Patah Hati di Tengah Pandemi Itu Berat, Ini Pelajaran yang Saya Dapat
Diputuskan di tengah pandemi memberikan banyak waktu untuk refleksi diri.
Awal April lalu, saya diputuskan oleh seseorang yang sangat saya cintai. Karena kala itu sudah diberlakukan social distancing, perbincangan hanya bisa via chat dan telepon. Tentu berat karena tidak bisa bertemu fisik yang terakhir kali (katanya sentuhan fisik bisa menggoyahkan hati).
Sebenarnya, memang kami banyak bertengkar, tapi banyak juga masa-masa menyenangkan, setidaknya buat saya. Karena itu, ketika diputuskan, saya benar-benar kaget dan sulit menerima. Namun, keputusan sudah diambil dan saya harus bisa ikhlas. Dada saya sampai sakit setiap malam, bahkan siang ketika mau kerja. Patah hati benar-benar berpengaruh secara fisik.
Beruntung saya masih punya teman yang bisa diajak curhat jarak jauh. Namun, kurangnya kontak fisik juga lumayan berpengaruh karena ada kalanya kita hanya mau dipeluk orang-orang yang kita sayang dan yang bisa benar-benar mengerti. Hubungan dengan keluarga juga tidak memungkinkan untuk bisa bercerita meluapkan emosi layaknya dengan teman.
Merasa belum dapat menerima karena diputuskan, saya mencoba mencari jawaban. Banyak waktu saya habiskan untuk mencari informasi di internet yang diharapkan bisa memberikan kejelasan. Lewat media sosial, saya jadi banyak tahu mengenai jenis hubungan yang baik dan buruk.
Banyaknya waktu kosong karena di rumah terus, saya memutar kilas balik adegan apa saja yang membuat dia memilih memutuskan saya begitu saja. Saya ingat tidak menerima ketika dibilang clingy; pembelaan saya waktu itu adalah saya butuh kabar. Saya juga tidak bisa terima dibilang pemarah—saya bilang itu menyampaikan emosi dengan menggebu-gebu. Saya terutama tidak terima dibilang cemburuan, dan waktu itu saya bilang, “Kalau tidak ada apa-apa, kenapa takut cerita?”.
Baca juga: Patah Hati Akibat ‘Ghosting’ Sungguh Melelahkan
Saya tidak bangga dengan pengalaman ini, tapi cukup bersyukur karena sekarang bisa melihat dari kacamata lain.
Ketika menyadari kesalahan-kesalahan tersebut, secara otomatis timbul rasa menyalahkan diri sendiri. Merasa bersalah atas akumulasi tindakan-tindakan negatif dari masa lalu, saya mencoba membuka pembicaraan lagi dengan pasangan, meminta maaf. Tapi jawaban yang datang bukan yang saya harapkan. Walaupun sebenarnya jawaban itu sudah saya duga, saya tetap merasa sakit. Bahkan, kali ini nafas saya terasa semakin pendek, sering gemetar juga.
Saya merasa butuh pertolongan yang lebih serius. Karena pandemi, saya memutuskan konseling online. Dari konseling yang saya jalani, saya diberitahu bahwa kondisi yang saya rasakan itu sudah tergolong anxiety attack. Oleh terapis, saya diajak berpikir dan mendalami diri saya lebih jauh, mengapa saya merasakan cemas dari putus cinta.
Jawaban dalam kasus saya adalah bahwa ada ketidakpuasan dari dalam diri terhadap perkembangan karier saya sehingga saya mengalihkan fokus saya ke sesuatu yang bisa saya atur kala itu: Hubungan percintaan. Saya jadi mencari validasi yang tidak bisa saya dapatkan di karier saya dari relasi saya dan sang mantan.
Patah hati di tengah pandemi memang berat karena tidak banyak yang bisa menghibur, tapi inilah saatnya kita bergantung pada diri sendiri untuk menyenangkan diri sendiri.
Saya juga sadar betapa saya bersikap toksik terhadap diri sendiri, dalam hal ini coping mechanism yang selama ini saya lakukan. Saya sering melakukan self deprecating joke terhadap perasaan negatif saya. Saya kira dengan menertawakan diri sendiri membuat perasaan lebih ringan, tapi saya bukan Mas Tukul yang bisa sukses lewat itu. Efek yang saya dapatkan malah semakin negatif. Saya menjadi semakin tidak percaya diri dalam banyak hal.
Beruntung saya mencari pertolongan di waktu yang tepat. Menurut saya, penting berbicara dengan seorang ahli untuk mengetahui latar belakang dari setiap tindakan kita agar kita tahu apa yang membuat kita jatuh ke lubang yang sama berulang-ulang. Mengutip serial Russian Doll, ketika karakter Ruth berbicara mengenai pentingnya terapis, “That’s why therapists are important. Without them, we are very unreliable narrators of our own stories.”
Saya juga sadar bahwa selesainya hubungan ini bukan hanya salah saya. Munculnya masalah berkepanjangan pasti akibat dari dua pihak yang tidak mampu menguraikan masalah tersebut. Dalam narasi lain, bisa saja pasangan saya lebih sabar, lebih mau mengerti, lebih memberikan aura positif, tapi bukan itu yang saya dapatkan dan saya tidak bisa menyalahkan dia. Dia terbentuk seperti itu dan saya seperti ini. Daripada memfokuskan diri mencari pengganti pasangan yang bisa lebih sabar, pengertian, dan positif, lebih baik saya sendiri yang menjadi orang itu.
Baca juga: Jangan Mau Dicetak Sesuai Keinginan Pacar
Putus di kala pandemi waktu yang tepat untuk bertemu diri sendiri, memperbaiki apa yang salah, merayakan apa yang baik. Saya mulai dengan menerima lebih banyak informasi dan kata-kata positif, mengurangi self deprecating jokes—terutama ketika perasaan hati kurang stabil, mendorong diri untuk bisa fokus pada pekerjaan, menghargai setiap perkembangan diri tanpa buru-buru menghukum atas kekurangannya, mengerjakan hobi yang tertunda, dan lebih menikmati waktu dengan keponakan. Banyak sekali yang bisa saya lakukan untuk lebih menikmati kesendirian.
April yang merupakan bulan ulang tahun saya. Semoga dapat menjadi bulan penyadaran saya setelah bersedih karena ditinggal dan merasa tidak berarti menjadi bangkit berdiri di atas kaki sendiri. Saya harus lebih mencintai diri saya dan orang-orang terdekat yang jelas-jelas mencintai saya sebelum berbagi cinta dengan orang baru. Karena saya yang telah bersama diri saya paling lama, 27 tahun, kenapa harus meminta kebahagiaan dari orang yang kenalnya saja belum ada lima tahun?
Patah hati di tengah pandemi memang berat karena tidak banyak yang bisa menghibur, tapi inilah saatnya kita bergantung pada diri sendiri untuk menyenangkan diri sendiri.