People We Love

Mira Kusumarini dan Pentingnya Empati dalam Rehabilitasi Napi Terorisme

Direktur Eksekutif Yayasan Empatiku ini melihat, penanaman empati juga diperlukan dalam program deradikalisasi dan rehabilitasi narapidana terorisme.

Avatar
  • March 19, 2021
  • 5 min read
  • 1473 Views
Mira Kusumarini dan Pentingnya Empati dalam Rehabilitasi Napi Terorisme

Setiap orang memiliki momen menentukan yang memengaruhi pilihan hidupnya. Bagi aktivis perdamaian Mira Kusumarini, salah satu momen itu adalah saat ia mahasiswa dan menjadi pengajar sukarela untuk anak-anak yang tidak mampu secara ekonomi.

Momen paling menentukan lainnya adalah saat Mira menjalani program pertukaran pemuda Indonesia-Kanada 1987 di daerah miskin di Bahorok (Sumatra Utara) dan Atikokan (Kanada).

 

 

“[Di Bahorok] Saya merasakan hidup tanpa air bersih. Kami melakukan banyak kegiatan sukarela di bidang pendidikan, pertanian, pengadaan air bersih, dan pembuatan jalan,” kata Mira dalam wawancara melalui telepon kepada Magdalene.

Selama tinggal di Atikokan, lulusan Sastra Inggris Universitas Padjadjaran ini bekerja sebagai relawan di panti jompo. Dia juga menyadari bahwa kota tersebut menyimpan beragam masalah.

“Di sana juga susah [mendapatkan] air bersih. Setiap minggu, host family saya mengambil air bersih dengan jeriken. Lalu, ada pula masalah employment. Bekas kota mining itu isinya lansia dan anak-anak mudanya keluar dari situ,” tambah perempuan kelahiran Bandung 56 tahun yang lalu itu.

Pengalaman-pengalaman tersebut yang membuatnya memilih untuk mengabdikan hidup bagi orang-orang tidak mampu dan kelompok rentan, bekerja dalam keterlibatan komunitas, advokasi kebijakan dan riset. Ia kemudian turut mendirikan Civil Society Action Against Violent Extremism (C-Save), lembaga masyarakat madani untuk melawan ekstremisme dengan kekerasan.

Saat ini Mira memimpin Yayasan Empatiku yang bergerak dalam bidang pendidian, dan membantu anak-anak dan perempuan yang berafiliasi dengan kelompok teroris Negara Islam dan Suriah (ISIS) dan kemudian dideportasi, untuk berintegrasi secara aman ke dalam masyarakat.

Kontribusi Mira dalam melibatkan organisasi masyarakat sipil dan mengusung dibuatnya SOP rehabilitasi dan reintegrasi returnee dan orang-orang yang dideportasi dari Suriah berbuah N-Peace Award—sebuah penghargaan yang diberikan Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) kepada orang-orang yang berperan besar di bidang perdamaian—pada 2018.

Komitmennya terhadap program-program perdamaian, bisnis, dan pemberdayaan perempuan membuat ia dianggap sebagai promotor pesan-pesan perdamaian.

Baca juga: Perspektif Gender Penting Namun Absen dalam Penanganan Terorisme

Isu Perdamaian dan Resolusi Konflik

Perkenalan Mira dengan isu perdamaian dan resolusi konflik dimulai ketika ia bergabung dengan Care International di Palu, Sulawesi Tengah sebagai management trainee. Di sana, dia menangani isu air bersih dan terekspos dengan upaya-upaya kemanusiaan, keberpihakan kepada orang-orang yang tidak mampu,  dan konflik sumber daya alam.

“Awalnya, kami pikir isu air bersih itu cuma urusan (terkait) air. Padahal, yang utama adalah ngurusin orang. Mereka saling berkonflik terkait sumber daya air dan parang-parangan,” kisah Mira.

Tantangan lainnya datang dari pemerintah Orde Baru yang terus-menerus mengawasi gerak-gerik organisasi masyarakat sipil. 

Gerakan masyarakat akar rumput dipantau terus. Perkembangan NGO dikendalikan [pemerintah] pada saat itu,” tambahnya.

Delapan tahun di Sulawesi Tengah, Mira kemudian mendapatkan beasiswa Chevening dari pemerintah Inggris pada 1998 untuk mengambil program master of science di bidang social development, planning and management di Universitas Swansea.

Sekembalinya ke Indonesia, Mira sempat bergabung sebentar dengan Bank Dunia sebagai peneliti, sebelum bekerja di Catholic Relief Service (CRS) di Yogyakarta. Sebagai koordinator program, dia turut untuk menangani berbagai konflik sosial bernuansa agama  di Jawa Tengah.

“Saya belajar secara riil how to address dan facilitate conflict resolution dengan melakukan mediasi non-keagamaan. Yang kami lakukan adalah mengajak mereka membangun jalan dan melakukan kegiatan sosial sehingga mereka ada venue untuk saling bertemu dan bekerja sama,” tuturnya.

Baca juga: Menerima Perbedaan di Akar Rumput

Kerja Sama dengan Pemerintah Tangani Terorisme

Pada 2017-2019, C-SAVE terlibat dalam pendampingan orang-orang yang kembali secara sukarela dari Suriah (returnee) dan dideportasi sebelum masuk Suriah (deportan).

Ketika mereka dirujuk ke panti rehabilitasi milik Kementerian Sosial, C-SAVE menemukan bahwa tidak ada program rehabilitasi dan reintegrasi. Selain itu, pekerja sosial di sana tak memiliki pengetahuan dalam menangani orang-orang yang terpapar paham radikal terorisme.

Oleh sebab itu, C-SAVE membantu kementerian dan institusi terkait untuk membuat prosedur operasi standar (SOP) rehabilitasi dan reintegrasi returnee dan orang-orang yang dideportasi dari Suriah.

Mira menekankan pentingnya reintegrasi karena rehabilitasi di dalam lapas atau panti tak dapat banyak diharapkan. Ini diakibatkan oleh keterbatasan waktu, sumber daya manusia, dan anggaran. Sementara, mengubah pemikiran dan perilaku seseorang membutuhkan waktu yang panjang.

“Reintegrasi itu adalah the real rehabilitation. Kalau yang di lapas dan panti itu adalah institutional rehabilitation. Sementara reintegrasi adalah community based rehabilitation karena mereka masuk ke dalam dunia nyata, berinteraksi dan berelasi dengan orang, serta menjadi bagian dari masyarakat,” jelasnya.

Baca juga: Pengalaman Saya Berbincang dengan Istri Terduga Teroris

Program rehabilitasi dan reintegrasi tidak lepas juga dari masalah koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

“Pemda enggak tahu sama sekali dan merasa dinomorduakan oleh pemerintah pusat.  Rehabilitasi dan reintegrasi bukan hanya urusan pemerintah pusat karena hal itu menjadi satu kesatuan penanganan. Peran penting Pemda harus ada, yaitu menjadi garda terdepan dalam pencegahan terorisme,” ujar Mira.

Untuk mendorong peran pemda dan masyarakat dalam pencegahan terorisme, Yayasan Empatiku mengembangkan sistem deteksi dini di tingkat akar rumput yang melindungi masyarakat dari ideologi ekstremisme kekerasan.

“Kami piloting program ini di empat kelurahan di Tangerang Selatan. Masyarakat dikuatkan resilience capacity-nya, misalnya dengan mengetahui risiko-risiko terorisme dan mendeteksi tanda-tanda peringatan dini [ideologi ekstremisme kekerasan],” kata Mira. 

Peluang CSO untuk terlibat dalam penyusunan kebijakan pencegahan terorisme semakin besar dengan pengesahan Peraturan Presiden No. 7/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan Yang Mengarah Pada Terorisme (RAN PE) 2020-2024.

“Ketika ada RAN PE, kami mendapatkan momentum baru untuk mengisi kebijakan daerah yang berperspektif gender, melindungi anak, dan memastikan partisipasi masyarakat. Hal ini sedang kami godok bersama Working Group on Women Countering/Preventing violent Extremism (WGWC). Kami diminta membuat panduan menyusun naskah akademiknya dan ada teman lain yang membuat Rancangan Perda,” jelas Mira.

Sebagai orang yang telah berkecimpung selama lebih dari 30 tahun di gerakan masyarakat sipil, masih ada satu hal yang menjadi keinginan Mira, yakni adanya pengakuan dari negara terhadap keterlibatan masyarakat dalam penanganan terorisme .  

“Sebelumnya, isu terorisme hanya dianggap urusannya polisi, penegak hukum, dan security sector. In reality enggak sama sekali. Peran masyarakat itu ‘ada di hulu’,” ujar Mira.

 



#waveforequality


Avatar
About Author

Wulan Kusuma Wardhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *