Bukan sekali dua kali saja jagat dunia maya, juga dunia nyata, dipenuhi hujatan terhadap selebritas yang melakukan operasi plastik, atau sering disingkat oplas. Apalagi kalau itu dilakukan semata-mata untuk memperbaiki penampilan, bukan karena alasan penyakit dan medis. Sudah disebut tidak bersyukur, kebanyakan uang, lalu dibilang penampilannya semakin jelek setelah oplas pula. Yang baru-baru ini jadi korban warganet adalah selebgram Dara Arafah. Dara sampai-sampai dibilang mirip banci karena mengunggah potret dirinya pasca melakukan operasi hidung.
Profesor feminisme, gender, dan seksualitas dari Wesleyan University di AS, Victoria Pitts, dalam bukunya yang berjudul In The Flesh: The Cultural Politics of Body Modification menyebut operasi plastik sebagai salah satu bentuk modifikasi tubuh yang paling banyak dilakukan perempuan. Modifikasi tubuh ini sendiri menimbulkan berbagai perdebatan, tidak hanya di kalangan publik, tapi juga di antara para feminis. Ada yang berpendapat bahwa modifikasi tubuh, termasuk operasi plastik, merupakan langkah subversif yang dilakukan perempuan sebagai pihak yang tubuhnya selalu jadi objek yang ditekan norma budaya kecantikan, atau bahkan menjadi korban pelecehan seksual dan fisik.
Sementara feminis yang menentangnya, kata Pitts, berpendapat bahwa modifikasi tubuh merupakan bentuk pencemaran tubuh perempuan dan hasil dari tekanan masyarakat terhadap perempuan yang harus selalu terlihat muda, langsing, dan cantik. Bahkan, para feminis radikal menyebut modifikasi tubuh sebagai bentuk patriarchal abuse.
Meski membenarkan adanya tuntutan masyarakat terhadap diri dan tubuh perempuan, peneliti di bidang psikologi sosial, Ferena Debineva, menilai operasi plastik tak bisa semata-mata dimaknai sebagai bentuk tunduknya perempuan terhadap tuntutan masyarakat.
Baca juga: ‘Skincare’ Abal-abal dan Praktik Sulam: Tuntutan Cantik di Era Digital
“Tuntutan masyarakat terhadap perempuan itu sangat banyak, berbeda dengan laki-laki. Tapi saat ini tantangannya lebih menantang, karena proses sosialisasinya lebih banyak sumbernya. Bisa dari media sosial yang membuat kita membandingkan satu sama lain. Bisa juga institusi agama, keluarga, sekolah, media massa yang menyosialisasikan standar kecantikannya bermasalah,” kata Ferena.
“(Operasi plastik) tidak bisa dikatakan hanya karena insecurity atau kurangnya kepercayaan diri. Kita harus tahu akar masalahnya, dan pastikan orang tersebut mengerti konsekuensi sebelum dan sesudah oplas,” ia menambahkan.
Menurut Ferena, operasi plastik merupakan pilihan perempuan terhadap implementasi otoritas tubuhnya, apabila ia menyadari penuh alasan dirinya melakukan perubahan di dalam tubuhnya. Penekanan seharusnya bukan pada apa yang harus diubah atau dilakukan pada tubuh seseorang, melainkan pada penyediaan ruang aman dan sistem dukungan sosial, ujarnya.
“Kita jangan maunya berfokus mengoreksi individunya. Fokusnya adalah membenahi model sosialnya, terutama dalam pembentukan standar kecantikan perempuan,” tambahnya.
Tak ada tubuh yang betul-betul natural
Operasi plastik atau tidak, selain masalah pilihan, juga bukanlah permasalahan utamanya, kata Ferena.
“Karena body positivity yang kita kenal selama ini adalah mengenai bagaimana kita menerima kondisi tubuh kita, berdamai dengan itu, memaknainya sebagai bagian dari perjalanan hidup kita, dan bagaimana kita melihat identitas diri secara utuh, dengan atau tanpa perubahan,” ujarnya.
Namun associate professor dan Kepala Departemen women’s studies di University of Hawaii, Luh Ayu Saraswati, menilai bahwa operasi plastik sangat bertentangan dengan konsep body positivity karena melanggengkan penindasan terhadap perempuan lewat standar-standar kecantikan yang semu.
Baca juga: Iklan yang Merisak Perempuan: Tarung Bebas Penjaja Produk Kecantikan
“Itu memperkuat gagasan bahwa bentuk tubuh dan penampilan perempuan itu seharusnya seperti ini, seperti standar masyarakat. Ini menormalisasi perempuan harus begini begitu. Misalnya, kalau enggak punya payudara itu bermasalah. Tapi kalau payudaranya terlalu besar atau terlalu kecil juga bermasalah,” ujar Luh Ayu, yang menulis buku Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional.
Ayu mengatakan, pandangan soal kecantikan ini sudah diracuni oleh kapitalisme dan neoliberalisme yang selalu menekan seseorang untuk mengubah diri dan tubuhnya agar dinilai cantik. Karenanya, kita harus kritis melihat alasan ideologis yang membentuk wacana mengenai self love dan body positivity, kemudian mendekonstruksinya, ujar Ayu.
“Perempuan ditindas bukan hanya melalui perbedaan upah, tapi juga melalui bentuk-bentuk yang tidak terlihat berperan besar, seperti kecantikan. Gaji perempuan sama laki-laki, katakanlah sama. Tapi kan perempuan harus ganti baju berkali-kali, harus beli make-up dan shaving cream,” katanya.
“Soal waktu, perempuan jadi lebih lama karena pakai make-up, sementara laki-laki lebih cepat. Padahal waktu yang kita pakai buat mempercantik diri bisa kita gunakan buat membaca buku dan networking,” kata Ayu.
Meski begitu, bukan berarti melakukan hal-hal tertentu sebagai bentuk care terhadap tubuh kita sendiri adalah hal yang salah. Menurut Ayu, tubuh yang benar-benar natural memang tidak ada.
“Misalnya aku kalau enggak pakai kacamata kan jadi enggak bisa nyetir mobil. Kalau aku menerima tubuhku apa adanya, agak-agak buta gini, gimana? Yang lebih baik adalah kita mempertanyakan kenapa bentuk tubuh atau penampilan tertentu ini diidealisasikan dan dijadikan standar,” ujarnya.
Ia menambahkan, ”Bukan menerima apa adanya, tapi kritis dan menyadari konsekuensi dari beauty routine yang kita lakukan. Misalnya, konsekuensi saya pakai kacamata, saya jadi bisa lihat. Konsekuensinya di kecantikan, saya jadi dibilang enggak cantik, karena menurut standar kecantikan, kacamata itu bukan sesuatu yang cantik.”
“Pandangan soal kecantikan ini sudah diracuni oleh kapitalisme dan neoliberalisme yang selalu menekan seseorang untuk mengubah diri dan tubuhnya agar dinilai cantik.”
Kapan dibilang cukup?
Ketika kita membicarakan operasi plastik dari sudut pandang feminisme, akan semakin banyak variabel yang harus dipertimbangkan. Menurut Ayu, perbedaan aliran dalam feminisme akan menentukan pemaknaan seseorang mengenai operasi plastik dan modifikasi tubuh lainnya. Ada yang menganggap operasi plastik sebagai bentuk kebebasan perempuan untuk menentukan apa yang terjadi pada tubuhnya. Misalnya, post-modern feminism mengatakan bahwa tidak ada tubuh yang autentik karena tubuh adalah playground di mana kita bermain identitas, bentuk, dan sebagainya. Atau feminisme neoliberal yang mengatakan bahwa kalau kamu mau hidupmu lebih bagus, kamu harus mengubah dirimu sendiri, termasuk operasi plastik, kata Ayu.
Ferena memiliki pandangan yang berbeda.
“Ini feminis sepanjang memberdayakanmu. Feminisme melihat apakah modifikasi tubuh ini memberdayakan individu sebagai bagian dari pengalaman hidupnya,” ujarnya.
Yang jelas, kata Ferena, operasi plastik atau perubahan fisik lainnya tidak secara ajaib langsung menyelesaikan permasalahan bila akar permasalahannya tidak dikemukakan dengan baik. Misalnya, apakah seseorang melakukan operasi plastik karena tuntutan masyarakat? Maka harus diketahui tuntutan yang seperti apa. Mengapa individu harus tunduk pada tuntutan tersebut? Harus diketahui apakah itu karena insecurity, trauma, atau alasan psikis lainnya, kata Ferena.
Aktivis perempuan Mariana Amiruddin mengatakan bahwa konsep feminisme menekankan pada bagaimana seseorang merawat dirinya untuk terus menerus mencari kebahagiaan, dan bagaimana seseorang merasa bebas dan merdeka untuk memilih apa pun yang dilakukan dengan atau terhadap tubuhnya.
Baca juga: ‘Tocil’, Pasar: Selalu Ada yang Salah dengan Bentuk Tubuh Perempuan
“Itu bisa dalam bentuk operasi plastik, bisa dalam bentuk kreativitas, dan banyak hal. Yang penting, dia tahu tubuhnya itu untuk dirinya sendiri, bukan orang lain. Bukan dia dipaksa untuk oplas supaya dia bisa dijual,” ujar Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) itu.
“Kalau kita memilih untuk memperindah wajah, ya karena kita senang aja muka kita jadi bersih. Kan enggak merugikan orang lain juga. Ada juga tuh orang-orang yang melakukan operasi untuk kebutuhan estetika. Ini juga bagian dari kebebasan berekspresi,” ia menambahkan.
Menanggapi fenomena dihujatnya para public figure atau pihak lain hanya karena mereka melakukan operasi plastik, Mariana juga menekankan bahwa seharusnya kita tidak melabeli seseorang sebagai “feminis yang buruk” semata-mata karena dia melakukan operasi plastik.
“Selain tak mendukung otoritas perempuan terhadap tubuhnya sendiri, feminis juga tak semudah itu menghakimi sesama perempuan. Berarti kan itu tidak memberdayakan sesama kita,” ujarnya.
Satu persoalan yang masih sering luput dari pembahasan-pembahasan mengenai operasi plastik adalah pendampingan sebelum dan setelah prosedur ini dilakukan. Ferena menjelaskan bahwa konsultasi dan pendampingan akan membantu seseorang memahami proses apa yang sebetulnya terjadi di dalam dirinya, baik secara fisik maupun mental.
Peran konsultasi dan pendampingan ini juga berkaitan dengan pencegahan agar seseorang tidak kecanduan melakukan operasi plastik.
“When is enough is enough? Ketika kita bicara adiksi, berarti sampai alasan di balik adiksi itu terselesaikan, misalnya gangguan dismorfia tubuh. “
Mariana menambahkan, “Itu ketika dia sadar bahwa dia enggak harus mencelakai dirinya sendiri untuk memperbaiki penampilannya. Tapi kita enggak bisa nge-judge juga, karena itu kembali lagi ke orangnya.”