Akhir pekan lalu, salinan putusan cerai pasangan figur publik beredar di media sosial. Dalam salinan tersebut tertulis sejumlah alasan penggugat RR mengajukan perceraian. Salah satunya, RR merasa suami TR lebih berpihak pada ibu mertua, alih-alih dirinya.
Hal itu membuat RR tak nyaman. Terlebih TR tidak berusaha menenangkan perasaan RR dan justru berubah sikap jadi lebih dingin. TR sendiri berdalih, penyebab konflik ini adalah relasi antara RR dan ibu mertua yang memang tak akur. “Aku tahu kamu benci ibuku,” kata TR pada RR setiap kali mereka bertengkar.
Konflik yang terjadi antara RR dan TR, mencerminkan pentingnya membangun batasan tegas dengan mertua dalam membina rumah tangga. Mengapa begitu dan bagaimana caranya?
Baca Juga: Mitos Mertua-Menantu Tak Akur, Masihkah Relevan?
Pentingnya Boundaries dengan Mertua
Dalam relasi, setiap orang punya kebutuhan dan cara masing-masing untuk merawat hubungan. Hal ini juga dipengaruhi latar belakang dan nilai individu maupun pasangan. Bagi sebagian orang Indonesia misalnya, mereka bisa tinggal serumah dengan mertua setelah menikah. Namun, bagi orang Barat yang sejak umur 17 tahun memilih tinggal sendiri, akan terbebani jika harus tinggal dengan keluarga mertua.
Merujuk pada tulisan psikolog klinis Dr. Kathy McMahon, pasangan perlu membicarakan nilai-nilai tersebut, untuk membangun boundaries dengan mertua. Di antaranya mencakup privasi, otonomi, pengambilan keputusan, dan pentingnya waktu untuk keluarga. Sebab, nilai-nilai inilah yang mendukung pemenuhan kebutuhan dalam hubungan.
Sementara jika kebutuhan dalam relasi tak terpenuhi—termasuk adanya campur tangan mertua yang melanggar keempat nilai di atas—akibatnya adalah pasangan merasa frustrasi dan hubungan merenggang.
Kuncinya adalah mengomunikasikan dengan efektif. Kamu perlu menyesuaikan waktu dan tempat, serta membaca situasi. Usahakan momen yang memungkinkan dialog terbuka, dan hindari pertemuan keluarga karena suasana bisa memanas.
Kamu bisa melihatnya dalam rumah tangga Dara (Nurra Datau) dan Bima (Angga Yunanda) dalam Dua Hati Biru (2024). Mereka punya cara berbeda dalam merawat Adam: Dara lebih disiplin, sedangkan Bima cenderung menuruti permintaan anak. Perbedaan tersebut menimbulkan konflik dalam pernikahan mereka. Ditambah Dara, Bima, dan Adam tinggal serumah dengan orang tua Bima.
Di sisi lain, ibu Bima—yang berperan besar dalam mengurus Adam—merasa berhak terlibat dalam pengasuhan. Puncaknya, saat ibu Bima memutuskan bahwa Adam tinggal bersamanya, sampai Dara dan Bima bisa memperbaiki pola asuh anak.
Pernikahan Dara dan Bima serta relasi mereka dengan ibu Bima, menunjukkan kompleksnya menciptakan relasi yang sehat dalam dua keluarga. Sebenarnya, selain pengasuhan anak juga terdapat topik lainnya yang memerlukan batasan. Seperti pengaturan keuangan, menerapkan aturan di rumah, perihal kapan bisa berkunjung dan menelepon, serta pengambilan keputusan untuk urusan karier, tempat tinggal, perencanaan keluarga, dan gaya hidup.
Karena itu, menetapkan boundaries bermanfaat untuk beberapa hal bagi relasi pernikahan maupun dengan mertua. Di antaranya membangun kepercayaan, saling menghormati, mencegah pertengkaran, dan fokus membina keluarga dengan aman dan privat.
Meski demikian, membangun boundaries bukan perkara mudah. Namun, untuk bisa mengomunikasikannya, kamu juga perlu mengetahui alasan mertua ikut campur dalam pernikahan anaknya.
Baca Juga: Setara di Kasur, Mulai dari Sumur dan Dapur
Alasan Mertua Terlibat dalam Pernikahan Anak
Dalam tulisannya di Psychology Today, penulis Stephen Betchen menjelaskan penyebab mertua kerap melibatkan diri dalam rumah tangga anak.
Pertama, perpisahan. Semakin erat ikatan orang tua dan anak, semakin sulit orang tua berpisah dari anaknya. Alhasil, anak pun sulit untuk memiliki sifat otonom atas dirinya. Di sisi lain, anak pun perlu merefleksikan kemampuannya, yang mungkin menghambat perkembangan diri.
Kedua, merasa berkompetisi. Secara enggak sadar, ada orang tua yang tak bisa melihat anak-anaknya hidup lebih nyaman. Mereka tidak mengakuinya, pada diri sendiri maupun orang lain. Menurut Betchen, penyebabnya adalah persaingan antara orang tua dan anak selama masa pertumbuhan anak.
Ketiga, memiliki penyakit fisik atau mental. Ketika orang tua sakit, urusan perawatan biasanya dibebankan pada anak-anak. Maka itu, kesehatan dan mengurus orang tua merupakan salah satu hal, yang diprioritaskan dalam rumah tangga anak. Bahkan, berdampak pada relasi mereka. Betchen menyarankan, agar anak memisahkan hal-hal yang bisa dilakukan sendiri oleh orang tua, dan yang membutuhkan bantuan anak.
Keempat, pernikahan mertua yang disfungsional. Situasi ini menyebabkan mertua fokus pada pernikahan anak, karena merasa kesepian atau mencari “perlindungan” dari anak-anak, saat sedang bertengkar.
Kelima, ketidakberdayaan. Semakin anak-anak tumbuh dewasa, bertindak tidak berdaya atau tidak bisa berfungsi dalam pernikahan, semakin besar kemungkinan mertua untuk terlibat memberikan bantuan. Meski dalam kondisi tertentu bantuan dibutuhkan, mertua perlu menyadari untuk tidak bertindak lebih banyak dari yang diperlukan.
Baca Juga: Pacaran dengan Anak Mama, Mending Lanjut atau Sudahi?
Cara Membangun Boundaries dengan Mertua
Setelah mengetahui alasan mertua terlibat dalam pernikahanmu, langkah selanjutnya yang bisa dilakukan adalah membangun boundaries dengan mereka.
Kuncinya adalah mengomunikasikan dengan efektif. Kamu perlu menyesuaikan waktu dan tempat, serta membaca situasi. Usahakan momen yang memungkinkan dialog terbuka, dan hindari pertemuan keluarga karena suasana bisa memanas.
Namun, pastikan kamu dan pasangan sudah mengidentifikasi permasalahan yang bikin enggak nyaman. Lalu, diskusikan bersama tentang cara penyampaiannya, karena pasangan yang lebih mengenal keluarganya. Yang perlu diperhatikan, jika mertua bergantung pada pasanganmu. Lebih baik, pasangan yang menyampaikan karena ini akan lebih sulit kamu lakukan.
Selain itu, perhatikan penggunaan bahasa. Sebaiknya, kamu menggunakan kata “saya” untuk mengekspresikan perasaan, menyatakan kebutuhan, dan menghindari menyalahkan orang lain. Misalnya: “Saya lelah kalau setiap weekend, ibu dan ayah berkunjung. Kadang-kadang, saya ingin pergi berdua pasangan.” McMahon mengatakan, cara ini merupakan pendekatan yang konstruktif dan mengurangi sikap defensif.
Selanjutnya, dorong mertua untuk mengekspresikan perasaan dan permasalahan dari perspektifnya, agar saling mengerti. Di tahap ini, praktikan mendengar aktif dan empati karena kedua hal tersebut merupakan komunikasi yang efektif, untuk mengungkapkan topik sensitif.
Jika beberapa langkah tersebut sudah dilakukan, yang perlu diingat adalah tetap bersikap terbuka untuk menyesuaikan boundaries—ataupun jika terdapat batasan yang dilanggar. Sebab, mertuamu juga membutuhkan waktu untuk memahami dan beradaptasi. Yang penting, tetap dikomunikasikan pada mertua maupun pasangan.