December 5, 2025
Issues

Nasib Pekerja Komuter: Gaji Tipis, Biaya Transpor Bikin Tiris

Meski ada subsidi transportasi publik, para pekerja komuter tetap menjerit akibat ketiadaan angkutan penghubung yang andal dan mahalnya biaya hidup.

  • August 22, 2025
  • 4 min read
  • 1506 Views
Nasib Pekerja Komuter: Gaji Tipis, Biaya Transpor Bikin Tiris

Tempat kerja “Ratih” berada di kawasan Malioboro, Yogyakarta, sekitar 7 kilometer dari tempat kosnya di Jalan Gejayan, Sleman. Tarif bus Trans Jogja memang murah, hanya Rp2.700 sekali jalan. Tapi saat pulang dari shift malam, perempuan 26 tahun yang bekerja sebagai kasir ini terpaksa naik ojek daring yang jauh lebih mahal.

“Kalau masuk pagi, ongkos PP cuma Rp5.400. Tapi kalau masuk sore, pulang bisa Rp17.000. Sebulan bisa habis Rp400 ribu,” ujarnya.

Masalahnya, gaji bulanannya hanya Rp1,5 juta, bahkan tak menyentuh upah minimum kota, yakni Rp2.655.041,81.

Kisah serupa juga dialami “A”, seorang pekerja LSM berusia 25 tahun di Jakarta. Ia menghabiskan sekitar Rp50 ribu per hari, atau sekitar 35 persen dari gaji yang bahkan belum menyentuh UMP Jakarta (Rp5,4 juta). Tarif KRL memang terjangkau, hanya Rp3.000 sekali jalan, tapi harus menyambung dengan ojek daring pulang pergi akibat tak ada angkutan umum yang andal.

“Waktu ngetem angkot lama banget. Rutenya juga rawan copet,” katanya.

Baca juga: Anak Disabilitas Butuh Ruang, Bukan Belas Kasihan

Transportasi publik yang terjangkau seharusnya jadi hak semua warga, tapi realitasnya berkata lain. Data Survei Biaya Hidup (SBH) 2018 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, rata-rata pengeluaran transportasi rumah tangga di kota-kota besar mencapai 12,46 persen dari total biaya hidup. Padahal menurut Bank Dunia, idealnya biaya transportasi tak melebihi 10 persen dari pendapatan.

Yayan, staf keuangan di Jakarta Timur, bahkan menghabiskan 34 persen gajinya hanya untuk transportasi. Ia perlu Rp500 ribu per bulan untuk parkir, KRL, dan angkot dari Stasiun Klender ke kantor. Tapi biaya tersembunyi lainnya—seperti bensin, cicilan motor, dan servis—membengkak hingga Rp 1,2 juta. Ia membeli motor karena tak ada angkutan yang memadai dari rumahnya di Kabupaten Bogor ke Stasiun Pondok Rajeg.

“Dari rumah ke jalan raya harus jalan dulu, enggak ada angkot langsung. Kereta juga datangnya sejam sekali, sementara angkot tidak bisa diandalkan,” katanya.

Yayan terpaksa membeli motor karena tidak ada moda yang frekuensinya memadai. Namun konsekuensinya, ia tidak bisa menabung. Pilihan untuk berpindah kerja tidak mudah. Dengan latar belakang pendidikan SMA, Yayan merasa tak punya banyak opsi.

“Jelas, susah nabung. Tapi karena keterbatasan pendidikan, saya harus bertahan,” kata pria 35 tahun ini.

Ratih juga mengalami hal yang sama. Dengan sisa gaji bulanan sekitar Rp120.000–130.000 setelah dipotong biaya transportasi dan kebutuhan pokok, menabung jadi sekadar angan.

“Apa yang mau ditabung?” katanya sambil tersenyum pahit.

Beban finansial ini berdampak pula ke sisi psikologis. A mengaku makin tertekan karena tak bisa menabung dan harus bolak-balik menempuh perjalanan panjang setiap hari.

“Rumahku jauh. Lama di jalan bikin capek, depressed, dan semangat kerja menurun,” katanya.

Baca juga: #MerdekainThisEconomy: Mahasiswa Kelas Menengah Terimpit Privilese dan Beban Finansial

Butuh sistem terintegrasi, bukan sekadar tambal sulam

Masalah tak berhenti di tarif dan ketersediaan angkutan utama, tetapi sistem transportasi yang tidak terintegrasi. Hambatan besar muncul di “first mile” dan “last mile”—tidak adanya transportasi penghubung yang nyaman dan aman dari rumah ke stasiun atau halte, dan sebaliknya.

Menurut Mizandaru Wicaksono, Urban Mobility Manager di Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia, operator angkutan publik perlu memperhatikan frekuensi kendaraan, ukuran armada, dan jumlah penumpang. Pemilihan jenis kendaraan harus menyesuaikan kondisi jalan dan permintaan penumpang.

“Enggak mungkin bus besar lewat gang kecil. Tapi kalau permintaan tinggi, bisa pakai bus kecil dengan frekuensi 2 menit sekali, atau bus besar dengan interval 10–15 menit,” jelasnya.

Mizandaru juga menambahkan bahwa pengguna transportasi umum sejatinya adalah pejalan kaki, sehingga aspek lainnya yang perlu diperhatikan dari layanan last mile adalah fasilitas pendukung seperti trotoar.

“Trotoarnya harus rata, tidak naik-turun, dan cukup lebar. Supaya pengguna kursi roda pun bisa lewat,” tambahnya.

Di sisi lain, perencanaan transportasi tidak bisa dilepaskan dari isu tempat tinggal. Perencanaan transportasi dan hunian harus berjalan beriringan, terutama melalui pendekatan transit oriented development (TOD), atau pembangunan kawasan hunian, kantor, dan pusat komersial yang terintegrasi dengan transportasi publik.

Baca juga: Hidup Gen Z dan Milenial: “Cukup Saja Sudah Mewah, Dua-Tiga Pekerjaan Enggak Cukup”

Namun, Mizandaru mengingatkan, TOD tanpa regulasi sosial hanya akan menguntungkan kelompok menengah ke atas. “Dekat Stasiun Sudirman, misalnya, tarif kost bisa Rp3–4 juta per bulan. Jelas tidak terjangkau bagi mayoritas pekerja. Harus ada kuota hunian terjangkau yang dijamin di kawasan TOD,” tegasnya.

Jika tidak, alih-alih mendekatkan masyarakat ke pusat aktivitas, TOD justru menjadi katalis peminggiran pekerja berpenghasilan rendah. Mereka dipaksa tinggal semakin jauh dari kantor dan mengeluarkan ongkos lebih besar setiap harinya.

About Author

Wulan Kusuma Wardhani

Wulan Kusuma Wardhani adalah jurnalis lepas yang berbasis di Jakarta. Ia berminat pada berbagai isu, tetapi fokus menulis mengenai HAM dan Gender.