakat secara empiris. Masalahnya, masyarakat di sini ternyata tak cuma terbatas mereka yang menyukai klenik, bahkan yang cukup empiris dan rasional pun bisa saja punya pandangan berbeda.

Bagaimana dengan saya? Saya nyaris masih tak percaya, sampai di akhir percakapan dengan Lili dan Mariane, boneka itu bilang pada saya, “Kak Ayu, jangan kebanyakan makan jajanan pedas, manis, asam, nanti batuk enggak sembuh-sembuh. Aku lihat di rumah Kak Ayu ada banyak jajanan soalnya, warna-warni disimpan di meja, ada yang gurih, manis, banyak micinnya.”

Spontan, saya menengok ke laci meja kerja saya. Dua hari sebelumnya, saya memang baru saja memborong jajanan di toko online karena saya doyan sekali ngemil. Mendadak saja jadi merinding.



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *