December 5, 2025
History Issues

Mesin Tik: Sahabat Karib Perempuan yang Jadi Simbol Pembebasan 

Mesin ketik membantu merevolusi dunia kerja dan mengubah kehidupan para perempuan pekerja.

  • October 24, 2025
  • 4 min read
  • 560 Views
Mesin Tik: Sahabat Karib Perempuan yang Jadi Simbol Pembebasan 

Di tengah hiruk-pikuk kantor pengiriman di Boston pada 1874, denting mesin tik terdengar nyaring di antara tumpukan berkas dan para lelaki bersetelan jas. Di sanalah Cynthia Pilgrim, perempuan muda yang duduk tegak di balik mejanya, jemarinya menari di atas tuts mesin tik seperti pianis ulung memainkan sonata.  

Cynthia adalah karakter utama dalam film klasik The Shocking Miss Pilgrim (1947). Filmnya terinspirasi dari kisah nyata perempuan juru ketik di kantor pelayaran di Boston. Setelah lulus dari sekolah mengetik di New York, ia menjadi karyawan perempuan pertama di Pritchard Shipping Company. 

Bagi penonton masa kini, adegan Cynthia di depan mesin tik mungkin tampak sederhana. Namun di baliknya, tersimpan makna besar: perempuan mulai hadir di ruang publik, bekerja, dan memiliki pendapatan sendiri. Sebuah perubahan sosial yang perlahan tapi pasti menggeser batas antara “ruang perempuan” dan “ruang laki-laki” di akhir abad ke-19. 

Baca Juga: Ayo Gowes: Sepeda sebagai Instrumen Feminisme 

Dari Revolusi Industri ke Revolusi Sosial 

Revolusi Industri membawa cara baru dalam bekerja di mana semua menuntut lebih cepat, efisien, dan berbasis administrasi. Ketika produksi meningkat dan perdagangan modern mulai tumbuh, dunia bisnis membutuhkan sistem pencatatan dan pengarsipan yang rapi. Mesin tik menjadi jawabannya. 

Namun, yang paling menarik bukan hanya bagaimana alat itu mempercepat pekerjaan, melainkan bagaimana ia mengubah wajah tenaga kerja. Saat kantor-kantor di kota besar mulai mencari juru ketik terampil, muncul kebutuhan akan keterampilan baru: membaca cepat, teliti, dan mampu bekerja berjam-jam dengan ritme konsisten. Sifat-sifat yang—menurut pandangan kala itu—lebih melekat pada perempuan. 

Ashlyn K. Kuersten dari Western Michigan University menulis, sebelum kemunculan mesin tik, ideologi separate spheres masih kuat membatasi perempuan pada ranah domestik. Dunia publik, termasuk pekerjaan bergaji, dianggap wilayah laki-laki. Namun mesin tik pelan-pelan menggoyahkan batas itu. 

Margery W. Davies dalam Women’s Place is at the Typewriter (1982) menggambarkan kantor sebagai “ruang transisi”, tempat perempuan mulai bernegosiasi dengan identitas baru mereka: bukan lagi semata istri dan ibu, melainkan pekerja profesional. Mesin tik memungkinkan mereka memasuki dunia kerja tanpa dianggap melanggar norma sosial karena dianggap pekerjaan yang “rapi” dan “feminin.” 

Perubahan ini cepat sekali terjadi. Menurut penelitian Robert A. Waller (1986), pada 1870 hanya 4,5 persen juru ketik adalah perempuan, tapi tiga dekade kemudian angkanya melonjak menjadi lebih dari 70 persen. Kantor-kantor modern di Amerika Serikat dan Eropa pun dipenuhi denting tuts mesin tik—dan suara perempuan di baliknya. 

Baca Juga: Apa yang Perlu Diketahui tentang Dasar-Dasar Feminisme (1)  

Simbol Kemandirian dan Kebebasan 

Masuknya perempuan ke dunia kerja melalui mesin tik membawa dampak besar terhadap posisi sosial mereka. Untuk pertama kalinya, banyak perempuan memperoleh penghasilan tetap, membuka rekening sendiri, dan membantu ekonomi keluarga. Mereka tak lagi sepenuhnya bergantung pada suami atau orang tua. 

Di banyak kota besar seperti New York dan London, perempuan pekerja kantoran mulai muncul sebagai citra baru: Modern, produktif, dan percaya diri. Mereka naik trem ke kantor, mengenakan gaun sederhana namun rapi, dan membawa diri sebagai bagian dari kelas pekerja profesional yang diakui. 

Mesin tik juga mengubah cara perempuan menulis. Sebelum alat ini populer, banyak penulis perempuan bergantung pada juru tulis laki-laki untuk menyalin naskah. Namun dengan mesin tik, mereka dapat menulis, mengedit, dan menyalin karya mereka sendiri. Dalam Women and the Typewriter: The Writing Machine and the Transformation of Office Work (1998), Jo Stanley menulis bahwa alat ini “membebaskan perempuan dari ketergantungan intelektual.” 

Penulis seperti Edith Wharton, Willa Cather, hingga Virginia Woolf memanfaatkan mesin tik untuk menegaskan suara mereka di dunia sastra. Lewat tuts mesin tik, perempuan menulis kisah mereka sendiri—tentang cinta, perang, tubuh, dan kebebasan—tanpa sensor dari tangan laki-laki. 

Baca Juga: ‘Suffragettes’: Mereka yang Berdarah-darah Cuma demi Hak Pilih

Tidak berlebihan jika kemudian mesin tik menjadi bagian dari simbol “New Woman”—perempuan modern yang mandiri secara ekonomi dan intelektual. Di balik meja kerja atau di kamar sempit tempat menulis, mereka mengetik bukan hanya kata-kata, tetapi masa depan yang baru: masa depan di mana perempuan punya suara dan ruang yang setara. 

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.