December 5, 2025
Culture Gender & Sexuality Opini Screen Raves

‘Pantaskah Aku Berhijab’ dan Sentimen Anti-aborsi di Dalamnya

Saat simbol hijab jadi perangkat moral, dan aborsi dianggap dosa mutlak, kita harus bertanya: Ruang siapa yang sedang diperjuangkan, dan suara siapa yang sedang disenyapkan?

  • April 24, 2025
  • 5 min read
  • 2076 Views
‘Pantaskah Aku Berhijab’ dan Sentimen Anti-aborsi di Dalamnya

Pantaskah Aku Berhijab, sekilas dijual sebagai drama bernuansa religi dan menyajikan konflik personal yang kompleks. Namun, di balik narasi yang tampak emosional dan penuh harapan, saya menutup aplikasi Netflix dengan perasaan cukup terusik. Film ini menormalisasi konservatisme melalui simbol hijab, dan—yang lebih mengkhawatirkan lagi—narasi anti-aborsi yang tidak memberi ruang bagi diskusi yang setara.

Film yang disutradarai Hadrah Daeng Ratu ini mengikuti kisah Sofi (Nadya Arina), seorang anak perempuan pertama yang tinggal dengan ibu dan dua adik perempuan usia SD. Ia kehilangan figur ayah dan terjebak dalam hubungan asmara yang tidak sehat. 

Saat film dibuka, ia adalah pengangguran pencari kerja, dan tengah mencoba peruntungan ikut casting sebuah iklan. Sofi mengalami kehamilan yang tidak diinginkan dengan pacar jarak jauhnya, yang tinggal di Bandung. Dalam masa-masa sulit, satu-satunya tempat bersandar baginya adalah sang sahabat, Aqsa (Bryan Domani). 

Ketika Sofi mencoba berdamai dengan situasi hidupnya yang sedang carut marut, pekerjaan sebagai pegawai butik pakaian muslim membuatnya harus mengenakan hijab dalam keseharian; sebuah titik balik yang membuatnya mempertanyakan nilai diri sendiri.

Konflik utama film bukan hanya pada transformasi penampilan, tapi keputusan moral terkait kehamilan di luar nikah.

Sofi sempat mempertimbangkan aborsi, tapi keputusannya digagalkan oleh sang ibu, Hamidah (Dhini Aminarti), perempuan religius dan berhijab. Penolakan terhadap aborsi ditampilkan secara mutlak, seolah tidak butuh pembenaran rasional, dan lebih bersifat given.

Baca juga: Niyala dan Kenapa Perempuan Harus Menikah dalam Film-film Islami?

Sentimen Anti-aborsi dan Konservatisme

Ketika bicara tentang representasi aborsi di media populer Indonesia, pendekatan seperti dalam film ini bukanlah hal baru. Seperti diungkap oleh Sandria et al. (2025), media di Indonesia cenderung menghadirkan narasi yang pro-kehidupan tanpa memberi ruang pada perspektif hak tubuh dan keselamatan perempuan. Ini berbeda dengan narasi yang muncul dalam beberapa produksi Asia Tenggara lainnya yang lebih plural dalam merepresentasikan kompleksitas keputusan aborsi (Arnez, 2024).

Dalam Pantaskah Aku Berhijab, tidak ada ruang bagi Sofi untuk mendiskusikan pilihan-pilihannya. Aborsi langsung dibatalkan oleh sang ibu, tanpa dialog apa pun, seolah moralitas kolektif masyarakat adalah satu-satunya penentu. Penolakan tersebut bukan hanya keputusan personal Hamidah sebagai karakter, tetapi seakan mencerminkan posisi ideologis film itu sendiri.

Pilihan Sofi untuk mengenakan hijab dalam film dikaitkan langsung dengan proses pemurnian diri. Hal ini bukan semata kritik terhadap hijab sebagai pilihan pribadi; melainkan pembacaan terhadap bagaimana hijab dalam konteks budaya populer Indonesia telah menjadi simbol moralitas yang dibentuk oleh masyarakat. 

