Issues Politics & Society

Semua (Masih) Bisa Kena, Pasal-pasal Bermasalah dari RUU KUHAP 

Dari pemberian kewenangan luas pada kepolisian hingga membuat perempuan korban kekerasan kian rentan, sejumlah alasan kenapa kita harus kawal RUU KUHAP.

Avatar
  • April 11, 2025
  • 8 min read
  • 4045 Views
Semua (Masih) Bisa Kena, Pasal-pasal Bermasalah dari RUU KUHAP 

Saat ini pemerintah sedang getol membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Dalam Sidang Paripurna ke-13 DPR RI Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024–2025, RUU KUHAP resmi disetujui sebagai RUU usul inisiatif DPR RI.  

Tak cuma itu, RUU KUHAP juga dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025. Jika tak ada aral melintang, RKUHAP bakal mulai berlaku pada 2026 kelak. 

 

Maidina Rahmawati, Deputi Direktur di Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menjelaskan kepada Magdalene, aturan ini mengatur banyak hal. Sebut saja kewenangan aparat hingga jaminan hak-hak warga saat berhadapan dengan hukum. Meski semangat modernisasinya laik diapresiasi—mengingat UU KUHAP sekarang berusia 44 tahun—tapi masih ada sejumlah pasal yang justru bermasalah. 

Pun, pembahasannya juga tak berlangsung transparan. Dalam siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP (termasuk ICJR), (4/2) disebutkan, proses pembahasan aturan ini dilakukan sembunyi-sembunyi. Pembahasannya minim transparansi dan partisipasi publik. Bahkan anggota Komisi III sendiri menyatakan tidak tahu draf awal RUU KUHAP. 

Selain sembunyi-sembunyi, substansi draf RUU KUHAP 2025 menghilangkan rangkaian sejarah pembahasan RUU KUHAP sebelumnya pada 2012. Substansi yang hilang bahkan, kata Maidina, menyangkut kebaruan-kebaruan progresif.  

Contoh, hilangnya konsep hakim pemeriksa pendahuluan (HPP). Padahal konsep ini jadi tonggak pengawasan pengadilan (judicial scrutiny) karena bisa menilai apakah tindakan paksa perlu dilakukan, menguji keabsahan tindakan paksa yang telah diambil, dan pemberian wewenang untuk memeriksa dugaan pelanggaran hak tersangka.  

Baca Juga: Dari Pelanggar HAM, Agamis, hingga ‘Gemoy’: Cara Prabowo Poles Citra demi Kuasa 

Potensi Abuse of Power 

Selain itu, ada pasal-pasal yang berpotensi menciptakan abuse of power. Di Pasal 16 ayat (1e), diatur soal penyelidikan dan sasaran penyelidikan yang secara spesifik mengacu pada penyamaran dan pembelian terselubung pada Pasal 16 ayat (1f). 

Maidina mengungkapkan penyidikan mungkin dilakukan tanpa harus lebih dahulu memberi tahu penuntut umum. Kepolisian dalam pasal itu bahkan diberikan kewenangan di penyelidikan bukan penyidikan. Padahal seharusnya kewenangan itu hanya untuk menjerat kejahatan terorganisasi.   

Kewenangan ini meliputi penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, dan pemeriksaan saksi. Sementara di RKUHAP 2025, jenis pidana tidak dibatasi yang berarti ini berlaku untuk semua tindak pidana. 

“Semua penyidik selain polisi itu harus lapor ke polisi dulu sebelum sampai ke penuntutan umum. Jadi tidak ada otoritas lain yang mengawasi polisi, dia punya kewenangan yang super power,” jelasnya. 

Maidina menambahkan, RUU ini juga memasukkan pengaturan upaya penangkapan paksa. Misalnya, Pasal 89 tentang syarat penangkapan, malah tidak menjelaskan penangkapan harus berdasarkan izin pengadilan. Idealnya, izin penangkapan mesti dikeluarkan dari pengadilan, bisa tanpa izin hanya dapat keadaan tertangkap tangan. 

Lebih lanjut, dalam Pasal 90 ayat (2) RUU KUHAP, tertulis bahwa dalam hal tertentu, penangkapan dapat dilakukan lebih dari satu hari. Hal ini membuat seseorang bisa diperiksa tanpa sebelumnya dia jadi tersangka atau saksi.  

“Jadi tanpa ada status dia pernah diperiksa, seseorang bisa didatangi begitu gitu aja sama penyidik. Terus nanti ditanya-tanyain. Terus dia juga bisa menghentikan perkara,” tambahnya. 

Ia bilang, penahanan dan penangkapan adalah dua hal berbeda. Penangkapan untuk pemeriksaan, sementara penahanan untuk mencegah rusaknya barang bukti, kabur, atau melakukan tindak pidana kembali. Karena itu, jangka waktu penangkapan harusnya dibatasi dengan jelas. 

Ia lalu merujuk Pasal 9 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang mengatur jangka waktu penahanan 48 jam. Penetapan ini menekankan fungsi Habeas Corpus (HBS) dalam konteks peradilan.  

Fungsi ini mengacu pada perintah pengadilan yang mengharuskan pihak yang menahan seseorang untuk membawakan orang tersebut di hadapan pengadilan, agar pengadilan dapat memeriksa legalitas penahanan tersebut. Karena itu, orang yang ditangkap harus dihadapkan ke otoritas imparsial atau hakim untuk dicek kondisi fisik, penangkapannya sah atau tidak, serta dilihat kebutuhan penahanannya.  

“Apakah ada penyiksaan, apakah ada kekerasan. Dan dia bisa menghadirkan penasehat hukumnya atau pengacaranya sehingga dia bisa mendapatkan hak berbicara. Nah fungsi sedasar itu aja Indonesia tidak punya,” jelasnya. 

Menurut Maidina, fungsi HBS sebelumnya tercantum dalam draf RKUHAP 2012. Penangkapan maksimal ditetapkan selama lima hari. Setelah itu baru dihadapkan kepada hakim untuk diuji perlu tidaknya penahanan. Namun, di RKUHAP 2025, fungsi ini hilang. 

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Fadhil Alfathan dalam wawancaranya bersama Kompas.id berbagi kekhawatiran yang sama. Ia bilang pasal itu berpotensi jadi ceruk kesewenang-wenangan polisi padahal selama ini saja kesewenangan itu sudah terjadi. Pasal penangkapan tidak boleh diletakkan dalam situasi yang tidak jelas, seperti ”keadaan tertentu”.  

Membatasi waktu penangkapan dan harus ada pengawasan lembaga penegak hukum lain, adalah cara untuk mengaturnya. Ini agar polisi tidak memiliki wewenang tunggal melainkan ada pengawasan berjenjang dari jaksa dan hakim.  

Terkait Pasal 16, Maidina juga menyarankan untuk dihapus. Alasannya, kewenangan penyelidikan terbatas dan mekanisme penyelidikan sudah diatur di Pasal 5 RKUHAP.  

Baca juga: Setelah Kemenangan Prabowo, Apa yang Bisa Kita Lakukan? 

Bahayakan Perempuan Korban Kekerasan 

Hal mengkhawatirkan lain dari draf paling anyar RUU KUHAP terkait keadilan restoratif. Itu merupakan pendekatan menangani perkara pidana yang bertujuan memulihkan korban, seperti pemberian ganti rugi pengobatan luka fisik dan psikologi, pelibatan korban dalam mediasi penal untuk menyampaikan kerugian dan kebutuhan pemulihannya.  

Masalahnya mengutip dari publikasi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, dalam Pasal 78-83 masih keliru mengira keadilan restoratif sebagai penghentian perkara di luar persidangan (diversi). Padahal keadilan dan diversi adalah dua hal berbeda.  

Selain itu, dalam penyusunan pasal-pasal diversi, RUU KUHAP masih salah memahami apa itu penyelesaian perkara di luar persidangan. Penuntut umum bisa menangguhkan tuntutan pada perkara yang ringan bila tersangka mau memenuhi kewajibannya melakukan hal tertentu, misalnya jika membayar ganti rugi kepada korban.  

Pasal 74-83 RUU KUHAP yang mengatur RJ dilakukan oleh penyidik polisi kemudian dianggap Koalisi Masyarakat Sipil tidak masuk akal. Sebab, urusan penangguhan tuntutan adalah wewenang penuntut umum. Lebih dari itu, penghentian perkara dilakukan pada tahap penyelidikan di mana perkara belum bisa dikategorikan sebagai tindak pidana atau bukan.  

“Anehnya, RUU KUHAP memberikan wewenang penuh mekanisme diversi pada penyelidik dan penyidik kepolisian. Sama sekali tidak ada pengawasan lembaga lain, sangat problematis dan tidak akuntabel. Tanpa kepastian akuntabilitas, proses ini berisiko menjadi alat untuk mengabaikan keadilan bahkan pemerasan. Sama seperti yang terjadi selama ini, lepolisian justru mengintimidasi korban agar mau berdamai,” demikian tulis Koalisi Masyarakat Sipil. 

Maidina menuturkan, keadilan restoratif semakin berbahaya buat korban kekerasan seksual. Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPS) disebutkan, tidak adanya penyelesaian perkara tindak pidana kekerasan seksual melalui keadilan restoratif sebagaimana diatur dalam pasal 22 UU TPKS. Dengan kata lain dengan berlakunya UU TPKS, maka tidak ada lagi kasus kekerasan seksual yang bisa diselesaikan melalui “perdamaian”.  

Namun, imbuhnya, dengan ketentuan soal restoratif ini kepolisian jadi memiliki kewenangan untuk menghentikan perkara. Apalagi realitasnya, kerap ada upaya mendamaikan pelaku dengan korban kekerasan. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam temuan mereka pada 2023 menemukan tiga kasus perkosaan diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif. 

Selain keadilan restoratif, RKUHAP berpotensi merugikan korban kekerasan seksual. Di Pasal 23 RUU KUHAP 2025 dijelaskan, pelaporan atau pengaduan tidak dijamin akan ditindaklanjuti ke atasan penyidik.  

Tidak ada kewajiban dalam batas waktu tertentu penyidik wajib melakukan pemeriksaan dan menyimpulkan tindak pidana yang disangkakan. Hal ini lantaran pelaporan tersebut masih sebatas internal penyidik. Ini tidak memuat pengawasan berjenjang dalam sistem peradilan pidana.  

Selain itu, RUU KUHAP 2025 juga sama sekali tidak mengatur mekanisme keberatan yang bisa diajukan korban tindak pidana jika mengalami penundaan penanganan kasus yang tidak beralasan. Satu-satunya mekanisme pengawasan yudisial yang tersedia dalam RUU KUHAP 2025 hanya praperadilan yang objeknya terbatas.  

Mengutip publikasi yang sama, draf RUU KUHAP 2012 lalu menyebutkan, masalah tidak ditindaklanjutinya laporan berusaha diatasi dengan Pasal 12. Di sana diatur pengawasan berjenjang aparat penegak hukum. Pasal 12 versi draf 2012 itu menegaskan, jika penyidik tidak menanggapi laporan atau pengaduan dalam jangka waktu 14 hari, maka pelapor atau pengadu dapat mengajukan laporan atau pengaduan itu kepada penuntut umum setempat.  

Baca Juga: 5 Catatan Penting dari 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran 

Penuntut umum wajib mempelajari laporan atau pengaduan tersebut. Jika ditemukan cukup alasan dan bukti permulaan adanya tindak pidana, jaksa penuntut umum wajib meminta kepada penyidik untuk melakukan penyidikan dan menunjukkan tindak pidana apa yang dapat disangkakan dalam jangka waktu 14 hari.  

“Jika permintaan tersebut tidak dilakukan, maka pelapor atau pengadu dapat memohon kepada penuntut umum untuk melakukan pemeriksaan dan penuntutan. Pemeriksaan tersebut harus diberitahukan kepada penyidik,”  

Sayangnya pasal ini begitu saja dihilangkan dalam draf RUKHAP. Itu mengapa dalam pertemuan informal Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP bersama Komisi III DPR Selasa (4/25) lalu, mereka mendesak sembilan isu krusial yang perlu masuk dalam RKUHAP yang menjadi tuntutan koalisi.  

Sembilan materi tersebut mulai dari 1) kejelasan tindak lanjut laporan tindak pidana, 2) mekanisme pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny), 3) standar upaya paksa berdasarkan perlindungan HAM, 4) akuntabilitas teknik investigasi khusus, 5) peran advokat dan jaminan keberimbangan proses peradilan pidana, 6) sistem hukum pembuktian dan alat bukti, 7) aturan terkait sidang elektronik dan jaminan asas peradilan terbuka untuk umum, 8) akuntabilitas penyelesaian perkara diluar persidangan, hingga 9) jaminan pemenuhan hak-hak tersangka, saksi, korban kelompok rentan dan disabilitas. 



#waveforequality
Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *