Issues

Terasing di Tanah Sendiri, Kitorang Papua Cuma Mau Sekolah Tinggi

“Saya ingin menjadi suster, karena guru-guru di Papua baik,” kata Setapia, siswa SMP yang belum lancar membaca.

Avatar
  • December 15, 2021
  • 3 min read
  • 702 Views
Terasing di Tanah Sendiri, Kitorang Papua Cuma Mau Sekolah Tinggi

Namanya Setapia Kalaka. Bapak ibunya telah tiada, meninggalkan beban berat yang ia pikul di pundak sebagai kakak tertua untuk dua adiknya. Anak perempuan yang berasal dari Distrik Okbibab itu kini duduk di bangku kelas VII SMP Bulangkop, Distrik Ok Aom, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua. Setapia biasa-biasa saja dalam Ilmu Sains atau Bahasa, pun belum lancar membaca. Ini wajar belaka mengingat ia pernah putus sekolah sebelumnya.

Namun, ada yang spesial darinya. Laiknya semua anak di mana saja, ia punya imajinasi di kepalanya. Kelak, ia ingin jadi perawat untuk orang sakit. Ketika ditanya mengapa? Jawabannya sederhana, “Sa mau kasih obat sama orang-orang sakit di sini, banyak anak beringus, sakit kepala, sakit perut.” Jawaban yang auto-bikin nyess karena mimpinya berangkat dari problem lama yang ada di tanah kelahirannya: Anak-anak sakit, kurang gizi, tak terdidik.

 

 

Kami di Masa Depan Papua, komunitas yang fokus di pendidikan anak-anak setempat takjub sekaligus bingung. Bagaimana bisa menguasai banyak pengetahuan dan menjadi suster, jika Setapia masih terbata-bata baca aksara. Kami mulanya berpikir, pengetahuan idealnya didapat lewat proses formal membaca dan menulis.

Namun, dari Setapia kami sadar, ilmu pengetahuan bisa diperoleh dari mana saja. Dari pengalaman kamu, dari pertemuanmu dengan orang lain, dari siapa saja. Adalah tugas kami dan kamu agar anak-anak seperti Setapia bisa diantar menuju cita-citanya. Masalahnya, anak seperti Setapia ada banyak sekali, kebingungan karena tak bisa membaca, terbatas dari segi ekonomi, tapi punya mimpi untuk sekolah tinggi.

Baca juga: Kami Perempuan Melanesia, Kami Ada, dan Kami Cantik!

Di tengah keresahan itu, pada suatu pagi, kami mengajak semua anak keluar kelas, di mana gunung terbentang dan lapangan dengan banyak bunga liar bertaburan. Setapia dan teman kelasnya diminta mencari tanaman. Syaratnya, tanaman harus memiliki bunga, daun, batang, dan akar serta bisa dicabut tanpa harus merusak tanaman lainnya. Ini soal mudah untuk mereka yang akrab dengan alam. Semua anak sudah menuntaskan tugasnya, menempel tanaman di buku, mengidentifikasi, lalu mempresentasikan temuannya.

Hal yang cukup mengejutkan bagi kami, anak seperti Setapia, yang di usianya tidak lancar membaca, mampu menangkap pelajaran dengan cepat, hanya dengan bantuan tanaman liar yang setiap hari ia lihat di kampungnya.

Semua jadi makin masuk akal. Anak Papua tumbuh dalam spektrum budaya yang mengandalkan budaya bercerita (story telling). Dampaknya positif, proses mereka berburu pengetahuan memangkas hambatan-hambatan formal seperti harus bisa membaca dan menulis lancar.

Model pendidikan tradisional Papua ini mengarah pada kecenderungan skill based education. Asalkan seorang anak menguasai skill tertentu, maka ia dikategorikan berpengetahuan. Mari kenali karakteristik itu terlebih dahulu untuk mengajak anak-anak ini berpengetahuan.

Baca juga: Diskusi SARA dihindari, Rasialisme terhadap Warga Papua Menguat

Perihal membaca, menulis, serta berhitung, nanti dulu. Sebab, jika seorang anak telah jatuh cinta pada pengetahuan, ia akan memperluas itu dengan cara apapun. Karena itu, antarkan Setapia dan anak-anak Papua lainnya untuk mengejar pengetahuan dan perubahan dengan jalan yang mereka pahami. Jangan tarik mereka dengan paksa dalam spektrum yang hanya kita kenal—modernitas mendadak yang dipaksakan dan diseragamkan, yang kita kira akan sesuai dan menjadi cara terbaik untuk anak-anak seperti Setapia. 

Baca Juga: Review ‘Orpa’: Ketika Orang Papua Memotret Realitas Masyarakatnya

Melihat realitas pendidikan kita yang diseragamkan sejak dari pusat, tak bisa dimungkiri anak-anak di Papua terasing dari pendidikan yang seharusnya membuat mereka semakin terang. Pendidikan seharusnya membawa anak-anak ini ke garis paling depan bernama globalisasi. Pendidikan juga bisa membawa mereka mahir melihat dan mengelola apa saja yang potensial dari daerahnya. Tentu, yang paling utama, pendidikan juga menjadi titik awal sekaligus akhir agar mereka tak tercerabut dari budaya dan identitasnya.

Ilustrasi oleh Karina Tungari 

 

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.



#waveforequality


Avatar
About Author

Cerita Masa Depan Papua

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *