People We Love

Obituari Hilman Hariwijaya: ‘He is My Hero’

Ini penghormatan terakhir saya buat Hilman dan Lupus, penulis dan karya yang mengubah hidup saya.

Avatar
  • March 11, 2022
  • 7 min read
  • 896 Views
Obituari Hilman Hariwijaya: ‘He is My Hero’

Salah satu orang yang mengubah jalan hidup saya adalah Hilman.

Saya adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Tapi kisah ini dimulai ketika adik saya belum lahir. Kami terpisah jarak umur cukup jauh,  11 tahun. Kisah ini terjadi ketika saya masih kecil dan tinggal berdua dengan ibu saya. Kakak saya tinggal bersama nenek saya karena sekolahnya di daerah rumah nenek dan ayah saya kerja di Jakarta. Dan karena ibu saya punya kesibukan lain, jadi hari-hari saya sendirian.

 

 

Ayah saya suka sekali baca. Salah satu bacaan favoritnya adalah Kho Ping Hoo. Entah karena ayah tak ingin saya menjadi bodoh atau dia memang kepengin saya juga suka baca kayak dia, Ayah selalu mengirimkan buku dan membawa oleh-oleh buku setiap kali dia pulang dari Jakarta. Buku-buku yang dia bawa ada banyak macamnya. Mulai dari ensiklopedia yang dibintangi oleh tokoh-tokoh Disney, komik-komik Tiger Wong, serial Asterix, Smurf, serta beberapa bacaan lainnya. Sebagai bocah SD, tentu saja yang paling menarik perhatian saya adalah buku-buku yang bergambar. Meskipun saya suka buku-buku tersebut, tapi saya masih belum keranjingan baca. Alasan saya tetap membuka buku-buku tersebut setiap hari adalah karena saya kangen Ayah.

Baca juga: Mari Ngobrol Serius tentang BL Asia: Sebuah Queer Gaze

Saat kelas 3 SD, saya main ke rumah nenek dan tante, yang juga suka baca. Di sana ada satu buku yang menarik perhatian saya. Ada tulisan Lupus, besar-menonjol di sampulnya. Ditambah tulisan yang ukurannya lebih kecil: Kutukan Bintik Merah. 

“Judul yang aneh sekali,” pikir saya waktu itu. Kenapa jerawat disebut kutukan? Dan kenapa heboh banget? Saya jadi penasaran dan akhirnya bertanya ke tante tentang buku itu.

“Oh ini Lupus,” kata tante saya, santai. “Bukunya lucu. Nanti baca aja,” lanjutnya.

Saya kemudian baca dan ohlala saya langsung menikmati buku tersebut. Padahal saya enggak ngerti-ngerti amat isinya. Beberapa jokes di dalamnya bisa saya ngerti, tapi ada banyak juga hal yang saya masih belum paham. Namun, hal tersebut tidak mengurangi kenikmatan saya membaca Lupus. Setelah Kutukan Bintik Merah, saya jadi keranjingan untuk mencari tahu lebih banyak soal ini. Dan betapa bahagianya saya ketika menemukan informasi di belakang buku, yang menjelaskan bahwa Kutukan Bintik Merah bukan buku satu-satunya. Ini adalah satu judul di antara begitu banyak novel Lupus yang lain.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

 

Saya pun punya misi untuk baca Lupus-lupus lainnya. Semenjak mengenalnya, hari-hari saya jadi enggak kesepian lagi. Siapa yang butuh teman kalau saya punya Lupus, Gusur, Boim, Poppy dan terutama Fifi Alone?

Cara Bercerita Hilman

Satu hal tentang Hilman, adalah fakta bahwa tulisannya sangat punya identitas. Punya style, punya suara. Jokes yang dia tulis jelas dan ringkas. Karakter-karakter yang dia bikin selalu loveable, tak peduli semenyebalkan apa pun orangnya (I’m looking atchu, Fifi Alone, you messy bitch). Tapi, ada satu hal dalam tiap tulisan Hilman yang selalu bikin saya loncat dari tempat saya membaca ke tempat baru: dia enggak pernah lupa untuk memasukkan referensi budaya pop dalam setiap karyanya.

Sebagai anak SD yang tinggal di Malang, dan enggak punya akses ke internet atau baca majalah remaja demi mengikuti tren (dulu, majalah terhitung barang sangat mewah), membaca tulisan Hilman berarti menelusuri ulang apa pun yang sedang hip atau tren saat itu. Istilah sekarangnya, ingin up to date.  Punya sifat FOMO, bikin saya saat itu selalu mencatat semua hal yang saya enggak mengerti, cuma demi bisa paham jokes atau konteks tulisan Hilman.

Baca juga: #NoBookShaming: 4 Alasan Novel Teenlit Tidak Perlu Diolok-olok

Siapa itu Duran-Duran? Kenapa Lupus takut mau nonton Nightmare on Elm Street? Apa itu Hanamasa? Dan kenapa makan di situ kesannya hebat banget?”

Ketika saya akhirnya punya akses ke warnet dan makin sering baca buku lain, saya akhirnya mulai tahu satu per satu semua referensi budaya pop yang dimaksud Hilman. Saya jadi tahu siapa itu Simon Le Bon, siapa itu Freddy Krueger. Dan kenapa Hanamasa masuknya tempat makan yang heboh untuk ukuran anak SMA. Referensi budaya pop di tulisan Hilman akhirnya menjadi atlas bagi saya, karena jadi lebih tahu bahwa hidup enggak hanya di sekitaran kampung saya saja.

Kecintaan terhadap tulisan Hilman akhirnya berkembang ketika saya bertemu akses ke perpustakaan. Waktu SMP, saya menemukan Olga, Lupus Kecil, Lupus ABG dan Lulu di sana. Tapi, obsesi saya terhadap Hilman akhirnya sampai pada puncaknya ketika saya menemukan serial Kisah Keluarga Hantu dan Vanya. 

Kisah Keluarga Hantu berhasil bikin saya cekikikan. Saya enggak pernah baca tulisan soal hantu ditulis dari angle komedi. Sementara Vanya membuat saya pengen kuliah. Vanya mungkin satu-satunya karya Hilman yang menurut saya punya rasa paling mature dibandingkan tulisan-tulisannya yang lain. Enggak tahu kenapa, kisah Vanya dan teman-temannya yang unik punya nafas yang berbeda. Meski di saat yang sama, punya elemen kocak dan aneh yang enggak kalah dengan Olga atau Lupus.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

 

Tabiat Hilman memasukkan referensi budaya pop di tulisan-tulisannya, sering kali dikritik karena dianggap semata-mata sebagai pancingan perhatian pembaca muda yang langganan majalah Hai. Alasan yang valid. Tapi, menurut saya, yang dilakukan Hilman sangat cerdas. Trik ini adalah cara yang paling efektif untuk menjelaskan selera, background, dan sifat sebuah karakter. Apa yang ditonton, yang dibaca dan yang didengarkan bisa membuat imajinasi pembaca makin kuat atas satu karakter.

Ketika Hilman memberi tahu bahwa karakternya baru pulang ajojing dan joget dengerin Duran Duran, saya bisa membayangkan kalau karakter tersebut termasuk anak gaul. Bandingkan dengan penggambaran karakter Somad di serial Olga yang suka dangdut. Kesannya memang agak judgemental, tapi fungsinya sangat efektif dan sesuai dengan tujuan yang ingin disampaikan Hilman lewat ceritanya. In short, the man is a genius.

***

Saya jadi suka nonton film, secara tidak langsung, juga gara-gara Hilman. Referensi budaya pop di tulisannya sangat krusial, bikin saya selalu mencari tahu apa yang dia maksud. Kebetulan di dekat rumah nenek, ada rental VCD. Hilman jadi pemandu saya dalam memilih film. Dia pernah menyebut, gaya rambut cepak ala Keanu Reeves di salah satu tulisannya. Kalimat itu cukup jadi alasan saya mencari tahu tentang Keanu Reeves, dan bertemu dengan Speed. Contoh lainnya, ketika salah satu judul Lupus memparodikan film Scream, yang bikin saya jadi berkenalan dengan Ghostface. Begitu seterusnya sampai akhirnya saya jadi punya kompas sendiri.

Baca juga: Gemar Baca Cerita Toksik, Apakah Saya Feminis Gagal?

Jujur, selama ini saya menunggu-nunggu momen untuk “enggak sengaja” ketemu dengan Hilman. Kami berada di industri yang sama. Dan di Jakarta, orangnya itu-itu saja. Saya pikir, enggak perlu waktu lama bagi saya untuk bisa ketemu dengan beliau dan membuat dia menyesal nulis Lupus, karena saya akan fanboying habis-habisan. Sampai titik dia akan risih. Saya sudah membayangkan apa yang akan saya obrolkan dengannya ketika bertemu. Mungkin akan bertanya tentang pengalamannya ketika menjadi wartawan Hai, salah satu mimpi saya dulu. Saya juga akan bertanya bagaimana prosesnya menciptakan semua karakter yang pernah dia buat, berapa persen kisah nyata yang dia “culik” untuk bahan tulisannya, gimana rasanya jadi penulis yang bukunya ada di mana-mana, atau kapan pertama kali dia sadar dia bisa nulis, kapan pertama kali dia sadar kalau dia lucu.

Saya masih ingat setiap momen saya membuka halaman demi halaman Lupus atau Olga dan tenggelam ke dalam dunia mereka. Saya tidak pernah lupa momen-momen saya membuka halaman-halaman Vanya dan tertawa-tawa senang. Masih segar di kepala saya, momen-momen menonton Olga Sepatu Roda atau Lupus Milenia di Indosiar sambil ngerjain PR.

Hilman mungkin sudah enggak ada. Dan kesempatan saya fanboying langsung di hadapannya sudah hilang. Tapi, sosoknya akan tetap abadi di mata saya. Hilman tidak hanya membuat jutaan orang terhibur lewat karya-karyanya, tapi juga berhasil mengubah hidup saya, seorang bocah kesepian yang enggak pernah kepikiran suatu hari dia bisa meraih mimpi-mimpinya.

Thank you, Hilman, for changing my life. We will miss you.



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *