Negara Harus Segera Meratifikasi Konvensi ILO 190: Lindungi Pekerja!
Sudah 49 Negara meratifikasi Konvensi ILO 190 untuk melindungi pekerja dari kekerasan dan pelecehan. Indonesia kapan?

Masih tingginya kekerasan dan pelecehan di dunia kerja jadi lonceng darurat. Sumiyati, Ketua DPP Serikat Pekerja Nasional (SPN), mengatakan penting untuk negara segera meratifikasi Konvensi ILO 190. Alasanya, kondisi pekerja yang mendapatkan kekerasan terus-menerus dan berulang. Di samping ratifikasi Konvensi ILO 190 urgen hadir karena bukan hanya berisi perlindungan untuk pekerja dari kekerasan seksual saja, tapi mencakup tindakan kekerasan ekonomi, psikis, fisik.
“Kita bicara soal HAM contoh dalam hidup bermartabat adalah hak asasi manusia. Setiap pekerja, ketika kondisi kita tidak layak maka itu bisa dikatakan bagian dari pelecehan seperti upah tidak layak,” ujarnya.
Hal itu dirangkum dalam sarasehan TURC bersama serikat pekerja, buruh, dan elemen lain. Dalam tema “ Urgensi Ratifikasi KILO 190 untuk Mewujudkan Lingkungan Kerja Aman dan Bebas dari Kekerasan serta Pelecehan” di Jakarta Selatan, 11/3.
Sepakat dengan Sumiyati, Ajeng, Sekretaris Perempuan Mahardhika mengatakan Konvensi ILO penting diratifikasi demi mempersatukan gerakan buruh. Sebab konvensi ini dapat melindungi buruh di semua sektor. Ia melihat salah satu hambatan tidak disahkannya konvensi ini karena tidak sejalan dengan aturan pemerintah, yang sebetulnya juga ditentang rakyat, seperti UU Ketenagakerjaan dan UU Ciptaker.
“Semuanya bertolak belakang dengan Konvensi ILO 190,” katanya.
Baca Juga : Cerita NewJeans Jadi Simbol Perlawanan Hak Idol Sebagai Pekerja
Kekerasan Masih Marak
Kekerasan yang terjadi pada perempuan di pabrik dan lintas sektor masih marak terjadi. Seperti di industri tekstil, garmen, alas kaki, dan kulit di Indonesia. Teranyar, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan Catatan Tahunan (CATAHU) 2024, yang mencatat kasus Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan mencapai 330.097. Naik 14,17 persen dari 2023 sebanyak 289.111 kasus.
Catatan Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) pada 2018, menemukan masih ada lima bentuk kekerasan yang paling sering dialami perempuan buruh. Bentuk kekerasan yang dilakukan oleh atasan itu berupa: Kekerasan kerja, pelemparan sampel sepatu, overload kerja, pelecehan, dan lain-lain.
“Pelakunya orang yang sama, dan bentuk kekerasannya bisa berbeda. kemudian ada satu kasus, satu buruh mendapatkan kekerasan dari atasannya, dilempar oleh sampel sepatu. Itu dilempar kepada buruh perempuan. Untungnya itu terkena orang lain kena punggungnya, jika kena wajah pasti akan memar dan luka dalam karena sangat keras,” ujar Emelia Yanti Sekretaris Jenderal DPP GSBI.
Diskriminasi juga dialami di sektor laut. Nadia, Sekretaris Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) mengatakan ada regulasi yang menghambat para pelaut untuk bekerja ke luar negeri. Regulasi tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 29 Tahun 2013 tentang penyelenggaraan pelayanan pemeriksaan kesehatan calon tenaga kerja indonesia. Dalam aturan itu calon pekerja wajib Medical Check Up yang berlaku dua tahun, dan wajib periksa kembali setelah dua tahun.
Baca Juga : Nasib Perempuan Pekerja: Batas Umur di Loker Lebih Merugikan Perempuan?
Menurut Nadia, aturan itu menghambat dan mendiskriminasi orang dengan HIV (ODHIV) dan kesehatan mental. Banyak ODHIV yang tidak bisa kerja pas Medical Check Up kembali di indonesia.
“Ketika dia kena HIV tidak bisa bekerja lagi. Pernah ada yang melapor, tapi belum ada tindak lanjut, secara ekonomi mereka dirugikan. Jadi korban-korban ini ada di usia produktif,” ungkapnya.
Kepada Magdalene Nadia mengatakan Permenkes 29 Tahun 2013 perlu diperbaharui dengan kondisi situasi sekarang. Karena aturan ini pelaut banyak yang tidak berangkat dan saat jeda kerja ke Indonesia. Anggota KPI berjumlah dua belas ribu orang pelaut, ditaksir ada ratusan di antaranya ODHIV.
ODHIV rentan terkena diskriminasi seperti dijauhi oleh keluarga, tetangga, hal ini juga berdampak pada kesehatan mental mereka.
Baca Juga : Film ‘Upstream’ Kupas Realitas Pahit Pekerja ‘Gig Economy’
“Kami sudah beberapa kali audiensi dengan Kemenkes, kami sedang memperjuangkan untuk rakyat indonesia, tapi pemerintah sendiri yang menghalangi. Untuk mengubah permenkes perlu bertahun-tahun, ada berapa korban lagi yang harus jatuh karena Permenkes. Jadi saya rasa sudah tidak relevan karena ini di tahun 2013 sekarang 2025,” katanya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
