Screen Raves

Cara ‘Dua Hati Biru’ Mengajarkan Arti Baru Pernikahan pada Saya yang Belum Menikah

Pernikahan memang budaya tua yang usianya sudah lebih ribuan abad, tapi sampai sekarang pun tak ada cara saklek menjalankannya. Itu satu yang saya pelajari dari ‘Dua Hati Biru’.

Avatar
  • May 2, 2024
  • 6 min read
  • 700 Views
Cara ‘Dua Hati Biru’ Mengajarkan Arti Baru Pernikahan pada Saya yang Belum Menikah

(Peringatan spoiler!)

Untuk kesekian kalinya, Gina S. Noer berhasil membuat Saya tenggelam dalam haru saat menyaksikan filmnya. Dua Hati Biru, sebagai sekuel dari Dua Garis Biru, sukses membawa saya pada realitas kehidupan pernikahan muda yang penuh lika-liku. 

 

 

Melanjutkan film pertamanya, Dua Hati Biru mengisahkan perjalanan pernikahan Bima (Angga Yunanda) dan Dara (Aisha Nurra Datau) setelah menikah muda dan memiliki anak. Pada film sebelumnya, Dara dikisahkan pergi ke Korea Selatan setelah melahirkan sebab ingin melanjutkan kuliah. Kondisi itu membuat Adam (Farrel Rafisqy), anak Bima dan Dara, tinggal dan tumbuh bersama keluarga Bima selama beberapa waktu. Setelah 4 tahun berselang, akhirnya Dara kembali ke Jakarta dan di sinilah lika-liku kehidupan keluarga kecil mereka berlanjut. 

Sebagai orang yang belum menikah, kisah Bima dan Dara dalam Dua Hati Biru cukup menjadi gambaran kehidupan pernikahan muda yang realistis bagi saya. Konfliknya terasa dekat, masuk akal, dan disampaikan dengan sabar dan dingin.

Perjalanan yang Penuh Lika-liku

Dibuka dengan adegan ibadah bersama antara Ayah dan anak, Dua Hati Biru berupaya menggambarkan bagaimana kedekatan antara Bima dan Adam sudah terbangun sejak lama. Berbeda dengan Dara, lantaran berpisah sejak Adam lahir, ia harus berupaya berkali-kali lipat untuk dekat dengan Adam. Prosesnya pun tak mudah. Ada banyak intrik hingga perseteruan antara mertua-menantu pada beberapa adegan. 

Dalam Dua Hati Biru, Gina S Noer sukses menggambarkan bagaimana Bima dan Dara berupaya membangun kemandirian keluarga kecilnya. Penuh dengan problematika, Bima dan Dara sama-sama berusaha untuk menyesuaikan diri pada proses tumbuh itu. Situasinya pun kadang pelik. Bima dan Dara kadang perlu berhadapan dengan kondisi yang serba terbatas akan pilihan.

Baca juga: Review ‘Dua Hati Biru’: Tak Ada Keluarga yang Sempurna dan Mungkin Memang Tak Harus Sempurna

Pada 30 menit awal film dimulai, Bima dan Dara digambarkan harus berhadapan dengan cara pandang parenting yang berbeda dengan orang tua Bima. Dalam proses pendekatan yang dilakukan oleh Dara terhadap Adam, keluarga kecil mereka harus beberapa kali mengalami cekcok terkait perbedaan cara pandang ini. 

Misalnya, atas kemauan Dara, keluarga mereka sempat datang ke psikolog anak untuk berkonsultasi. Tapi, kunjungan tersebut membutuhkan proses dan tidak bisa mendatangkan solusi cepat. Bima skeptis akan proses itu. Belum lagi biayanya yang mahal. Konseling pun tidak berjalan maksimal.

Konflik terus berlanjut dan Dara pun jengah. Ia merasa Adam terlalu dimanja dan takut hal itu akan berujung buruk bagi pertumbuhan karakter sang anak. Lagi-lagi sepasang anak muda itu berdebat, duduk di kursi berbeda untuk menentukan masa depan keluarga mereka.

Bima, Dara, dan Adam sempat pindah ke rumah orang tua Dara. Meski begitu, situasi tak kunjung membaik. Kali ini bukan soal perbedaan cara asuh anak, tapi tentang pekerjaan Bima. Dara merasa tak terima Rika (Lulu Tobing), terlalu sering menanyakan kondisi pekerjaan Bima. Rika merasa pekerjaan Bima yang sekarang tidak bisa dibilang cukup. Bima harus lebih bisa memanfaatkan potensinya. 

Merasa keluarga kecilnya tidak bertumbuh baik, Dara memutuskan untuk pindah ke tempat lain dan memulai semuanya dari nol. Meskipun proses diskusinya alot, akhirnya Bima setuju dan mereka pindah ke sebuah kontrakan.

Kepindahan itu berangkat dari niat Dara untuk lebih mandiri dan punya kontrol atas keluarganya sendiri. Tapi, keputusan itu bukan tak punya risiko: persoalan barunya adalah melengkapi kebutuhan ekonomi. Gaji Bima ternyata tidak cukup. Mereka berdua perlu memutar otak untuk memenuhi kebutuhan itu demi keluarga kecil mereka. Demi Adam. 

Baca juga: #MerekaJugaPekerja: Bekerja 100 Jam Per Minggu tapi Tak Dianggap Produktif

Kondisi itu pun menimbulkan persoalan baru. Mau tidak mau, Dara harus bekerja. Proses adaptasi pada situasi baru pun harus dijalankan. Karena kesibukan Dara yang lebih tinggi dari Bima, mereka pun perlu mengatur ulang pembagian peran kerja-kerja perawatan di rumah. Kini, Adam lebih banyak menghabiskan waktu bersama Bima. Pekerjaan rumah yang awalnya menjadi tanggung jawab Dara, sekarang berubah menjadi tanggung jawab Bima. 

Pada bagian cerita itu, Gina S Noer juga menggambarkan beberapa realitas terkait betapa sulitnya menjadi perempuan saat berhadapan dengan dunia kerja. Ketika ingin melakukan proses wawancara, Dara terpaksa menanggalkan cincinnya agar terlihat seperti perempuan yang belum menikah. Hal ini ia lakukan karena perusahaan tidak mau merekrut pegawai perempuan yang sudah menikah apalagi memiliki anak. Perusahaan butuh pegawai yang bisa fokus pada pekerjaan, bukan perempuan yang lebih banyak fokus pada anak. 

Karena harus berbagi peran kerja perawatan, Bima pun mendapat stigma buruk di tempat kerja. Kendati lebih sering terlihat bersama Adam, pemilik usaha di mana Bima Kerja memberi Bima cap sebagai laki-laki tanpa harga diri. Mengurus anak adalah tugas istri. Dara, istri Bima telah menginjak-injak harga diri Bima sebagai laki-laki dan suami, ujar pemilik pemandian bola itu. 

Perseteruan tersebut berujung tidak baik. Bima merasa istrinya direndahkan, dan ia pun memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya. Sayangnya, Bima tidak berterus terang kepada Dara akan kondisi ini. Karena tetap membutuhkan uang, Bima pun mencoba peruntungan lain dengan berjualan pakaian bersama sahabatnya, Iqi (Keanu Angelo). 

Tentang Terus Belajar dan Tumbuh Bersama

Keluarga Bima dan Dara memang bukan keluarga yang sempurna. Latar belakang yang sangat berbeda, menikah di usia yang muda, hingga persoalan-persoalan lain terkait proses mengasuh anak pun jadi alasan yang mendasari konflik dalam keluarga kecil mereka. Melalui rentetan konflik ini, Dua Hati Biru berupaya menegaskan bahwa pernikahan adalah perjalanan belajar yang sangat panjang. Tidak ada pernikahan tanpa konflik dan akan selalu ada fase baru untuk belajar dalam menyelesaikannya. 

Pada babak akhir, pernikahan Bima dan Dara diceritakan nyaris kandas. Saat pertikaian itu memuncak, Dara dan Bima sempat mengambil jeda untuk berpisah. Adam ikut bersama Dara, sedangkan Bima melanjutkan jualannya bersama Iqi. 

Pada momen pisah tersebut, Bima dan Dara digambarkan sama-sama berupaya untuk merefleksikan dan menyelesaikan permasalahan keluarga mereka dengan caranya masing-masing. 

Pada bagian Dara, upaya mengembalikan keluarganya dilakukan dengan memohon maaf pada orang tua Bima. Dalam adegan tersebut, Dara mengunjungi rumah orang tua Bima dan memohon maaf kepada Ibu (Cut Mini) atas semua perbuatan salah yang sudah ia lakukan. Pada bagian sebaliknya, Bima juga berupaya untuk mengembalikan keluarga kecilnya dengan mencoba langkah lebih dalam mengembangkan potensinya. Bima berniat kuliah. Hal itu pun disambut baik oleh Mama (Lulu Tobing). “Satu hal yang Mama apresiasi dari Kamu, Bim. Kamu itu nggak pernah lari dari masalah” Ucap Mama kepada Bima.

Baca juga: #MerekaJugaPekerja: Banyak Perempuan Berhenti Kerja demi Urus Keluarga, Kenapa Masih Tak Diakui?

Setelah sama-sama merefleksikan apa yang telah terjadi, Bima dan Dara pun dipertemukan kembali pada satu momen penyuluhan parenting dan hubungan pernikahan pada lingkup RT. Melihat Bima terlibat dalam acara tersebut, Dara pun tersadar bahwa Bima juga memiliki keinginan untuk terus belajar menjadi Ayah dan Suami yang baik. Hanya saja, caranya berbeda dengan apa yang dilakukan Dara. 

Konon, pernikahan pertama di dunia ini terjadi pada 2350 SM di Mesopotamia. Pernikahan adalah salah satu tradisi tertua yang pernah manusia punya. Bentuknya telah berubah banyak: siapa yang boleh menikah, apa tujuan pernikahan, siapa yang boleh mengatur tata caranya, bagaimana menjalankannya. Ribuan tahun mungkin mengubah semua itu, tapi yang harusnya tak berubah adalah pengetahuan bahwa tak ada cara yang saklek dalam menjalankan pernikahan.

Dengan cara yang berbeda-beda, Bima dan Dara digambarkan sama-sama berupaya untuk mempertahankan keluarga kecilnya. Meskipun penuh lika-liku, kemauan Bima dan Dara untuk terus tumbuh dan belajar pada tiap prosesnya.


Avatar
About Author

Syifa Maulida

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *