“Maaf, Mbak Nyonya atau Nona?” tanya suster di rumah sakit.
“Nona,” jawabku. “Sudah pernah berhubungan seksual?” mereka bertanya lagi.
“Sudah,” jawabku.
Suster-suster mulai berbisik satu sama lain, “Bagaimana ini? Kita tidak bisa menerima pasien nona, harus nyonya.”
Diskusi itu berlangsung di depanku, seolah aku tidak ada. Akhirnya, seorang suster berkata, “Mungkin kita biarkan konsultasi dengan dokter dulu.”
Walaupun aku datang tepat waktu dan membawa semua surat rujukan dari puskesmas, aku dijadikan pasien terakhir. Saat masuk ke ruang pemeriksaan, dokter menjelaskan, “Maaf Ibu, pap smear hanya bisa dilakukan kepada orang yang telah bersuami.”
Padahal aku adalah korban kekerasan seksual dan membutuhkan layanan pap smear untuk mencegah risiko kanker serviks.
Pagi harinya, aku sudah menjalani Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Dari pemeriksaan itu, ditemukan dua lebam biru di bibir rahimku. Puskesmas kemudian merujukku ke fasilitas kesehatan lanjutan, dan faskes merujuk lagi ke rumah sakit untuk menjalani pap smear segera pada hari yang sama.
“Maaf, Dok, saya tidak ada niat bersuami,” jelasku kepada dokter spealis kandungan. Dokter tertawa, “Maaf Bu, saya tidak mau disalahkan suami ibu jika nanti vagina ibu sudah saya ‘colok’.”
Aku menjawab, “Kalau soal ‘dicolok’, Dok, pagi tadi saya sudah IVA, jadi secara teknis vagina saya sudah diperiksa juga.”
Namun dokter tetap menolak, dan aku dipersilakan keluar. Dengan suara pelan, dokter berbisik kepada suster, “Sudah kuduga, pasien seperti ini memang tidak bisa kita layani sejak awal.” Penilaian moral itu membuatku jelas-jelas dianggap bukan perempuan baik-baik.
Kejadian ini berlangsung di Makassar, di rumah sakit ibu dan anak milik seorang anggota dewan. Layanan pap smear akhirnya diperbolehkan hanya dengan persetujuan keluarga, menjadikan otoritas tubuhku milik keluarga, bukan diriku sendiri.
Baca Juga: Ketiadaan Izin Suami Hambat Deteksi Kanker Serviks
Diskriminasi Sistemik dan Dampaknya
“Ganti obgyn saja,” saran psikiaterku dan teman-teman aktivis. Solusi pragmatis memang ada, tapi masalahnya lebih luas: Diskriminasi struktural terhadap perempuan yang belum menikah dalam mengakses layanan kesehatan reproduksi.
Artikel Tirto.ID yang ditulis Aditya Widya Putri (2020) menunjukkan, beberapa perempuan ditolak untuk menjalani pap smear padahal sudah melakukan aktivitas seksual. Padahal tujuan pap smear adalah pencegahan kanker serviks, yang tetap relevan bagi semua perempuan aktif secara seksual, menikah atau belum.
Beberapa teman aktivis juga berkomentar, “Dokter semacam itu tidak paham dan teredukasi tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi.” Bahkan Badan Penyelenggaraan Jaminan Soaial (BPJS) Kesehatan pernah menolak pasien untuk pap smear jika statusnya belum menikah, padahal risiko kanker serviks tetap ada.
Diskriminasi ini mengirim pesan yang jelas: Otoritas tubuh perempuan bukan berada di tangannya sendiri, melainkan di tangan suami atau keluarga. Padahal otoritas tubuh seharusnya sepenuhnya berada pada perempuan itu sendiri.
Baca Juga: Misdiagnosis, Problem Laten yang Ancam Kesehatan Perempuan
Masih Adakah Solusi?
Aku beruntung memiliki jaringan aktivis dan psikiater yang mendukung. Namun anggota dewan pemilik rumah sakit tersebut tetap memiliki kekuasaan, dan peraturan diskriminatif terus berlaku. Jika kelak aku memiliki kekuatan, aku bertekad memastikan, akses layanan kesehatan seksual dan reproduksi diberikan bagi semua perempuan, menikah atau tidak.
Karena tidak menikah adalah pilihan, dan tubuh perempuan adalah haknya sendiri. Seharusnya, tidak ada perempuan yang harus menunggu status pernikahan untuk mendapatkan pemeriksaan penting demi kesehatannya.
“All feminists in the world, unite!”
Dian Aditya Ning Lestari Crisis Responder at BISA Helpline, Member of Politics 4 Her, Journalist at Luminasi.
















