MANdatory: Ini Alasan Kenapa Cowok Harus Terlibat
Bukan cuma urusan perempuan, kesetaraan gender itu adalah tanggung jawab semua orang, termasuk lelaki.

*Peringatan Pemicu: Kasus bunuh diri.
Richard, 29, baru saja meninggalkan Jakarta menuju Kaledonia Baru di akhir 2024. Keputusan ini ia ambil setelah sang istri mendapatkan pekerjaan tetap di negara tersebut. Meskipun harus mencari pekerjaan baru di luar negeri, Richard tetap mendukung keputusan sang istri. Baginya, keberangkatan ini adalah bentuk komitmen untuk mendampingi istrinya yang tengah meraih kesempatan karier lebih besar.
“Kalau memang pekerjaan istri gue lebih besar secara opportunity-nya, gue rasa itu justru patut didukung, bukan malah merasa minder. Di sini pun gue tetap berkegiatan. Toh semua ini untuk kebaikan keluarga juga,” ujar Richard kepada Magdalene.
Richard melanjutkan, kontribusinya dalam mendukung istri juga merupakan langkah untuk mewujudkan kesetaraan di rumah. “Kalau sudah nikah, ini bukan lagi soal gue atau dia, tapi ini kita. Kalau sementara kontribusi istri lebih banyak dari suami, ya enggak apa-apa. Sebagai suami, kita bisa kontribusi dari aspek lain dulu,” tambahnya.
Senada, Kevin, 34 berpendapat, seharusnya tidak ada pembatasan bagi perempuan untuk berkembang, apalagi bila perkembangan tersebut dapat menguntungkan keluarga. Jika peran domestik jadi tantangan, Kevin percaya bahwa laki-laki juga harus berkontribusi.
“Itu kan rumah bareng-bareng. Kalau semisal kita (laki-laki) sedang kosong dan memang diperlukan untuk cuci baju gitu, ya langsung dicuci aja. Saling bantu,” jelas Kevin.
Pernyataan Richard dan Kevin mencerminkan ide penting bahwa kesetaraan gender bukan hanya masalah perempuan, tetapi juga relevan bagi laki-laki. Riset berjudul “MANdatory: Why Men Need (and Are Needed for) Gender Equality Progress?” (2023) menunjukkan, keterlibatan laki-laki dalam kesetaraan gender dapat bermanfaat buat semua pihak. Tak cuma memengaruhi kehidupan keluarga, tetapi juga mampu mendatangkan dampak positif bagi karier lelaki.
Baca juga: Ketika Bapak Rumah Tangga Bicara Stigma hingga Omongan Tetangga
Kenapa Lelaki Perlu Jadi Sekutu?
Kami berbincang dengan Wawan Suwandi, Koordinator Nasional Aliansi Laki-Laki Baru (ALB), yang sependapat dengan Richard dan Kevin. Pria yang akrab disapa Jundi itu bilang, kesetaraan gender adalah isu kemanusiaan. Karena itu diperlukan kontribusi dari semua pihak, termasuk laki-laki.
“Laki-laki itu juga manusia, yang semestinya terlibat dalam upaya melawan ketidakadilan gender,” jelas Jundi.
Salah satu alasan mengapa laki-laki harus terlibat karena kesetaraan gender berpotensi menghapuskan konstruksi maskulinitas beracun. Menurutnya, peran gender tradisional yang membebani laki-laki sebagai pencari nafkah utama misalnya, justru menghalangi mereka untuk membangun ikatan lebih dalam dengan anak-anak. Dengan kesetaraan gender, laki-laki memiliki kesempatan yang lebih besar untuk terlibat dalam pengasuhan anak.
“Kalau keadilan gender terwujud dan berbagi peran menjadi norma, laki-laki juga bisa punya waktu lebih untuk bersama anak dan keluarga. Ini penting untuk menciptakan lingkungan keluarga yang sehat,” imbuhnya.
Sebagai bukti, survei yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI) pada 2015 menunjukkan, peran pengasuhan oleh ayah di Indonesia masih sangat rendah, hanya 27,9 persen. Hal ini menggambarkan, budaya patriarki yang menempatkan ayah sebagai “ATM Berjalan” masih sangat dominan.
Baca juga: Kerja Domestik adalah Keterampilan Dasar, Jangan Biarkan Ibu Lakukan Sendiri
Kesehatan Mental Laki-laki dan Pentingnya Kesetaraan Gender
Masalah lain yang dapat diatasi melalui kesetaraan gender adalah gangguan kesehatan mental di kalangan laki-laki. Maskulinitas beracun sering kali membebani laki-laki untuk menahan emosi dan perasaan. Ini dapat berujung pada perilaku yang merusak diri sendiri, seperti kecanduan alkohol atau merokok.
Jundi berpendapat, “Sebagian laki-laki yang memiliki masalah emosional yang tak terungkapkan, sering kali melampiaskannya dengan hal-hal negatif seperti merokok, minum alkohol, atau bahkan tindakan yang lebih buruk.”
Data dari Estimasi Kesehatan Global WHO (2021) menunjukkan, hampir 80 persen dari kasus bunuh diri di Indonesia melibatkan laki-laki. Selain itu, menurut survei Data Mikro Sakernas Agustus 2022 yang diolah oleh Tim Harian Kompas, 58 persen pekerja laki-laki mengalami gangguan kesehatan mental, yang menunjukkan masalah ini sangat dominan pada laki-laki.
Senada, menurut riset yang dipublikasikan oleh Irawan dan Wijaya (2022) dalam Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental, laki-laki yang terjebak dalam peran tradisional yang maskulin, cenderung menghindari bantuan psikologis dan kerap menekan perasaan mereka. Penelitian ini menegaskan, budaya yang menuntut laki-laki untuk selalu kuat, mandiri, dan tidak menunjukkan kelemahan berkontribusi pada tingginya tingkat stres dan gangguan mental di kalangan mereka.
Baca juga: 4 Cara Kapitalisme Diuntungkan oleh Kerja Domestik Perempuan
Apa yang Bisa Dilakukan Laki-laki?
Seperti apa yang dilakukan oleh Richard dan Kevin, Jundi mengatakan perwujudan kesetaraan bisa dimulai dari rumah. Mulanya, laki-laki bisa mencegah ketidakadilan terjadi pada orang terdekat. Berangkat dari hal ini, praktek keadilan gender pun diharapkan bisa berimplikasi juga dalam konteks masyarakat yang lebih luas.
“Pencegahan kekerasan berbasis gender dapat dimulai dari rumah, misal, menjadi Ayah yang berbagi peran domestik dan terlibat dalam pengasuhan, serta mempraktekkan relasi sehat dalam membangun keluarga. Bila setiap keluarga mempraktekan relasi sehat yang diantaranya mempraktekkan keadilan gender, maka nilai-nilai yang ada di masyarakat juga akan menghargai keadilan dan kesetaraan gender,” terang Jundi.
Di konteks lain seperti perusahaan, Jundi menambahkan bahwa laki-laki juga bisa mulai untuk tidak menormalisasi hal-hal yang seksis dan merendahkan perempuan. Kesadaran laki-laki untuk menganggap perempuan sebagai mitra yang setara penting untuk pelan-pelan menumpas persoalan ketidakadilan gender di lingkungan kantor.
“Di lingkungan kantor, laki-laki biasanya akan berani untuk tidak merendahkan mengabaikan pendapat atau isu lain, mansplaining, termasuk mungkin melakukan diskriminasi karena statusnya sebagai laki-laki yang merasa punya privilege lebih tinggi dibanding perempuan,” imbuh Jundi.
Merujuk pada hal tersebut, kebijakan kantor yang ramah gender juga jadi salah satu faktor pendukung lain dalam perwujudan kesetaraan. Seperti yang dilakukan OCBC, misalnya. Dalam kampanye #BaiknyaBarengBareng, OCBC mengajak seluruh kelompok gender, terutama laki-laki untuk bahu-membahu mewujudkan kesetaraan peluang di setiap aspek kehidupan, termasuk di tempat kerja. Hal ini mengacu pada penerapan sistem evaluasi berbasis prestasi (meritokrasi) di lingkup profesional. Dari sini, baik perempuan maupun laki-laki dapat merasakan kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi diri.
Pada dasarnya upaya-upaya ini dilakukan agar terjadi pendefinisian ulang pada konstruksi maskulinitas. Menurut Jundi, hal ini fundamental lantaran dari sinilah laki-laki bisa dibentuk menjadi individu yang berkeadilan. Tidak ada satu pun kelompok gender yang lebih superior dari kelompok lainnya. Bukan karena dia berjenis kelamin perempuan, maka dia boleh dipinggirkan, dan begitupun sebaliknya.
“Yang perlu dilakukan adalah mendefinisi ulang konsep maskulinitas bahwa manusia diciptakan itu sebagai sosok yang sama. Setiap orang tanpa terkecuali, perempuan, laki-laki, dan identitas gender lainnya dari berbagai status sosial suku dan bangsa, berhak mendapatkan perlakuan yang adil dan setara,” pungkasnya.
Tentang Program #BaiknyaBarengBareng
#BaiknyaBarengBareng adalah inisiatif dari OCBC yang bertujuan untuk menumbuhkan kepercayaan bahwa kesetaraan membuka peluang bagi semua individu, terlepas dari gender, usia, dan latar belakang. Melalui kampanye ini, OCBC ingin menunjukkan bahwa meritokrasi bukan hanya baik bagi individu, tetapi juga berdampak positif bagi keluarga, bisnis, dan masyarakat secara luas.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