Terlebih, saat Sofi mulai berhijab, Aqsa yang karakternya kemudian berkembang menjadi love interest potensial bagi Sofi, memberi sinyal bahwa Sofi versi berhijab lebih menarik perhatiannya (yang kemudian membangkitkan rasa ketertarikan). 

Dalam praktik keseharian, fenomena hijrah dan berhijab sering disambut dengan ekspresi “semoga istiqomah”, “alhamdulillah sudah dapat hidayah”, yang sebenarnya mencerminkan ekspektasi sosial atas penampilan perempuan. 

Dalam kajian Sarah Brenner (1996), jilbab di Indonesia bukan hanya ekspresi iman, tapi juga alat kontrol sosial yang berkelindan dengan politik dan budaya. Narasi film ini juga memperlihatkan ketimpangan kuasa antara ibu-anak, di mana ibu yang berhijab memiliki legitimasi moral lebih tinggi. Dengan demikian, ketika ibu mencegah Sofi melakukan aborsi, penonton cenderung digiring untuk menerima keputusan itu sebagai sesuatu yang benar secara absolut, bukan pilihan terbuka.

Baca juga: Hari Menghapus Stigma Aborsi: Pentingnya Sediakan Layanan Aborsi Aman

Melampaui Dikotomi Pilihan Pribadi

Saya sadar betul bahwa kita perlu hati-hati dalam menarasikan hijab sebagai simbol konservatisme. Hijab tidak hanya milik Islam; ia hadir pula dalam Yahudi dan Kristen Timur, dan memiliki akar historis panjang di budaya Timur Tengah. Di Indonesia, sejarahnya juga politis: Dari pelarangan jilbab di era Orde Baru, hingga institusionalisasi jilbab sebagai seragam ASN dan pelajar di era Reformasi.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyederhanakan diskursus hijab, apalagi menjadikannya kambing hitam konservatisme. Namun kenyataannya, tekanan sosial atas perempuan untuk berhijab (dan menjadi “perempuan baik-baik”) telah ter-institusionalisasi di berbagai level kehidupan sosial kita, dan film ini memperkuat kecenderungan tersebut.

Narasi konservatif yang anti-aborsi seperti dalam film ini berbahaya karena menghapus kompleksitas pengalaman perempuan. 

Keputusan untuk melakukan aborsi seringkali lahir dari situasi yang penuh tekanan: Kondisi finansial, kekerasan, kesehatan mental, hingga keselamatan hidup. Dalam laporan oleh Freeman dan Nandagiri (2023), representasi visual yang simplistis terhadap aborsi di media kerap merugikan perempuan karena membentuk stigma yang mendalam.

Baca juga: Larangan Cadar Tak Masuk Akal, Tak Seperti Alasan Perempuan Memakainya

Dalam dunia nyata, akses terhadap aborsi yang aman adalah hak reproduksi. Ketika film seperti Pantaskah Aku Berhijab menghilangkan diskusi itu. Kita bukan hanya bicara soal pilihan naratif, melainkan soal bagaimana film ikut membentuk imajinasi publik tentang mana yang dianggap benar secara moral.

Dinilai dari unggahan bernada positif tentang Pantaskah Aku Berhijab dengan jumlah likes jutaan yang berseliweran di TikTok saya, sepertinya sah untuk bilang kalau film ini sukses menyentuh dan menggugah emosi mayoritas penontonnya.

Namun, di balik pesan moral yang diselipkan, film ini juga memperlihatkan bagaimana konservatisme dan nilai kolektif bisa membungkam pilihan personal perempuan. Ketika simbol hijab menjadi perangkat moralitas, dan aborsi dianggap sebagai dosa mutlak, kita harus bertanya: Ruang siapa yang sedang diperjuangkan, dan suara siapa yang sedang disenyapkan?

About Author

Catra Wardhana

Periset dan penulis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.

Leave a Reply