Remaja perempuan Siti hobi bermain gim di gawainya (mobile games). Salah satu permainan favoritnya menawarkan berbagai pembelian dalam aplikasi (in-app purchase) yang menjanjikan kepuasan lebih dalam bermain. Permainan tersebut juga sering meminta pemain untuk menonton serangkaian iklan online berdurasi 15 hingga 30 detik.
Salah satu iklan yang sering muncul dalam gim favorit Siti adalah iklan aplikasi pinjaman online (pinjol) yang menjanjikan proses mudah dan cepat untuk mendapatkan uang tunai tanpa banyak persyaratan. Setelah terpapar iklan yang sama berulang-ulang, Siti pun tergoda untuk mengklik iklan tersebut dan mengajukan pinjaman.
Kisah Siti di atas hanyalah sebuah ilustrasi. Namun, apa yang dialami Siti sangat mungkin terjadi pada remaja yang bermain mobile games di Indonesia.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), misalnya, menunjukkan bisnis pinjaman online berkembang sangat pesat di Indonesia, dengan kenaikan transaksi tahunan menjadi Rp50,3 triliun per November 2022, atau meningkat sebesar 72,7 persen dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya
Pada saat yang sama, berdasarkan laporan spesialis media sosial We Are Social, Indonesia merupakan negara dengan jumlah pemain video game terbanyak ketiga di dunia. Data lain dari lembaga riset pemasaran Decision Lab menunjukkan pada 2018, seperempat dari pemain gim online di Indonesia berusia 16-24 tahun.
Remaja merupakan kelompok rentan yang, karena pengendalian diri mereka yang kurang, bisa terjerat pinjol tanpa kemampuan finansial yang cukup untuk membayar utangnya.
Baca juga: Pakai Jasa ‘Financial Planner’, Perlukah?
Model Bisnis Iklan pada Mobile Games
Umumnya, model bisnis mobile games mengusung konsep “free-to-play”. Di atas kertas, ini berarti pengguna dapat mengunduh permainan secara gratis. Namun, penerbit gim berusaha mendapatkan penghasilan dengan cara lain seperti menjual pembelian dalam aplikasi dan menayangkan iklan.
Sebelumnya, saya sempat menulis bagaimana penerbit mobile games yang melakukan monetisasi agresif berpotensi memicu pembelian impulsif oleh pengguna.
Salah satu bentuk monetisasi agresif yang sering dilakukan oleh penerbit gim adalah dengan memaparkan pemain terhadap iklan online secara berulang-ulang. Semakin agresif monetisasinya, semakin sering pengguna akan melihat iklan mobile games. Pemain harus menunggu setidaknya 15-30 detik terlebih dahulu untuk bisa melewatkan iklan tersebut. Beberapa mobile games memiliki opsi pembayaran untuk menghilangkan paparan iklan tersebut.
Produk yang paling banyak diiklankan pada mobile games adalah aplikasi mobile lain. Selain itu, kita juga sering menjumpai iklan aplikasi belanja online dan aplikasi pinjaman online.
Baca juga: 5 Langkah Perencanaan Keuangan di Usia 20-30 Tahun
Pinjol Beriklan pada Mobile Games Menyasar Konsumen Rentan
Dengan omset triliunan rupiah per tahun, Indonesia termasuk pasar yang cukup besar bagi pengembang mobile games yang agresif ini. Pada 2022 saja, konsumen Indonesia menghabiskan Rp5,4 triliun hanya pada sektor mobile game saja
Monetisasi agresif penerbit dan paparan iklan pinjol berpotensi menimbulkan sinergi dampak negatif yang menimbulkan perilaku berutang melalui pinjol untuk membiayai pembelian impulsif dalam mobile games.
Kebanyakan pengguna mobile games, misalnya, adalah remaja dan anak-anak yang umumnya tidak memiliki literasi keuangan yang mapan, dengan kemampuan pengendalian diri (self-control) yang masih berkembang.
Penelitian saya dan Frank Alpert, profesor emeritus bidang pemasaran dari The University of Queensland Business School, Australia, mengidentifikasi pengendalian diri sebagai faktor pembeda yang berperan signifikan dalam menekan perilaku impulsif individu dalam bermain mobile games.
Tak ayal, Asosiasi Fintech Pembelajaan Bersama Indonesia (AFPBI) mencatat, 60 persen pengguna pinjol adalah mereka yang berusia 19-34 tahun. Rentannya kelompok usia ini juga terlihat dari bagaimana mereka, menurut data OJK, menyumbang 65 persen dari total dana macet pinjol.
Selain pemain muda, iklan pinjol juga seringkali menyasar konsumen rentan yang memerlukan uang dengan cepat.
Mereka termasuk orang yang tidak memiliki akses ke layanan keuangan tradisional seperti perbankan konvensional, dan mereka yang segera memerlukan uang tunai karena situasi finansial darurat.
Akibatnya, paparan iklan pinjol dalam mobile games berpotensi memicu ketergantungan dan dapat menimbulkan masalah keuangan jangka panjang bagi konsumen, seperti perilaku “gali lubang, tutup lubang” untuk melunasi utang lama.
Tipu Daya Narasi Iklan Pinjol
Pinjol seringkali menimbulkan permasalahan sosial, terutama ketika pinjaman diberikan kepada pihak yang rentan dan memiliki pemahaman yang kurang terhadap produk keuangan.
Di sini, iklan pinjol seringkali mengusung narasi yang berbahaya. Mereka mengangkat kemudahan meminjam uang melalui pinjol tanpa menjelaskan risikonya.
Narasi iklan pinjol yang seringkali ditampilkan dalam mobile games dan media sosial adalah janji pemberian pinjaman uang dalam waktu singkat dengan mudah dan tanpa persyaratan yang rumit. Narasi-narasi seperti ini dapat memicu ketergantungan pada pinjaman online dan mengabaikan risiko serta konsekuensi jangka panjang dari jenis pendanaan ini.
Narasi iklan pinjol juga seringkali menyesatkan dan tidak transparan, sehingga dapat merugikan konsumen. Banyak iklan yang menawarkan bunga rendah dan cicilan yang panjang, tetapi sebenarnya terdapat biaya-biaya tambahan yang tidak tertera dalam iklan.
Rendahnya literasi keuangan masyarakat Indonesia juga turut menjadi penyebab masyarakat mudah tertipu oleh narasi iklan yang predatoris ini. Konsumen mudah terbujuk dengan janji-janji kemudahan jangka pendek, tanpa memerhatikan biaya yang harus ditanggung di kemudian hari.
Baca juga: Pro Player Perempuan: Selain Jago, Harus Cantik
Mencegah Jeratan Pinjol
Meski OJK telah mengatur dan mengawasi konten iklan pinjol, belum ada regulasi dan pengawasan ketat terhadap iklan mobile games. Ini membuatnya rentan dieksploitasi oleh pengiklan produk untuk menyasar konsumen rentan seperti anak-anak dan remaja.
Meskipun iklan pinjol ini mengusung label “terdaftar dan diawasi oleh OJK”, konsumen tetap harus hati-hati terhadap iklan yang mereka temui. Sebab, pinjol ilegal masih menjamur dan hanya ada 102 pinjol yang resmi terdaftar di OJK.
Paparan iklan pinjol pada mobile games mungkin tidak melanggar hukum, akan tetapi berpotensi memicu perilaku keuangan yang tidak bertanggung jawab dan meresahkan masyarakat ketika sasaran iklannya adalah para anak muda rentan.
Tentu saja kita tidak menginginkan kisah Siti di awal tulisan ini terjadi pada remaja dan anak-anak Indonesia.
Karena itu, perlu adanya peraturan yang lebih ketat dari regulator dan pengembang gim untuk memastikan bahwa narasi iklan pinjol tidak menyesatkan dan tidak merugikan konsumen.
Konsumen juga harus lebih cerdas dalam memilih dan menggunakan pinjaman online. Selalu pastikan bahwa konsekuensi jangka panjang telah kita pertimbangkan sebelum memutuskan untuk mengambil pinjaman online, dan gunakan pinjamannya dengan bijak untuk menghindari jebakan hutang online yang berbahaya.
Imam Salehudin, Assistant professor, Universitas Indonesia.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.