Papua Terbelah: Tepatkah Terjunkan TNI/ Polri untuk Ajari Anak-anak?
Ada yang setuju dan mengapresiasi kehadiran TNI/ Polri di sektor pendidikan, mengingat sulitnya medan dan rawannya konflik bersenjata. Namun, banyak yang antipati.
Kita tahu, kasus kematian guru dan pembakaran sekolah tak absen dari tanah Papua selama beberapa tahun terakhir. Ini dilatarbelakangi oleh serangan kelompok bersenjata yang kemudian menyebabkan trauma di antara para guru.
Trauma ini bahkan menyebabkan banyak guru tersebut enggan berangkat mengajar. Banyak murid di Papua pun menjadi terancam putus sekolah.
Untuk mengatasinya, pemerintah menerjunkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan juga Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) ke sekolah-sekolah untuk mengajar murid dengan mengenakan atribut seragam lengkap dan topi adat. Mereka juga menjemput anak-anak ke sekolah dengan kendaraan patroli.
Ada yang setuju dan mengapresiasi kehadiran aparat keamanan di sektor pendidikan, mengingat sulitnya medan di dataran tinggi Papua dan juga rawannya konflik antara kelompok bersenjata.
Namun ada juga yang tidak setuju. Ketidaksetujuan tersebut, misalnya, terlihat dengan kedatangan orang tua ke sekolah yang menolak anaknya diajar oleh polisi. Ada juga demo penolakan karena tidak sesuai dengan pendekatan pengajaran yang diterapkan kurikulum pendidikan Indonesia, maupun kritik kehadiran aparat keamanan di sekolah akan mengganggu aktivitas belajar mengajar.
Pihak gereja pun menyatakan ketidaksetujuan karena dianggap dapat memicu rasa trauma pada anak-anak.
Tepatkah kehadiran TNI dan POLRI dalam sektor pendidikan?
Baca juga: Kami Perempuan Melanesia, Kami Ada, dan Kami Cantik!
‘Fobia Loreng’ dan Trauma pada Anak-anak
Di Papua, ada stereotip yang melekat pada aparat keamanan. Peneliti antropologi Sophie Chao menyebutnya sebagai ‘fobia loreng’.
Fobia ini merujuk pada ketakutan di kalangan orang Papua ketika melihat aparat keamanan, khususnya TNI yang berseragam loreng. Ini terbentuk karena anggapan orang-orang Papua bahwa aparat keamanan identik dengan kebrutalan dan kekerasan.
Selama ini, misalnya, aparat keamanan diduga kerap melakukan tindakan kekerasan terhadap siapapun yang dianggap ‘makar’ terhadap negara tanpa melalui proses pembuktian. Kekerasan ini kerap menuai korban orang asli Papua yang seringkali adalah petani dan penduduk dataran tinggi.
TNI pun telah mengeluarkan program ‘operasi psikologi’ dan ‘operasi teritorial’ untuk meredam fobia loreng ini dengan melakukan pendekatan psikologis dan membuka komunikasi terbuka dengan masyarakat Papua, serta lebih mendengarkan aspirasi mereka – selama tidak menyerukan kemerdekaan dari Indonesia. Namun, hinga kini penulis belum menemukan penelitian tentang efektivitas program ini.
Saya memperkirakan, fobia loreng ini pun diwariskan pada anak-anak di Papua.
Menurut penelitian pada 2016 di Amerika Serikat (AS), semenjak usia 5 tahun, anak-anak itu sudah menyerap stereotip negatif yang melekat pada kelompok lain. Besar kemungkinan, anak-anak di Papua pun akan menginternalisasi ‘fobia loreng’ dari keluarga atau orang-orang sekitar yang pernah menyaksikan atau menjadi korban.
Padahal, teori bioekologis dalam perkembangan manusia yang dikemukakan oleh peneliti psikologi Urie Bronfenbrenner dan Pamela Moris menjelaskan, kondisi lingkungan yang rawan konflik menyebabkan trauma pada anak-anak. Ini juga berakibat pada disfungsi perkembangan mereka.
Sebuah kajian pada 2015 juga menyebutkan bahwa trauma berdampak negatif pada perilaku dan pembelajaran siswa.
Dampak psikososial yang muncul akibat kehilangan sanak saudara maupun kerusakan akibat konflik bersenjata bisa berakibat pada gangguan emosi, perilaku, dan memori anak.
Baca juga: Diskusi SARA dihindari, Rasialisme terhadap Warga Papua Menguat
Memberikan Rasa Aman pada Murid di Papua
Patut disayangkan sektor pendidikan menjadi korban dalam konflik di Papua. Sekolah terbakar, guru trauma, dan murid-murid pun takut.
Apabila infrastruktur pendidikan aman, kesejahteraan guru terjamin, dan anak-anak bebas dari rasa takut, maka generasi muda di Papua pun akan lebih terlibat dalam pembangunan sumber daya manusia. Hal ini juga dapat menjauhkan mereka dari kemungkinan bergabung dalam kelompok bersenjata.
Strategi menerjunkan TNI dan POLRI untuk mengajar anak di Papua ini, menurut saya, layaknya menutupi luka yang telah bernanah dengan plester. Luka itu mungkin bisa tertutup, tetapi tidak benar-benar sembuh. Kita perlu membersihkan luka itu sampai ke akarnya agar benar-benar sembuh.
Karena itu, penting sekali bagi anak-anak untuk memperoleh rasa aman dalam sekolah dengan guru-guru yang sudah terlatih untuk mendukung perkembangan anak. Pendidikan harus bersifat netral, tidak mengisi ruang untuk ketegangan konflik.
Menurut saya, pendekatan yang lebih tepat adalah menyediakan guru yang telah mendapatkan pelatihan khusus untuk zona rawan konflik. Hal ini akan membantu siswa mengatasi rasa trauma.
Selain itu, Papua juga memerlukan ruang dialog yang inklusif untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan. Dunia pendidikan Indonesia – dan pada akhirnya anak-anak kita – tidak boleh lagi menjadi korban.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.