Agar Tak Lenyap dalam Senyap: Begini Media Seharusnya Beritakan Femisida
Pembunuhan terhadap perempuan kian marak terjadi. Media punya peran penting untuk memastikan produksi berita yang berperspektif korban.
Perempuan asal Ciamis dibunuh oleh suaminya saat sedang ingin berangkat ke acara pengajian, (3/5). Pembunuhan tersebut menambah panjang deretan kasus femisida dalam lima bulan terakhir. Femisida bukan pembunuhan biasa, korban dihabisi karena gendernya yang perempuan.
Dikutip dari Laporan Kasus Femisida dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), berdasarkan proses penyaringan pemberitaan sepanjang Oktober 2022 hingga November 2023, terdapat 159 pemberitaan kasus pembunuhan yang mengindikasikan tindakan femisida. Tindakan ini terdiri dari eskalasi kekerasan, kekerasan berulang dan berlapis, maskulinitas toksik, hingga relasi kekuasaan yang berkekerasan.
Komnas Perempuan juga menyebutkan, angka femisida di Indonesia tercatat meningkat secara tajam. Angkanya empat kali lipat lebih banyak sejak 2017 hingga kini. Pelakunya pun beragam. Namun, porsi pelaku terbanyak dipegang oleh pasangan, baik suami maupun pacar korban, yang termasuk ke dalam kategori femisida intim.
Sayang, meskipun kasusnya kian marak, femisida masih tak dikenal di Indonesia. Berdasarkan kajian Komnas Perempuan, tidak dikenalnya pengabaian hak atas hidup perempuan ini lantaran belum ada data terpilah dari pihak kepolisian. Selama ini, kasus pembunuhan terhadap perempuan masih dikategorisasikan sebagai tindak pidana pembunuhan umum. Padahal, femisida memuat unsur yang berbeda. Femisida terjadi karena adanya relasi kuasa gender yang timpang antara perempuan dan laki-laki, dan hal ini tidak dapat teridentifikasi apabila femisida cuma dimasukkan sebagai tindak pidana pembunuhan umum.
Pada kajian yang bertajuk “Femisida Tidak Dikenal: Pengabaian Terhadap Hak Atas Hidup dan Hak Atas Keadilan Perempuan dan Anak Perempuan” (2021), Komnas Perempuan menyoroti peran media dalam produksi berita. Lembaga ini juga memberikan rekomendasi buat jurnalis yang meliput isu tersebut.
Sebagai pihak yang berpengaruh pada khalayak, kata Komnas Perempuan, media perlu hati-hati menarasikan femisida. Salah sedikit, pemberitaan femisida justru bisa menimbulkan efek samping berbahaya. Pusparini (2021) dalam artikelnya “Pembingkaian Pemberitaan Kasus Femisida pada Media Online” menyebutkan, pemberitaan femisida dengan framing yang tidak tepat bakal merugikan korban. Tak cuma itu, pemberitaan juga bakal melahirkan anggapan-anggapan keliru seperti kepemilikan nyawa korban hingga kecenderungan untuk victim blaming.
Baca juga : Mutilasi Perempuan adalah Femisida: Mereka Dibunuh karena Gendernya
Yang Luput dari Pemberitaan Media Terkait Femisida
Dari tulisan Pusparini didapati, banyak media yang masih abai, mengedepankan sensasi, dan nihil perspektif gender saat memberitakan femisida. Mayoritas media masih menempatkan perempuan sebagai objek, alih-alih subjek dalam pemberitaan. Selain itu, media sering kali tidak berfokus pada penjelasan struktur sosial seperti patriarki dan misogini, sebagai penyebab utama terjadinya femisida.
Dalam hal ini, media pun masih sering menempatkan korban sebagai satu-satunya pihak yang harus bertanggung jawab atas pembunuhan yang mereka alami. Pada temuannya, korban kerap dibingkai sebagai penyebab terpancingnya emosi pelaku sehingga terjadilah femisida. Pembingkaian macam ini membuat peristiwa pembunuhan seolah-olah tampak beralasan. Tindakan pelaku yang membunuh perempuan jadi satu hal yang wajar untuk dilakukan karena didasari alasan tertentu. Padahal faktanya, femisida adalah pembunuhan tanpa alasan yang diada-adakan.
“Akibatnya, persepsi pembaca terhadap korban pun akan bergeser. Alih-alih empati yang muncul, korban bakal terus disalahkan. Kasihan sekali perempuan, sudah mati pun masih disalahkan.”
Sementara itu, Fairbairn dalam artikelnya “Canadian News Coverage of Intimate Partner Homicide: Analyzing Changes Over Time” (2013) menjelaskan, femisida kerap digambarkan sebagai kasus individual. Bukan sebagai bagian dari pola kekerasan terhadap perempuan, femisida cuma dianggap sebagai pembunuhan yang dimotivasi oleh keadaan pribadi. Padahal pembunuhan terhadap perempuan adalah persoalan besar yang memerlukan keterlibatan banyak pihak.
Dalam simpulan artikel tersebut, ditemukan bahwa kegagalan media saat menggambarkan femisida dapat menghambat upaya perubahan struktural, terutama terkait kesetaraan gender.
Baca juga : Tak Hanya Fisik: Kenali Bentuk-bentuk Kekerasan Berbasis Gender di Ranah Privat
Bagaimana Seharusnya Media Meliput Femisida?
Sebagai pihak yang dapat memberikan pengaruh, mutlak bagi media untuk memperhatikan produksi berita femisida. Hal ini penting karena narasi berita dapat berkontribusi pada pemahaman sehari-hari di masyarakat terkait kasus yang satu ini
Rose, peneliti asal Kenya, dalam artikelnya bertajuk “News media framing of femicide: an analysis of Kenyan newspapers’ reports on the killing of two women” (2021) merekomendasikan pada media untuk menghindari pola penulisan berita yang bernuansa victim blaming. Tidak ada yang bisa dibenarkan dari pembunuhan terhadap perempuan. Media perlu memainkan peran dalam menangani kejahatan ini dengan liputan yang konsisten dan bertanggung jawab. Lebih lanjut, media perlu melibatkan pihak berwenang sebagai aktor yang berperan dalam penyelesaian kasus seperti femisida.
Selain itu, penggambaran masalah secara menyeluruh menjadi hal utama dalam pemberitaan femisida. Menurut Sarah Stillman, dalam artikelnya “The Missing White Girl Syndrome: Disappeared Women and Media Activism” (2007), penggambaran profil personal korban perlu diminimalkan agar persepsi pembaca terkait korban yang “layak” dan “tidak layak” dapat terhindarkan. Dengan melakukan hal ini, media dapat membantu menumbuhkan empati pembaca. Misalnya dengan menghindari narasi berita yang menganggap kematian perempuan sebagai tindak pembunuhan umum, wajar, dan memang seharusnya.
Baca juga: Jangan Takut Mencampuri, Bantu Korban KDRT
Terakhir, mengutip Camelia dan Jenifer dalam penelitiannya yang bertajuk “Killings in Context: an Analysis of the News Framing of Femicide” (2018), femisida perlu digambarkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat. Tujuannya untuk meningkatkan persepsi pembaca terkait tanggung jawab pemerintah dalam mengatasi kasus semacam ini. Pembunuhan terhadap perempuan tidak terjadi begitu saja. Femisida adalah masalah sosial yang besar, sehingga butuh respons serius.