Issues Opini

Payudara Transpuan: Dari Ilusi Identitas hingga Isu Keamanan

Ada persoalan penting di balik keputusan transpuan untuk memasang implan payudara di tubuhnya.

Avatar
  • January 4, 2024
  • 6 min read
  • 1630 Views
Payudara Transpuan: Dari Ilusi Identitas hingga Isu Keamanan

Aku masih ingat ekspresi Sera ketika melihat pantulan dirinya di cermin salah satu kamar indekos di daerah Gowongan, Jogja. Ia cuma mengenakan dalaman merek Coco De Mer, tubuhnya berlenggak-lenggok. Kemudian bibir menyala dengan ulasan gincu merah Revlon yang mungkin sudah kadaluarsa itu merekah. 

“Di balik kutang ini, akhirnya, ada sesuatu.”

 

 

Sebuah Usaha Jadi “Perempuan Seutuhnya”

Dari 30 transpuan di daerah Yogyakarta, hanya tiga orang yang melakukan implan payudara dengan bantuan tenaga medis. Mereka yang beruntung dapat mengakses layanan ini melalui medical tourism ke beberapa negara seperti Thailand. Sedangkan di Indonesia, selain terbatasnya rumah sakit yang mampu, tak semua dokter mau melakukan tindakan tersebut. 

Salah satu rumah sakit di Bali misalnya, menawarkan Rp58 juta untuk implan silikon dan Rp32 juta untuk yang berjenis kantong saline. Alhasil mayoritas dari mereka memilih untuk menggunakan jasa suntik ilegal di beberapa salon yang sudah dipercaya dan direkomendasikan oleh teman-teman di komunitas. 

“Salah satu syarat untuk melakukan SRS (sex reassignment surgery) baik primer maupun sekunder, ya, surat keterangan psikiater. Bahwa memang ada perasaan yang kuat untuk mengubah kelamin. Assesment-nya bisa dua tahun,” tutur Vivi yang biasa dipanggil Mami oleh rekanannya.

Assesment itu enggak murah, loh. Dua tahun juga bukan waktu yang sebentar. Banyak yang menabung bertahun-tahun, belum lagi bagi kami yang penghasilan saja ala kadarnya. Kami kira setelah dapat surat dari psikiater semuanya lancar. Ternyata, uangnya lama-lama habis bukan buat implan, tapi untuk cari dokter.” 

Penolakan dan realitas itu akhirnya menghantam mereka. Terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau membuat pada akhirnya satu-satunya solusi adalah dengan mengakses praktik ilegal. Lebih-lebih untuk mengakses pengobatan di Thailand, banyak dari mereka yang tidak memegang kartu tanda penduduk (KTP), apalagi untuk membuat paspor.

Baca juga: Dear Transpuan, Enggak Ada Standar Wajib untuk Jadi Perempuan

Selain itu, suntik payudara ilegal lebih murah dan tak lagi membutuhkan serangkaian asessment. Dengan membayarkan kurang dari Rp3 juta untuk satu payudara, kemudahan lainnya adalah pembayarannya bisa dicicil.

Kolagen itu dibeli daring atau terkadang kulakan di Pasar Pramuka. Prosedurnya dilakukan di tempat yang jauh dari kata standar untuk pelayanan medis dengan peralatan seadanya. Ditambah mereka tak pernah mendapatkan sertifikasi atau pendidikan untuk melakukan tindakan tersebut. Lagi-lagi perawatan jangka panjang pun menjadi pertanyaan yang tak akan ada jawabannya. Secara sepintas, penyuntikan silikon cair ini menjadi solusi bagi mereka. Mereka coba mengabaikan bahwa ada risiko bekas luka, infeksi, kesalahan bentuk, bahkan hingga nyawa yang jadi taruhan.

Di pertengahan 2022 lalu misalnya, praktik suntik payudara secara ilegal ini mendapatkan perhatian. Khususnya setelah dua transpuan dari Balikpapan harus meregang nyawa karena komplikasi dari implan ilegal. Juli kemarin, satu korban luka berat dan satu orang meninggal akibat praktik yang dilakukan oleh Testy di Kabupaten Bandung. Namun, alih-alih menakar permasalahan dari akarnya, pemerintah justru tutup mata—seolah ikut andil dalam kelanggengan stigma dan prasangka buruk—dan menganggap transpuan sebagai liyan.

Tanpa menyadari bahwa akar praktik ilegal ini karena tak adanya akses terhadap pelayanan kesehatan gender dysphoria. Padahal jelas, Manual Diagnostik dan Statistik Penyakit Mental (DSM) V yang digunakan untuk acuan diagnosis gangguan kejiwaan, juga mencantumkan sex reassignment surgery sebagai treatment bagi penyintas. Selain juga diperlukan sosio-legal transisi maupun treatment hormone. Di era kesehatan tidak lagi dipandang sebagai kesehatan fisik belaka, melainkan juga kesehatan jiwa dan sosial, pemerintah perlu banyak berbenah. 

