‘Oppa Always Wins’? Saatnya Tanya Nasib Perempuan di Balik Gemerlap Hallyu
Dari Kim Sae Ron hingga Sulli, sederet perempuan di industri hiburan Korea Selatan mengalami tekanan luar biasa akibat standar ganda dan misogini yang tertanam kuat. Mengapa perempuan selalu jadi korban?

Awal 2025, kabar duka mengguncang dunia hallyu. Aktris muda Kim Sae Ron ditemukan meninggal dunia, diduga akibat bunuh diri, bertepatan dengan ulang tahun aktor popular Kim Soo Hyun. Usut punya usut, keduanya pernah berhubungan, dan Soo Hyun (KSH) diduga memacari Sae Ron (KSR) saat ia masih di bawah umur.
Berita ini diungkap keluarga KSR, yang menyatakan bahwa sang aktris menjalin hubungan dengan KSH sejak masih duduk di bangku SMP, sementara KSH saat itu telah berusia hampir 30 dan sedang berada di puncak karier. Hubungan ini berlangsung saat KSH mendirikan agensi Gold Medalist, tempat KSR turut bergabung dan bekerja. Namun setelah insiden kecelakaan mobil dan kasus mengendarai mobil sambil mabuk (DUI) pada 2022, karier KSR hancur. Ia diserang gila-gilaan, diboikot, proyek drama dibatalkan, dan kontraknya diputus. Ia juga dikenai penalti sebesar 700 juta won oleh agensi milik mantan kekasihnya sendiri.
Pada 2024, ketika KSH tengah dielu-elukan karena drama populer Queen of Tears, KSR mengunggah foto kebersamaan mereka. Warga Korea Selatan langsung menyerang, menuduhnya panjat sosial, dan KSR pun menghapus unggahan itu. Ternyata, menurut keluarga, ia hanya mencoba menghubungi KSH karena kesulitan membayar penalti. Dalam pesan yang kemudian dipublikasikan, KSR menulis: “Aku tidak menolak membayar, tapi jika harus membayar sekaligus, aku benar-benar tidak bisa. Haruskah ini berujung pada gugatan? Tolong selamatkan aku…”
Sayangnya, seruan itu tak pernah mendapat jawaban publik dari KSH. Meski kini ia mengakui pernah menjalin hubungan, ia membantah bahwa hubungan itu dimulai saat KSR masih di bawah umur. Sementara itu, pihak keluarga KSR terus mengungkap bukti dan menuntut keadilan. Namun nyawa KSR sudah tak bisa kembali.
Baca juga: An San dan Maraknya Anti-Feminisme di Korea Selatan
Perempuan di dunia hallyu: Terkesima, terjebak, terluka
Sejak akhir 1990-an, gelombang budaya pop Korea Selatan, dari drama hingga K-pop, sangat diminati penggemar perempuan. Namun, cinta ini kerap jadi buta dan berubah menjadi racun, terutama bagi artis perempuan. Banyak dari mereka dihujat habis-habisan hanya karena terlihat dekat dengan idola pria (oppa), bahkan saat hanya sekadar berakting atau berteman.
Fenomena queerbaiting pun tumbuh, dengan para idol laki-laki menjaga jarak dengan perempuan dan lebih dekat dengan sesama agar dianggap “aman” oleh fans. Di sisi lain, idol perempuan yang dianggap “menggoda oppa” langsung menjadi sasaran ujaran kebencian. Bahkan grup-grup dengan lagu-lagu bertema pemberdayaan perempuan seperti Blackpink dan ITZY tak luput dari hujatan sesama perempuan.
Hubungan romantis dianggap tabu. Jennie Blackpink dihujat karena dugaan hubungan dengan idol pria. Ryujin ITZY sempat dirumorkan berkencan secara diam-diam. Padahal, menjalin hubungan bukanlah kesalahan. Tapi dalam industri hiburan Korea, yang salah selalu perempuan.
Contoh lainnya adalah Seo Yea Ji. Kariernya hancur seketika karena dianggap terlalu posesif terhadap mantan kekasihnya. Ia dihujat, dituduh manipulatif, dan menghilang dari layar kaca. Sementara Kim Seon Ho, yang sempat dituduh memaksa kekasihnya menggugurkan kandungan, akhirnya dimaafkan setelah “terbukti tidak bersalah.” Sekarang, ia kembali dielu-elukan dan tampil dalam banyak drama serta fan meeting internasional.
Kita melihat pola yang sama: ketika laki-laki terlibat skandal, ia diberi ruang untuk klarifikasi, bangkit, bahkan dikasihani. Tapi ketika perempuan melakukan hal yang sama, ia langsung diadili dan dikucilkan.
Baca juga: Kontroversi Hwasa: Gambaran Misoginis Penonton Korea
Dari Sulli hingga KSR: Mau sampai kapan?
Salah satu kisah yang paling menyakitkan adalah kisah mendiang Sulli, mantan anggota F(x) yang berani mengekspresikan diri secara terbuka. Ia mengusung feminisme, tampil tanpa bra, dan memilih proyek akting yang lebih dewasa. Tapi publik tak menerimanya. Ia dianggap menyimpang dari citra perempuan “suci dan naif” ala Korea. Hujatan tiada henti akhirnya mengantarnya pada keputusan tragis: bunuh diri.
Baca juga: Perempuan Korea Selatan Lawan Diskriminasi lewat ‘Hallyu Wave’
Kematian KSR dan Pertanyaan yang Tak Kunjung Usai
Kim Sae Ron telah pergi. Tapi kematiannya meninggalkan pertanyaan besar tentang bagaimana industri hiburan Korea memperlakukan perempuan. Apakah adil bila seorang aktris dihukum sepanjang hidupnya karena satu kesalahan, sementara aktor bisa bangkit dan tetap disambut sebagai “anak baik”?
Dan sampai kapan perempuan di industri ini harus membayar harga yang jauh lebih mahal hanya karena berani menjadi diri sendiri?
Budaya patriarki di Korea Selatan masih kuat, diperkuat oleh nilai-nilai Konfusianisme yang menempatkan perempuan dalam posisi inferior. Sayangnya, banyak fans internasional, termasuk di Indonesia, ikut mempertahankan narasi ini. Kita di Indonesia, sebagai salah satu pasar hallyu terbesar, juga berperan. Lihat saja linimasa X (Twitter), penuh dengan cuitan yang memuja oppa dan menghujat idol perempuan. Kita menertawakan, menyebarkan gosip, bahkan tanpa sadar ikut memperkuat sistem yang membuat perempuan-perempuan ini menderita.
Kasus Kim Sae Ron vs Kim Soo Hyun belum selesai. Tapi yang jelas, nyawa seorang perempuan telah hilang. Ia dibungkam oleh sistem, dikorbankan oleh standar ganda, dan dilupakan oleh industri yang seharusnya membesarkannya. Apakah adil bila seorang aktris dihukum sepanjang hidupnya karena satu kesalahan, sementara aktor bisa bangkit dan tetap disambut sebagai “anak baik”?
Industri hallyu adalah wajah lain dari masyarakat Korea Selatan: penuh keindahan, pesona, dan talenta, tapi juga dibayangi oleh ketimpangan dan patriarki. Sampai kapan perempuan di dunia hiburan Korea terus jadi korban? Dan sampai kapan kita sebagai penikmat Hallyu akan terus menutup mata?
S. Hanifa Azanda adalah peneliti ilmu sosial dan pemerhati gender dan kesehatan mental.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
