Ada banyak cara bagi perempuan untuk mendongkrak rasa percaya diri, salah satunya adalah dengan cara mempercantik tampilan luar. Tidak cukup puas hanya dengan memastikan bahwa tubuh telah dirawat dengan baik, muncul lagi keinginan baru yang setingkat di atasnya: perlunya pengakuan dari luar hingga muncullah kebiasaan bersaing dan membandingkan diri dengan perempuan lainnya. Hal itusah-sah saja untuk diterapkan, toh tidak ada aturan negara yang mengaturnya, ditambah pada era kini perempuan telah berhak untuk bersaing di semua bidang tanpa kecuali. Namun, apakah benar pemicu dan tujuan akhirnya hanyalah untuk mencapai versi terbaik dari diri sendiri?
Semenjak kegiatan jual beli daring merebak, kita dijejali dengan ragam iklan produk tanpa pertimbangan matang sebelum dilempar ke masyarakat umum. Iklan tidak lagi melalui proses panjang pemilihan kalimat, gambar dan lainnya hingga sampai pada titik bisa disiarkan di televisi, melainkan langsung ditulis dan dibagikan pemilik atau penjual kembali produk di media sosial bisnis dan pribadi mereka.
Kebanyakan iklan di televisi hanya menonjolkan kelebihan produk terhadap kasus, misalnya produk pelembap untuk mengatasi kulit kering. Jarang sekali kita menemukan iklan televisi yang menonjolkan produk dengan cara sekaligus menjatuhkan produk lain yang serupa, atau bahkan merendahkan objek kasusnya. Namun di era kini di media sosial, tolok ukur keberhasilan produk kecantikan tidak lagi hanya membidik penyelesaian kasus, melainkan sekaligus memosisikan diri sebagai penentu apakah seorang perempuan berhak diapresiasi atau tidak.
Setiap hari di media sosial, sering kali kita menjumpai iklan tanpa pertimbangan dari para penjual produk perawatan wajah dan tubuh perempuan. Menyedihkannya, yang paling banyak dilihat atau dibagikan adalah iklan dengan sindiran halus menohok. Iklan demikian biasanya dibuka dengan kalimat sederhana dan terkesan ceria sekali. “Itu kulit manusia apa badak?”; “Apa kalian enggak malu punya kulit item?”; “Badan gembrot udah gak jaman lah yau!”; “Duh, ini jerawat apa azab, sih?”, atau, “Duh, jangan nyesel kalau suaminya direbut pelakor, ya!”. Teks-teks ini lengkap dengan foto pendukung dan emoji menertawakan atau menangis. Setelah itu, barulah keutamaan produk perawatan kecantikan dijelaskan.
Banyak pengguna media sosial yang berkenan membagikan iklan tersebut. Kepentingannya beragam, ada yang menggunakannya untuk menjual produk yang sama, ada yang menandai temannya yang dia pikir membutuhkan produk tersebut, ada juga yang hanya sekedar iseng menjadikannya lelucon untuk menertawakan orang yang memiliki kondisi yang sama dengan foto pendukung iklan. Atau yang lebih parah lagi, untuk menyindir dan merisak perempuan lain.
Yang perlu kita pertanyakan adalah, apa dampaknya bagi perempuan setelah melihat, atau bahkan dicekoki dengan iklan seperti itu setiap hari? Apakah iklan demikian berdampak pada kesehatan mental dan lingkar sosial perempuan? Dan jika kemudian kita setuju untuk menjadikan bahwa keindahan ragawi adalah salah satu poin penting dalam hidup, lalu apa sebenarnya yang mendorong kita sampai di titik itu? Apakah betul hanya untuk mencapai versi terbaik dari diri sendiri, ataukah karena dorongan rasa malu sebab iklan itu telah secara terbuka menyatakan bahwa ada beberapa kondisi tubuh perempuan yang tidak pantas untuk diapresiasi?
Baca juga: Stop Nilai Diri dan Perempuan Lain dari Penampilan Fisik
Apakah kita setuju untuk berubah menjadi seseorang yang terbaik menurut standar yang telah ditentukan oleh orang lain secara dangkal? Lalu bagaimana jika kita tidak pernah bisa memenuhinya?
Seorang perempuan tidak pernah mengunggah foto dirinya sebab dia malu karena wajahnya penuh vlek hitam. Perempuan lain selalu menutupi kakinya rapat-rapat sebab ia malu akan bekas luka di kakinya. Ada lagi perempuan yang tidak mengenakan pakaian yang ingin sekali dikenakannya sebab ia malu akan bentuk tubuhnya, atau merusak kulitnya dengan banyak produk pengubah warna kulit dengan kandungan berbahaya sebab ia malu akan warna kulitnya yang tidak cerah.
Ada banyak sekali perempuan yang merasakan tekanan serupa seumur hidupnya, hingga sampai pada titik mereka kemudian secara tidak sadar membatasi ruang dan gerak mereka sendiri. Produk-produk yang seharusnya bisa menjadi alat dalam kegiatan mencintai kehidupan, dalam kasus ini justru menjadi tunggangan iklan beracun berkaitan pengotakan standar kecantikan demi kepentingan segelintir orang, hingga pada titik membelenggu dan menghilangkan ruang dan gerik kebebasan perempuan.
Belum selesai bagaimana sebuah iklan yang tidak bertanggung jawab di media sosial bisa mengikis rasa percaya diri, kekhawatiran saya masih berlanjut tentang bagaimana iklan serupa bisa mengubah perempuan tidak lagi menghargai dirinya sebagai manusia, tetapi sebagai komoditas.
“Ayo rawat tubuh biar suami betah di rumah. Ingat, ya, suami itu titipan, kalau enggak diambil Tuhan ya diambil perempuan lain!”
Kalimat di atas dan serupa umum kita temui pada iklan-iklan perawatan tubuh dan kecantikan di media sosial. Sepintas seperti lucu, tapi ini menyeramkan, dan sangat mengancam eksistensi perempuan. Mari kita kuliti kalimatnya satu persatu.
Kalimat “Ayo rawat tubuh agar suami betah di rumah,” mengindikasikan bahwa perempuan tidak lagi diaku sebagai pemilik tubuh dan keputusan, melainkan harus mengambil keputusan tertentu sebab tujuan tubuh dan hidupnya adalah untuk menyenangkan orang lain. Padahal tubuh perempuan adalah miliknya sendiri. Jika perempuan harus peduli akan kesehatan tubuh dan pikirannya, maka itu adalah demi dirinya sendiri. Pernikahan, hubungan keluarga, dan lingkup sosial tidak bisa dijadikan dalil penyerahan perempuan atas haknya.
Sedangkan untuk kalimat, “Suami itu titipan,” perempuan dianggap tidak memiliki hak terhadap laki-laki. Bahwa ketika ada seorang laki-laki menikahinya, maka itu hanyalah satu keberuntungan semata. Sementara dalam hukum negara kita, perempuan bahkan berhak mengajukan perceraian. Jika perempuan telah diakui memiliki hak setara dengan laki-laki dalam pernikahan oleh negara, lalu bagaimana bisa seorang perempuan merendahkan diri mereka dengan mempercayai iklan demikian?
Bukan kondisi natural tubuh perempuan yang salah, melainkan sistem yang melingkupinya.
Kalimat, “kalau enggak diambil Tuhan,” itu sisipan untuk menguatkan isu ketidakberdayaan perempuan. Jika mau digali lebih jauh, semua manusia tidaklah memiliki daya di hadapan Tuhan. Namun mengapa hanya perempuan yang dituding?
Dan terakhir, “ya diambil perempuan lain.” Pada kalimat ini, suami atau laki-laki, didaulat sebagai pihak yang sepertinya berhak memilih perempuan seperti memilih barang; jika dia menginginkan sesuatu yang lebih baik maka dia akan menggantinya. Dan perempuan? Tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menyerah atau berusaha menjadi pelayan yang baik agar ada yang memiliki.
Bonus: kau harus lebih unggul dari perempuan yang lain sebab mereka adalah pesaingmu. Kalian adalah produk yang harus mengungguli satu sama lain agar siap dipasarkan, dimiliki dan mempertahankan kepemilikan orang lain atas dirimu.
Yang demikian pada akhirnya menyisakan setidaknya tiga sisi negatif di mana perempuan secara umum adalah korban keseluruhan. Pertama, perempuan-perempuan yang memiliki kondisi tubuh yang sesuai dengan kriteria yang dirisak secara tidak langsung telah menjelma sebagai objek umum perisakan, dan itu tidak berdampak sepele. Kedua, perempuan yang berhasil keluar dari kriteria perisakan, atau memang berada di luar kriteria perisakan sejak awal, akan berisiko terkurung dalam kotak standar kecantikan yang hingga kini masih terus dicoba untuk dibongkar dan dihilangkan sebab nilai-nilainya yang tidak universal. Ketiga, lambat laun perempuan akan kehilangan haknya sebagai manusia merdeka, sebab kecantikan itu sendiri telah menjelma jalur kontrol orang lain terhadap dirinya.
Sebelumnya, beberapa perusahaan produk besar telah dengan giat mengampanyekan gerakan untuk mendukung ragam keindahan perempuan. Di toko-toko, mulai ditemui manekin ukuran plus, dan beberapa pagelaran busana telah membebaskan ukuran model. Kampanye keberagaman warna kulit pun telah umum ditemui pada iklan-iklan merek perawatan kulit ternama, dan kini mulai merambah pada sisi yang lebih detail. Para model telah dilempar ke poster di media dengan tampilan tekstur kulit seadanya, tanpa perlu lagi diperhalus dengan teknik photoshop.
Baca juga: Berapa Harga Kaos ‘Girl Power’-mu? Fakta tentang Femvertising
Konten seperti itu akan membawa pengaruh positif bagi perempuan, andai kita semua bersepakat dan serempak berkomitmen untuk menjadi bagian dari penyebarannya. Keunikan tanpa batasan adalah kecantikan yang universal. Sayangnya, kampanye ini tidak bisa dengan mudah diterima dan dipahami pentingnya untuk menyebarkannya oleh semua kalangan, sebab pada dasarnya ia menyasar isu keadilan dan kesetaraan.
Tidak semua orang peduli pada keadilan dan kesetaraan, bahkan kadang perempuan itu sendiri. Berbeda dengan iklan negatif kecil-kecilan yang telah kita bicarakan di atas yang lebih mudah menyusup di benak, sebab ia menunggangi standar kecantikan yang telah sedari dulu diamini oleh masyarakat kita. Praktik demikian lebih mudah menarik pasar dan mendatangkan uang. Pengiklan menciptakan masalah dan kekhawatiran sekaligus menyediakan obatnya.
Berangkat dari sana, jika setiap hari kita dijejali dengan iklan demikian, lantas di mana nilai perempuan sebagai manusia yang setara? Di permukaan, iklan-iklan demikian seolah bertujuan untuk membantu perempuan menjaga tubuh dan kesehatan mereka. Beberapa bahkan memploklamirkan diri sebagai barikade dukungan, agar perempuan bisa selamat dari ejekan, mampu menjadi orang nomor satu di lingkungan mereka, dan yang lebih parah juga dimasukkan dalam poin bahwa wajah dan tubuh perempuan bisa digunakan sebagai alat pencegah perpecahan rumah tangga.
Padahal, jika kita tarik akarnya, bukan kondisi natural tubuh perempuan yang salah, melainkan sistem yang melingkupinya. Contoh sederhananya, seorang remaja perempuan tidak harus malu karena wajahnya berjerawat. Itu hal wajar dan penjelasan medis bisa mengukuhkannya. Lalu jika itu wajar, dari mana datangnya rasa malu itu? Dari standar masyarakat kita terhadap pakem kecantikan, dan bagaimana pakem kecantikan yang kaku itu telah digunakan banyak orang sesuai dengan kepentingan mereka; menjual produk, mengolah lelucon dan bahkan hanya untuk sekedar melampiaskan ketidaksukaannya terhadap sesuatu.
Baca juga: Jerawatan? Ya Sudahlah
Yang terakhir ini bukan hanya kita temui dalam iklan berbahaya, juga sering tidak sadar kita gunakan dalam percakapan sehari-hari, seperti kalimat, “Makan melulu, sih, makanyajadi gede kayak sapi hamil!” yang dilontarkan oleh seseorang yang kebetulan bertubuh jangkung dan menganggap kondisi tubuhnya yang demikian disebabkan karena dirinya tidak suka makan. Sebagian dari kita memang terbiasa dengan logika sederhana, satu ditambah satu sama dengan dua. Yang luput dari pengamatannya adalah bahwa hal itu juga terkait dengan kemampuan metabolisme tubuh manusia yang satu berbeda dengan yang lain, atau ada faktor psikologis, dan sebab-sebab lain.
Alangkah menyenangkan dan mudahnya jalan kita seandainya standar pencapaian kecantikan perempuan yang penuh ilusi itu kita hapus mulai dari diri sendiri. Tidak perlu hal itu kita gunakan lagi sebagai tunggangan untuk melucu atau menawarkan produk, yang sekilas tampak lucu, unik, dan sepele namun pada kenyataannya memberatkan perjuangan perempuan untuk menjadi manusia bebas. Marilah kita fokus pada membangun kemampuan diri pada ranah semaksimal mungkin dalam berpikir, bekerja, dan berkarya. Marilah kita mengubur kotak gender beserta standarnya sejak dalam pikiran, hingga tidak ada lagi beban yang muncul selain kewajiban kita pada nilai-nilai kemanusiaan. Hingga tidak ada lagi iklan-iklan produk kecantikan yang menyesatkan, sebab manusia merdeka tidak dilahirkan untuk menjadi objek tudingan bagi manusia lain. Manusia seharusnya hidup dengan penuh penghargaan terhadap dirinya sendiri.
Yang sangat penting untuk dipahami adalah, produk perawatan tubuh yang sama bisa memberikan dampak kesehatan mental yang berbeda, tujuan yang sama bisa menawarkan pengalaman perjalanan yang berbeda. Kuncinya ada di tangan pengiklan. Meminta oknum menghentikan aksi mereka adalah hal yang hampir mustahil. Satu-satunya cara paling masuk akal adalah menyaring pikiran sendiri.
Sudah saatnya kita berhenti memasrahkan diri menjadi korban dari iklan produk kecantikan yang menyusupi kita dengan sudut pandang yang dangkal dan beracun. Cukup kita setiap hari melangkah maju tanpa rasa khawatir, mandiri, dan menolak untuk merisak manusia lain. Cukup kita menjadi berbahagia karena itu.