Musisi Pemberontak Sinéad O’Connor Meninggal, Ini 6 Fakta Menarik Tentangnya
Tak cuma belantika musik yang kehilangan sosok Sinéad O’Connor, aktivisme sosial juga.
“Dengan sangat sedih, kami mengabarkan meninggalnya Sinéad yang kami cintai,” terang keluarga penyanyi Sinéad O’Connor, dikutip dari NPR.
Sinéad O’Connor meninggal dunia di usia 56 tahun. Namun, pihak keluarga tidak mempublikasikan penyebab kepergiannya. “Keluarga dan teman-temannya sangat terpukul, dan memohon privasi pada momen yang berat ini,” sambung keluarga O’Connor dalam pernyataan yang sama.
Kepergian penyanyi asal Irlandia itu meninggalkan duka bagi banyak orang. Melalui Instagramnya, aktor Jamie Lee Curtis mengenang momen bersama O’Connor, saat menghabiskan waktu di Irlandia.
“Aku pernah mendengar Sinéad bernyanyi akapela, di sebuah kapel kosong di Irlandia. Kapelnya sedang dibangun di kediaman tuan rumah kami,” tulis Curtis.
“Itu salah satu hal terindah yang saya pernah dengar dalam hidup. Setelah itu kami nonton Eminem di festival.”
Kemudian, Curtis mengungkapkan kesedihan atas meninggalnya O’Connor. “Aku menyayanginya. Musiknya. Hidupnya. Istirahatlah dengan tenang. Istirahatlah dalam kekuatan. Istirahat dalam damai,” tambah Curtis.
Nama O’Connor meroket setelah rilisan album keduanya, I Do Not Want What I Haven’t Got (1990), terjual lebih dari tujuh juta kopi di seluruh dunia. Di tahun yang sama, “Nothing Compares 2 U” dinobatkan sebagai single nomor satu oleh Billboard Music Awards.
Namun, sosok O’Connor lebih dari musisi dan karya musiknya. Penyanyi asal Irlandia itu juga vokal dalam isu sosial. Berikut empat hal menarik dari O’Connor.
Baca Juga: Kak Lily, Warisan Ruang Aman, dan Perjuangan Melawan Dominasi: Sebuah Obituari
1. Protes terhadap Pelecehan Seksual Anak di Gereja Katolik
Saat tampil di “Saturday Night Live” (SNL) pada 1992, Sinéad O’Connor merobek foto Paus Yohanes Paulus II—sambil menyebut kata “evil” di akhir lagu “War” milik Bob Marley yang dinyanyikan. Aksi tersebut ia lakukan, sebagai protes atas pelecehan seksual terhadap anak yang terjadi di Gereja Katolik. Tepatnya satu dekade, sebelum tim Spotlight dari Boston Globe mengungkap kejadiannya
Akibatnya, O’Connor di-blacklist seumur hidup oleh NBC—saluran televisi yang menayangkan SNL. Kemudian, orang-orang Amerika Serikat (AS) juga melakukan unjuk rasa atas perbuatan O’Connor, dengan menghancurkan rekamannya di Times Square, New York.
Meskipun demikian, ia enggak menyesal atas perbuatannya, di tengah banyak orang berpikir kariernya akan hancur. Saat merobek foto Paus, ia memosisikan diri sebagai penyintas pelecehan yang dilakukan sang ibu, bukan memikirkan citra sebagai musisi.
“Saya enggak merasa perbuatan itu menghancurkan karier saya. Justru merobek foto Paus mengembalikan saya ke jalan yang benar,” tulis O’Connor dalam memoarnya, dikutip dari Rolling Stones.
2. Masa Kecilnya Penuh Lika-liku
Tumbuh sebagai individu, Sinéad O’Connor mengalami pelecehan yang dilakukan sang ibu. Dalam wawancara bersama NPR pada 2024, ia mengatakan, “Banyak pelecehan pada anak itu tentang tidak bersuara. Padahal, hal itu bisa menyembuhkan.”
Setelah itu, O’Connor melakukan kenakalan remaja. Ia dikeluarkan dari sekolah Katolik, dan ditangkap berulang kali karena mencuri barang di toko. Namun, seorang suster di sekolahnya menghadiahkan gitar. Dari situ, O’Connor mulai bernyanyi di jalanan di Dublin, dan populer di band Irlandia bernama “In Tua Nua”.
Peristiwa tersebut mengawali karier O’Connor di industri musik. Ia kemudian menarik perhatian The Edge, gitaris U2, dan masuk ke label Ensign/Chrysalis.
Baca Juga: Sepotong Sore Dekat Idul Adha Bersama Shinta Ratri
3. Memilih Botak Karena Menolak Diseksualisasi Label
Dalam memoar Rememberings (2021), O’Connor mengungkapkan alasannya menggunduli rambut. Saat itu, label menyuruh O’Connor berambut panjang, mengenakan rok, sepatu hak tinggi, dan makeup. Label juga enggak ingin ia menulis lagu yang berdampak.
Namun, O’Connor enggak membiarkan dirinya dibentuk layaknya standar kecantikan. Terlebih oleh laki-laki. Karenanya, O’Connor tampil dengan rambut gundul di cover album, video klip, dan berbagai penampilan—sekali pun sudah berhijab.
Selain itu, keputusan O’Connor menggunduli rambut berkaitan dengan masa kecilnya. Sang ibu suka mencela rambut adik O’Connor yang berwarna merah, lalu membandingkan kedua anaknya saat memperkenalkan ke orang lain. O’Connor diperkenalkan sebagai anak yang cantik, sedangkan adiknya buruk.
4. Membagikan Cerita tentang Isu Kesehatan Mentalnya
Sebagai figur publik, di beberapa kesempatan, Sinéad O’Connor terbuka dengan masalah kesehatan mentalnya.
Ketika tampil di “The Oprah Winfrey Show” pada 2007, misalnya, O’Connor bercerita tentang bipolar yang dialami. Seperti punya pikiran bunuh diri, dan ketakutan besar sebelum didiagnosis empat tahun sebelumnya. Ia juga mengatakan, saat itu mengonsumsi antidepresan dan mood stabilizing.
“Aku enggak akan duduk di sini, menyatakan hidup saya sempurna. Kalau sedang merasa hancur, segala sesuatu dalam hidup rasanya seperti kemajuan. Kalau bisa keluar dari situasi itu, berarti suatu pencapaian,” kata O’Connor di acara tersebut. “Tapi bukan berarti enggak ada jatuh bangunnya.”
Kemudian, pada 2012 ia membatalkan tur, lantaran bipolar berdampak pada kariernya. Ini menunjukkan bagaimana O’Connor memprioritaskan kesehatan mental, dan mendorong banyak orang untuk melakukan yang sama. Sebab, O’Connor juga mengingatkan para penggemar, untuk menanyakan kabar orang-orang di sekitar yang kemungkinan sedang menghadapi masa-masa sulit.
“Kalau kamu punya anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan mental, tunjukkan bahwa kamu sayang dan peduli. Jenguk mereka di rumah sakit, jangan sekadar ditinggalkan di rumah sakit.
Baca Juga: Prof Azyumardi Azra, Intelektual Islam Jadi ‘Sir’ Pertama dari Indonesia
5. Memilih Mualaf
O’Connor memberi tahu pembawa acara The Late Late Show tentang keputusannya menjadi mualaf, setelah sebelumnya memeluk Katolik.
“Saya membaca bab dua dari Alquran dan menyadari bahwa saya telah pulang. Ternyata saya telah menjadi Muslim sepanjang hidup,” kata O’Connor yang berganti nama jadi Shuhada Sadaqat.
“Kamu bisa menjadi Muslim tanpa harus benar-benar menjadi Muslim. Muslim adalah mereka yang percaya tidak ada yang patut disembah kecuali Tuhan Allah.”
Keputusan untuk berpindah agama pada 2018 ini adalah langkah berani mengingat Irlandia adalah negara yang cukup Islamofobik. Mengutip European Islamophobia Report (2016) yang disusun James Carr, Dosen Sosiologi di University of Limerick, Islam di Irlandia sering diasosiasikan dengan “serangan teror”, “teroris”, dan “ekstremis”.
Tak heran jika banyak Muslim yang terkucil dari sistem pendidikan Irlandia. Tak cuma itu, Muslim juga sering mendapat kekerasan di jalanan dan ruang publik, tulis James Carr. Seorang Muslim menaiki bus dari O’Connell Street dan mendapati salah satu penumpang tiba-tiba mengatainya: Bajingan, pulang ke negaramu, idiot, aku akan meledakkanmu dengan bom, dan seterusnya.
6. Menolak Penghargaan Grammy Awards
Jika mayoritas musisi internasional menjadikan Grammy Awards sebagai validasi dalam bermusik, Sinéad O’Connor justru sebaliknya. Album keduanya mendapat penghargaan untuk kategori “Best Alternative Music Performance” di Grammy Awards pada 1991.
“Grammy Awards mengakui sebagian besar sisi komersial dari seni. Tapi, sebagian besar juga menghargai keuntungan materi, karena itu tujuan eksistensi mereka,” kata O’Connor pada Los Angeles Times.
Menurutnya, keberadaan penghargaan tersebut menghalangi peraih Grammy Awards, untuk berkomunikasi dan saling membantu sesama manusia. Namun, penolakan itu bukan secara khusus dilakukan sebagai kritik terhadap Grammy Awards, melainkan industri musik dan orang-orang di dalamnya yang enggak melakukan pekerjaannya dengan baik. Setelah penolakannya, O’Connor masih masuk dalam nominasi, walaupun enggak kembali memenangkan.
Dari perjalanan kariernya, O’Connor membuktikan musiknya lebih dari sekadar hiburan. Ia memanfaatkan platform untuk bersuara, membawa dampak bagi banyak orang, sekaligus menunjukkan sikap politik—meski menuai kontroversi. Selamat jalan, O’Connor.