People We Love

Nicholas Saputra Soal Pencerahan Lewat Alam dan ‘Selfie’

Nicholas Saputra bicara soal kecintaannya terhadap film dan alam, serta keengganannya mengunggah ‘selfie’.

Avatar
  • January 16, 2020
  • 7 min read
  • 1462 Views
Nicholas Saputra Soal Pencerahan Lewat Alam dan ‘Selfie’

Delapan belas tahun telah berlalu sejak film pertamanya, Ada Apa dengan Cinta? (AADC), diluncurkan dan aktor Nicholas Saputra masih tetap populer. Ia bukan lagi siswa SMA berambut ikal yang cool dan doyan puisi seperti sosoknya sebagai Rangga, tapi sudah menjadi aktor papan atas yang menjadi idola lintas generasi (bahkan gender).

Popularitasnya tak lekang dimakan waktu karena, selain awet ganteng dan karismatik, ia juga bisa mempertahankan a sense of mystery. Nicholas, yang akrab dipanggil Nico, tidak banyak mengambil proyek film sehingga penonton tidak cepat bosan. Di era media sosial seperti sekarang, di mana setiap tokoh publik memanfaatkannya untuk branding dan ajang pencitraan, aktor berusia 36 tahun itu tidak pernah mengumbar kehidupan pribadi, bahkan potret diri.

 

 

Sekali-kalinya ia mengunggah swafoto di akun Instagramnya adalah saat Pemilihan Umum 2019, menunjukkan jarinya yang bercap ungu, tanda telah memilih.

“Saya juga sebenarnya cukup rikuh memilih foto sendiri untuk dipajang. Rasanya aneh. Yang mana (foto) yang lebih bagus, enggak tahu,” ujarnya sambil tertawa kecil.

“Enggak tahu, aneh aja rasanya. Tapi kalau milih mengambil foto yang bagus, saya tahu. I post what I know, lah,” katanya kepada Magdalene dalam wawancara di kantornya, di bilangan Jakarta Selatan, 10 Januari lalu.

Hari-hari ini, Nico sedang sibuk mempromosikan Semesta, film dokumenter produksi Tanakhir Films yang ia dirikan bersama produser Mandy Marahimin. Sejak 2013, Tanakhir telah menggarap beragam konten, mulai dari iklan, video musik, sampai film fiksi panjang, seperti Cinta dari Wamena (2013) dan Ada Apa dengan Cinta 2 (2016). Selain itu, ada juga film dokumenter pendek A Man with 12 Wives (2017) yang telah ditayangkan stasiun televisi NHK Jepang, Save the Forest Giants (2016), dan Perempuan Tana Humba (2019).

Semesta, yang merupakan produksi film dokumenter panjang pertama Tanakhir, menyatukan dua passion Nico: film dan lingkungan hidup. Akan ditayangkan di bioskop mulai 30 Januari, dokumenter ini mengisahkan inisiatif-inisiatif tokoh dan komunitas agama dalam melestarikan alam Indonesia.

Kepedulian dan kecintaan Nico terhadap alam telah ia miliki sejak kanak-kanak, dipengaruhi oleh kakeknya yang senang bercocok tanam dan memelihara binatang.

“Waktu kecil saya setengah dipaksa nonton (acara TV) Flora dan Fauna sama kakek saya. Ketika kuliah, punya kesempatan untuk traveling, saya senang melihat binatang hidup di alam liar, melihat landscape, merasakan apa yang dirasakan ketika  di tengah alam, dan lain-lain,” ujar Nico, yang lulusan Arsitektur Universitas Indonesia.

“Di saat yang bersamaan, secara natural saya melihat adanya keindahan, tapi juga adanya ancaman, karena keindahan ini juga sangat fragile ternyata kalau enggak dijaga,” katanya.

Setelah bencana tsunami menimpa Aceh pada Desember 2004, salah satu lembaga swadaya masyarakat mengajak Nico untuk turut serta dalam kegiatan aktivisme lingkungan. Pengalaman itu membuatnya semakin memahami betapa seriusnya masalah-masalah lingkungan dan betapa banyaknya pihak yang terlibat di dalamnya.

Baca juga: Dokumenter ‘Semesta’ Tampilkan Sisi Lain Agama yang Merawat Alam Indonesia

“Tapi saya enggak pernah mau dibilang atau diklaim sebagai ambassador dari salah satu NGO atau kelompok tertentu, tapi sebagai volunteer-lah. Saya bantu apa yang bisa bantu,” kata Nico.

Keprihatinan utama Nico pada masalah lingkungan hidup terletak pada minimnya kepedulian masyarakat untuk memberikan tekanan kepada pembuat kebijakan untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang pro-lingkungan hidup. Padahal Indonesia memiliki serangkaian masalah lingkungan yang perlu sesegera mungkin diselesaikan, seperti deforestasi, kebakaran hutan, eksploitasi lahan, hingga kebiasaan-kebiasaan membuang sampah yang buruk, ujarnya.

 “Yang utamanya adalah mismanagement penggunaan lahan. Akhirnya (penyelesaiannya) regulasi lagi. Tapi, karena pressure dari masyarakat kurang, jadi kita kurang punya banyak regulasi yang mendukung itu,” tambahnya.

Perjalanan mencerahkan

Nico sudah mengunjungi banyak tempat di Indonesia dan dunia, menyusuri tempat-tempat tak terjamah dan destinasi yang tidak pasaran. Sekarang, mengunjungi tempat-tempat seperti itu terbilang sulit dilakukan dengan bebas. Nico mengenang bagaimana ia menjelajahi Aceh sampai Nusa Tenggara Timur tanpa ada yang memedulikan siapa dirinya.

“Waktu saya ke Aceh sebelum tsunami, enaknya, mereka (orang-orang Aceh dulu) enggak begitu mengenal saya. Saya masuk ke kampung-kampung dan tinggal bersama warga. Di saat yang bersamaan alam Aceh sangat terjaga,” kata Nico.

“Di Pulau Komodo tahun 2006, saya celingak-celinguk. Enggak ada orang di sana. Saya inget banget bulan itu saya satu-satunya turis lokal yang masuk ke (Pulau) Komodo,” tambahnya.

Bepergian dari satu tempat ke tempat lain memberikan pengalaman emosional bagi Nico.

“Arsitektur Itu kan ilmu yang mempelajari sedikit akan banyak hal. Ketika traveling, saya juga belajar sedikit akan banyak hal. Nyambung gitu ide-ide tentang sosiologi, tentang antropologi, tentang arsitektur, lingkungan, dan lain-lain, itu menjadi satu kesatuan. Jadi ini semacam journey yang sangat enlightening  buat saya,” katanya.

Kecintaan pada alam mendorong Nico mendirikan penginapan Terrario Tangkahan di daerah ekowisata Tangkahan, Sumatra Utara. Banyaknya orang-orang kota yang mengurungkan keinginan mereka untuk menikmati alam karena kualitas penginapan yang buruk mendorongnya untuk mendirikan tempat ini.

“Tempat ini sangat berdekatan dengan taman nasional, yang artinya sangat dijaga. Kita kalau masuk ke situ bisa lihat langsung hutan yang dijaga. Dan itu jarang sekali ya di Indonesia,” ujarnya.

“Awalnya saya bikin buat sendiri, tapi banyak yang mau melihat alam, dan saya rasa orang kota juga harusnya punya kepedulian. Jadi saya tambahin lagi kamar, supaya orang bisa datang, menikmati alam, tapi dengan tempat tinggal yang nyaman.”

Baca juga: Nicholas Saputra Duta Nasional UNICEF Indonesia yang Baru

Tak mau pensiun dari film

Karya fotografi hasil perjalanan Nico memenuhi akun instagramnya sebagai album foto digital.

“Kadang saya pingin ngeliat (foto-foto) lagi untuk merasakan memorinya. Jadi kalau melihat satu gambar, saya bisa punya gambaran yang luas tentang perasaan waktu saya mengunjungi tempat itu,” ujar Nico.

Ia tidak merasa ada kewajiban untuk menaruh foto dirinya dan tidak merasa menghambat komunikasi dengan penggemar karenanya.

“Saya menghargai orang-orang yang udah mem-follow saya tidak karena ada muka saya di situ. Menurut saya sih komunikasi terbaik antara aktor dan penontonnya adalah melalui film. That’s the best output. We give the best of our knowledge, our effort, our talent,” ujarnya.

Meski telah merambah dunia bisnis dan juga aktivisme, terakhir dengan menjadi Duta Nasional UNICEF, Nico merasa film adalah profesi dan kecintaannya yang utama. Ia mengingat bagaimana di hari pertama pengambilan gambar AADC, Nico remaja yang masih SMA pulang ke rumah dengan keyakinan bahwa menjadi berkecimpung dalam film adalah hal yang ia lakukan seumur hidupnya.

Ia menekankan bahwa dirinya adalah seorang aktor, bukan selebritas. Kegiatan lain di alam dan bepergian merupakan caranya untuk bertahan di tengah riuh rendah dunia hiburan.

I like to paddle back when I reach a certain point of popularity, karena it’s not mentally healthy,” ujar aktor peraih Piala Citra dalam Gie (2005) dan Aruna dan Lidahnya (2018) itu.

Nico menilai perkembangan perfilman Indonesia sudah mencapai titik yang cukup membanggakan dengan segala naik-turunnya. Saat ini, menurutnya, telah banyak orang yang bisa menggantungkan hidupnya dari film. Namun, tentu saja perfilman Indonesia masih membutuhkan perbaikan di sana-sini, terutama karena minimnya sekolah film dan jumlah penulis skenario yang baik.

“Sekarang susah banget mencari kru film, kita harus antre. Itu karena percepatan pertumbuhan film tidak sebanding dengan percepatan pertumbuhan edukasi filmnya,” kata Nico.

Saat ditanya apa rencananya saat sudah tidak di dunia perfilman, dia menegaskan keinginannya untuk terus berada di industri ini.

“Enggak mungkin (berhenti dari dunia perfilman). Saya akan selalu ada di dunia perfilman, di bagian apa pun,” katanya.

Filmography Nicholas Saputra

Ada Apa dengan Cinta? (2002)
Biola Tak Berdawai (2003)
Arisan (2003)
Janji Joni (2005)
Gie (2005)
3 Hari untuk Selamanya (2007)
Hulahoop Soundings (2008)
Cinta Setaman (2008)
3 Doa 3 Cinta (2008)
Drupadi (2008)
Sarinah (2011)
Kebun Binatang (2012)
Kita Versus Korupsi (2012)
Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta (2013)
Someone’s Wife in the Boat of Someone’s Husband (2013)
Strangers (2013)
Sokola Rimba (2013)
Cinta dari Wamena (2013)
Pendekar Tongkat Emas (2014)
Ada Apa dengan Cinta 2 (2016)
Save Our Forest Giants (2016)
Interchange (2016)
Aruna dan Lidahnya (2018)
Motel Acacia (2020)



#waveforequality


Avatar
About Author

Selma Kirana Haryadi

Selma adalah penyuka waktu sendiri yang masih berharap konsepsi tentang normalitas sebagai hasil kedangkalan pemikiran manusia akan hilang dari muka bumi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *