Opini Screen Raves

Dua Versi, Satu Film: Membaca Strategi ‘Uncut’ Ala ‘Pabrik Gula’

Pabrik Gula dirilis dalam dua versi: Uncut dan reguler, yang cuma berbeda satu menit. Apakah ia cuma sekadar praktik marketing?

Avatar
  • April 10, 2025
  • 4 min read
  • 3342 Views
Dua Versi, Satu Film: Membaca Strategi ‘Uncut’ Ala ‘Pabrik Gula’

Belakangan, istilah “uncut” atau “director’s cut” kembali mengemuka di Indonesia. Pabrik Gula (Awi Suryadi, 2025), film horor yang rilis lebaran kemarin, dibikin dua versi, tapi tayang serentak di bioskop: Versi reguler dan versi uncut.

Dalam industri perfilman, istilah ini mengacu pada versi film yang mencerminkan visi penuh sang sutradara. Biasanya tanpa pemotongan atau penyesuaian yang dilakukan demi regulasi atau durasi layar. 

 

Meski Pabrik Gula Uncut dan versi lain hanya terpaut satu menit durasi, implikasinya besar pada klasifikasi usia penonton. Versi reguler diberi label “17+”, sementara versi uncut diklasifikasikan “21+”. Fenomena ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut karena melampaui isu teknis durasi atau isi, menyentuh pula aspek strategi pemasaran dan pergeseran dinamika dalam cara film diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi.

Baca juga: Di Balik Cap “Film Lebaran”: Saat Hari Raya Jadi Ladang Jualan

Bukan yang Pertama

Strategi merilis film dalam lebih dari satu versi bukan hal baru. Salah satu yang pertama tercatat adalah Heaven’s Gate (Michael Cimino, 1980), sebuah film epik yang versi aslinya berdurasi lebih dari 5 jam, tapi dipotong secara drastis oleh studio untuk penayangan teater. 

Reaksi negatif terhadap versi bioskop memicu Cimino untuk merilis versi “director’s cut” pada tahun-tahun berikutnya. Keputusan itu sempat memicu diskusi hangat tentang otoritas kreatif dalam perfilman. 

Namun, fenomena ini benar-benar lepas landas ketika media home video seperti LaserDisc dan DVD mulai populer pada awal 1990-an. Format ini memberi ruang bagi sutradara untuk menghadirkan versi film yang lebih setia pada visi mereka. Seperti yang dilakukan James Cameron dalam Aliens: Special Collector’s Edition (1986) yang dirilis ulang lewat LaserDisc tahun 1991.

Puncaknya, mungkin, adalah apa yang terjadi dengan Blade Runner (Ridley Scott, 1982). Ia memiliki tidak kurang dari lima versi berbeda, termasuk Final Cut (2007) yang dianggap sebagai versi paling autentik sesuai visi Scott. Rilisan ulang versi-versi ini tidak hanya menyasar pasar kolektor, tetapi juga membangun narasi baru di sekitar film tersebut, memperpanjang umur kulturalnya dan—yang tak kalah penting—menambah pemasukan.

Strategi ini kemudian mengalami evolusi dengan kemunculan internet dan platform streaming. Salah satu contoh paling ikonik dalam dua dekade terakhir adalah kampanye #ReleaseTheSnyderCut untuk Justice League (Zack Snyder, 2017), yang menghasilkan perilisan versi asli sang sutradara berdurasi 4 jam di HBO Max pada 2021. 

Fenomena ini bukan hanya kemenangan kreatif, tetapi juga keberhasilan pemasaran berbasis komunitas penggemar yang menggambarkan kekuatan fandom dalam memengaruhi keputusan industri.

Kembali ke konteks Indonesia, Pabrik Gula menjadi menarik karena strategi multi-versi ini biasanya dilakukan dalam konteks perilisan ulang atau platform berbeda. 

Namun, kali ini keduanya diputuskan untuk dirilis di bioskop. Meskipun perbedaan durasi sangat tipis, keputusan untuk mengklasifikasikan versi uncut sebagai tontonan 17+ mengindikasikan adanya konten yang dianggap lebih dewasa atau eksplisit, yang mungkin lebih setia pada visi awal sutradara. 

Sayangnya, karena minimnya data publik soal perbandingan jumlah penonton, kita belum bisa secara pasti menyimpulkan versi mana yang lebih sukses. 

Namun dari segi pemberitaan dan diskursus publik, versi uncut justru lebih banyak menarik perhatian, membuktikan bahwa narasi seputar keaslian dan kebebasan ekspresi tetap menjadi daya tarik tersendiri di mata penonton.

Fenomena ini membuka pertanyaan menarik: Apakah strategi multi-versi ini efektif untuk pasar Indonesia? Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. 

Di satu sisi, ini memberi pilihan kepada penonton dan membuka ruang diskusi tentang batasan sensor dan otoritas kreatif. Namun di sisi lain, strategi ini berisiko membingungkan penonton umum dan menciptakan fragmentasi pasar yang tidak perlu. Terlebih, dalam konteks bioskop yang hanya memiliki jumlah layar terbatas, keputusan untuk menayangkan dua versi bisa mengurangi jangkauan total film itu sendiri.

Baca juga: 5 Perbaikan Soal Penggambaran Perempuan dalam ‘Snyder Cut’

Simbol Melawan Sistem Sensor dari Negara?

Yang menarik, belum banyak yang membahas bahwa dalam konteks perfilman Indonesia, strategi versi uncut juga dapat dibaca sebagai bentuk perlawanan simbolik terhadap sensor. 

Dengan merilis dua versi, sutradara dan produser seakan menyodorkan dua opsi kepada publik: Satu versi yang “aman” dan satu versi yang lebih “jujur”. Ini membuka wacana bahwa strategi uncut bukan sekadar alat pemasaran, melainkan juga medium pernyataan estetika dan politik.

Hal ini memperkaya diskusi tentang siapa yang punya kuasa atas sebuah karya seni: Pembuatnya atau lembaga sensor?

Melihat tren ini, tampaknya perilisan multi-versi akan terus menjadi bagian dari strategi pemasaran film. Terutama bagi karya-karya yang menyasar segmen penonton yang lebih sadar akan nilai orisinalitas dan kebebasan berekspresi.

Namun tantangannya adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara nilai artistik dan kepentingan distribusi massal. Dalam kasus Pabrik Gula, poin kedua tampaknya lebih menonjol. Unsur “jualan” versi uncut sebagai teknik marketing lebih terasa, karena konon bikin penonton penasaran visualisasi apa yang mereka lewatkan jika tidak menonton versi “21+”.

Ralat: Redaksi mengupdate ulang batasan rating usia versi uncut yang sebelumnya ditulis 17+ jadi 21+, dan rating usia versi reguler yang diralat dari 13+ jadi 17+.



#waveforequality
Avatar
About Author

Catra Wardhana

Peneliti dan publisis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *