Pekerja Muda Indonesia di SpaceX dan Tesla: Bermanfaat atau Kebocoran Talenta?
Pada akhirnya kesempatan pengembangan talenta ini akan membawa manfaat balik bagi Indonesia dalam bentuk jaringan perekonomian.
Belakangan, kita sering mendengar perbincangan soal pekerja muda yang sibuk berkarya di perusahaan top luar negeri. Salah satunya, Kevin Nizam, lulusan teknik elektro yang bekerja di raksasa mobil listrik Tesla. Ada juga Ars Vita Alamsyah yang ramai dibicarakan karena notabene merupakan perempuan muslim pertama dari Indonesia yang bekerja untuk perusahaan dirgantara SpaceX.
Namun, di balik hiruk pikuk rasa bangga publik, ada juga perdebatan menarik mengenai sepak terjang para pekerja diaspora Indonesia: Apakah kiprah mereka di luar negeri bermanfaat buat Indonesia secara ekonomi, atau justru bentuk kegagalan negara dalam mempertahankan telanta lokal – yang kerap disebut ‘brain drain’?
Kami berbincang dengan beberapa peneliti ekonomi dan manajemen untuk menjawab pertanyaan ini.
Baca juga: Menjadi Perempuan Buruh Pabrik di Indonesia
Talenta Butuh Lingkungan yang Pas
Menurut Muhammad Yorga Permana, Dosen Manajemen di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan juga mahasiswa doktoral di London School of Economics (LSE), dorongan utama pekerja Indonesia dalam berkiprah di luar negeri adalah mencari lingkungan yang dapat mendukung talenta mereka.
“Talenta yang terbaik itu memilih mencari suatu lokasi yang bisa mengembangkan potensi mereka [..] Kalau ketemu dengan talenta yang sama, ekosistem yang baik, dia bisa lebih produktif,” katanya.
Aulia Syakhroza, Dosen Bayes Business School di City University of London juga menemukan hal ini dalam kasus suaminya, yang merupakan ilmuwan komputer di Google Deepmind.
Dalam pekerjaan dan kolaborasi risetnya sehari-hari, suami Aulia membutuhkan superkomputer – fasilitas yang hanya ada di perusahaan besar dan institusi riset dunia karena harganya yang mahal, dan masih sangat jarang di Indonesia.
“Saya terngiang omongan Adi, suami Mbak Aulia. Dia kan computer scientist, mengurusi artificial intelligence, bisa buat fusi energi hingga rekayasa genetik, tapi talenta tinggi semacam itu di Indonesia apa yang bisa dilakukan? Bisa jadi hanya menganalisis perilaku konsumen di perusahaan startup,” kata Yorga menirukan suami Aulia, yang juga merupakan temannya.
“Talentanya bisa terbuang. Potensi yang bisa ia berikan buat kemanusiaan lebih kecil.”
Baca juga: Generasi Milenial Sering Jadi Kutu Loncat, Apa Alasannya?
Pekerja Indonesia di SpaceX dan Tesla dapat Membangun Jaringan Perekonomian
Menurut Yorga dan Aulia, pada akhirnya kesempatan pengembangan talenta ini akan membawa manfaat balik bagi Indonesia dalam bentuk jaringan perekonomian.
Dalam studi Yorga tentang pekerja jarak jauh (remote), misalnya, ia menceritakan riset dari Bank Dunia yang meneliti puluhan ribu data transaksi di UpWork – platform bagi pekerja lepas. Riset tersebut menemukan 29 persen pekerjaan outsourcing (alih daya) untuk pekerjaan lepas dari perusahaan Amerika Serikat (AS) diberikan ke pekerja di India.
“Ternyata ada peluang. Kalau manajernya orang India, dia mencari subkontrak orang India lagi. Bahasa ekonominya taste-based preference (selera). ‘Gue pengen kerja sama orang Indonesia’, nah ini bisa membuka pasar,” kata Yorga.
Studi dari Public Policy Institute of California (PPIC) juga menemukan, 80 persen pekerja Silicon Valley dari Asia rutin bertukar ide dengan orang di negara asalnya. Sebanyak 50 persen dari mereka juga pulang ke negara asal untuk berbisnis setiap tahun.
Mohamad Dian Revindo, Dosen Ekonomi Universitas Indonesia (UI) juga memberikan contoh lain terbentuknya jaringan perdagangan dari pekerja diaspora.
“Saya membaca beberapa riset, orang India di Kanada enggan pulang karena skill-nya tidak khusus dan di India sudah banyak orang pinter.”
“Tapi, mereka mengimpor barang-barang dari India, atau kebalikannya, mengekspor barang dari Kanada yang berkualitas tinggi yang bisa dipakai manufaktur di India. Istilahnya, ‘kamu butuh mesin apa, saya carikan’,” ujar Revindo.
Aulia juga menjelaskan bahwa manfaat konektivitas ini terasa bahkan di luar perdagangan dan industri manufaktur – misalnya orang yang bekerja di bidang akademik di riset.
“Ada beberapa profesor, misalnya kalau orang Indonesia mendaftar S3 ke salah satu sekolah bisnis [luar negeri], mereka enggak tahu. Misalnya, ‘ITB itu bagus nggak sih’. Ada ‘liability of foreignness’ kalau dalam ilmu manajemen.”
“Namun, kalau profesornya orang Indonesia yang kerja di Inggris atau AS, mereka kemungkinan besar punya mahasiswa S3 orang Indonesia,” ujar Aulia.
Ia mengatakan para talenta Indonesia, terutama yang berusia muda, punya banyak waktu untuk membangun jaringan ini sebelum mereka kembali ke Indonesia.
“Sekarang masih ada 10-15 tahun membangun profil, rekam jejak, jaringan, keahlian. Selagi masih muda banyak kesempatan dan ruang terbuka lebar.”
Baca juga: Kami adalah Gen Z, Insecure dan Overthinking adalah Sahabat Kami
Menjawab Stigma ’Brain Drain‘
Meski demikian, Revindo mengakui bahwa dalam perhitungan ekonomi jangka panjang, secara umum negara yang menerima pekerja diasporalah yang merasakan untung paling besar.
“Kita lihat cost-benefit (untung-rugi) saja. Kalau menampung orang, negara memang keluar biaya, fasilitas publik, dan jaminan sosial. Akan tetapi mereka dapat pendapatan dari penarikan pajak dan nilai pekerjaan mereka di sana [..] Ini lebih besar,” katanya.
“Bagaimana dengan sektor swasta di sana? Senang, dong. Mereka mendapat kolam talenta yang lebih besar, bisa ambil dari negara mana aja.”
“Apalagi, ingat, dari TK hingga SMA disubsidi pemerintah pendidikannya, begitu mereka produktif dan punya kemampuan, hasil produksinya dipakai di negara luar. Ini sangat merugikan kalau di dalam negeri ada pilihan menahan mereka,” kata Revindo.
Namun, Yorga berpendapat, potensi brain drain ini belum menjadi masalah bagi Indonesia mengingat pekerja ahli Indonesia di luar jauh lebih sedikit dari negara seperti Cina dan India.
Bahkan, ia mengatakan bahwa stigma brain drain ini bisa menimbulkan stigma negatif, bersama dengan label buruk lainnya yang bisa muncul.
“Orang di luar negeri nggak pulang dihakimi sebagai pengkhianat, tidak cinta tanah air. Label ini harus kita pertanyakan kembali, karena kontribusi tidak mengenal jarak dan waktu,” kata Yorga.
“Keberadaan teman-teman baik akademisi atau yang di perusahaan – baik Google, SpaceX, atau Meta – manfaatnya ternyata nggak egois. Bukan cuma sekadar gaji lebih besar, lingkungan lebih bagus, atau manfaat lain bagi diri dan keluarga, tapi bisa membawa banyak manfaat untuk Indonesia.”
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.