“Kadang-kadang kita pakai produk hormonal seperti pil KB dan suntik KB, dikombinasikan pakai obat-obatan lain. Payudaranya makin lama makin tumbuh, biasanya nyeri-nyeri juga. Pakainya tergantung, dosisnya makin gede makin cepat juga tumbuhnya. Kalau ada jerawat atau bikin gemuk, biasanya kita cari yang lain. Teman-teman di komunitas banyak yang nggak pelit untuk berbagi.” 

Efek samping dari penggunaan estrogen ini mereka acuhkan, dengan anggapan semakin banyak mengonsumsi hormon estrogen, maka semakin cepat pula mereka bertransisi. Prosedur hormonal ini juga menjamur akibat dari budaya tutur. Mami atau emak-emakan yang biasanya menyarankan tempat untuk suntik yang dilakukan dari teman ke teman. 

Beauty is pain, dengan cantik kami merasa punya self-defense. Peer pressure-nya juga tinggi, dan semua teman-teman di komunitas melakukan hal yang sama, jadi kenapa aku enggak, gitu loh?” ucap Vivi menutup perbincangan kami di telepon. 

Baca juga: Transpuan di Sarang Penyamun: Pengalamanku di Sekolah Putra

Pernyataan Vivi ada benarnya. Dalam artikel yang ditulis Jeje Bahri di Magdalene, ia menyebutkan dorongan transpuan untuk bertransisi secara fisik adalah demi melindungi diri dari diskriminasi. Ini sejalan dengan riset bertajuk Effects of Cisnormative Beauty Standards on Transgender Women’s Perceptions and Expressions of Beauty (2019) yang menyebutkan, tingkat diskriminasi dalam bentuk pelecehan verbal, serangan fisik, dan perlakuan tidak adil cenderung lebih tinggi di individu transgender yang identitasnya terlihat dari penampilannya.

Payudara: Lebih dari Sekadar Persoalan Seksualitas 

“Orang-orang memandang bahwa tak perlu aneh-aneh. Disumpal pakai balon atau tisu pun seharusnya bisa jadi solusi. Tapi mereka salah, payudara bagi kami lebih dari itu. Payudara yang saya lihat di cermin membawa ketentraman bagi jiwa saya. Ketika saya melihat payudara ini, saya merasa seperti tersembuhkan. Masa kecil saya dan perasaan yang saya singkirkan berpuluh-puluh tahun lamanya. Akhirnya, saya menjadi saya. Apa perasaan yang lebih senang dari ketika saya menerima tubuh saya, pada akhirnya?” 

Meskipun menjadi “perempuan utuh” tak selalu dan harus mengikuti standar ideal yang dikonstruksikan oleh masyarakat—lebih-lebih masyarakat heteronormatif—tetapi selama ini hal tersebut yang tertanam di benak mereka. Selama ini, standar-standar ini yang terus mendikte mereka, termasuk standar tentang kepemilikan payudara.

Lebih dari itu, implan payudara adalah sebagai usaha mereka untuk menerima diri mereka sendiri. “Sebab itu kali pertama, aku merasa ada pada tubuh yang tepat.” Dua paradoks yang mungkin sebagian orang tak mampu pahami. 

Penelitian Richard Bränström dalam “Reduction in Mental Health Treatment Utilization Among Transgender Individuals After Gender-Affirming Surgeries: A Total Population Study” (2019) menjelaskan tentang ini. Bahwa ada korelasi positif antara kesehatan mental dengan sex reassignment surgery.

Daniel Jackson dalam “Suicide-Related Outcome Following Gender-Affirming Treatment: A Review (2023) juga melihat turunnya kasus bunuh diri maupun related outcomes terhadap transgender yang mendapatkan perawatan untuk gender dysphoria-nya, termasuk pemberian hormon. Alih-alih dilihat sebagai upaya penyembuhan dan mencapai standar kesehatan setinggi-tingginya, SRS dianggap sebagai perbuatan amoral dan menjijikkan. 

Baca juga: 7 Cara Sederhana Mendukung Komunitas Transgender

Selain itu, perkara hormon dan juga operasi itu adalah pilihan pribadi. Kiranya negara, seperti kata Martha Nussbaum, ada “politik kejijikan” yang melingkupi pembuatan kebijakan ataupun langkah-langkah yang seharusnya dilakukan untuk memenuhi hak warga negaranya. Martha menegaskan bahwa rasa jijik cukup melegitimasi untuk tidak melegalkan suatu praktik meskipun praktik tersebut tidak membahayakan pihak ketiga. Selain itu, dikotomi jenis kelamin yang terus menjadi arus utama dalam legal reform di Indonesia, tanpa memandang bahwa transpuan juga warga negara, membuat mereka semakin terpinggirkan.

Ah tapi lepas dari itu, terakhir kali kutemui Sera, setelah satu bulan ada di rumah sakit. Ia lalu berujar kepadaku dengan tertawa,“Transpuan tak akan mati karena silikon yang merembes.” 

Rama Agung adalah Taurus yang lulus dari Fakultas Hukum dan melanjutkan kembali pendidikan di fakultas yang sama. Namun, memilih lebih fokus pada isu-isu gender dan seksualitas. Dapat ditemukan di warung pecel lele terdekat. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Rama Agung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *